Pecihitam.org – Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan tentang bagaimana sebaiknya hubungan manusia dengan Tuhannya atau biasa disebut dengan hubungan vertikal. Namun juga memberikan perhatian khusus tentang bagaimana berkehidupan sosial dengan baik dan benar yang kemudian diimplementasikan dengan akhlak. Dan salah satu tujuan Nabi Muhammad diangkat menjadi Nabi adalah untuk kepentingan akhlak itu sendiri.
Sehingga ketakwaan seorang hamba tidak cukup hanya dinilai dari seberapa getolnya ia sholat dan puasa. Aspek kehidupan sosial juga akhirnya menjadi penting dalam mempengaruhi ketakwaan seorang hamba. Bukan hanya shaleh secara ritual ibadah saja, namun juga shaleh secara sosial.
Akhir-akhir ini kehidupan sosial terbelah menjadi dua dimensi. Yakni dimensi kehidupan dunia secara nyata dan dimensi kehidupan maya yang biasa kita temukan di sosial media. Hal ini membuat interaksi-interaksi sosial semakin berkembang.
Sayangnya, efek buruk dari interaksi-interaksi sosial ini juga semakin berkembang. Efek tersebut adalah perseteruan dan permusuhan yang dilandasi karena adanya perbedaan pendapat dan kemarahan.
Ajaran Islam hadir dalam rangka menciptakan kedamaian-kedamaian. Bukan perseteruan atau permusuhan. Mudah memberi maaf dan selalu menahan amarah adalah ciri khas akhlak orang Islam. Tak lain untuk meredam perseteruan dan permusuhan sehingga terciptalah kedamaian seperti makna dari Islam itu sendiri.
Dalam satu hadits yang masyhur Rasulullah pernah memberi nasihat kepada sahabat untuk tidak marah. Dan nasihat tersebut diulangi sampai tiga kali. Ini memberi arti bahwa menahan amarah adalah sesuatu yang penting dalam Islam.
Dalam Surat surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 juga dijelaskan bagaimana sebaiknya kita menyikapi seseorang yang berbuat kesalahan kepada kita sehingga tidak melahirkan suatu perseteruan atau permusuhan.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)
Mereka yang menafkahkan (hartanya), baik sewaktu lapang maupun sempit, dan yang mampu menahan amarah dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Menurut Porf. M Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wasathiyyah, Dari ayat tersebut, setidaknya ada tiga sikap yang diajarkan untuk menghadapi suatu kesalahan orang lain.
Sikap yang pertama adalah menahan amarah (الكاظمين الغيظ)
Seseorang belum disebut sebagai orang yang bertakwa jika masih mudah untuk meluapkan emosi kemarahan. Seseorang yang bertakwa akan senantiasa menahan emosinya kendati sebenarnya ia mampu untuk meluapkan amarahnya dengan kata-kata kotor maupun perbuatan yang negatif.
Dalam kaidah bahasa Arab, pengungkapan sikap ini menggunakan bentuk isim (الكاظم) yang mempunyai arti tajdid dan istimrar. Ini memiliki arti bahwa kemampuan menahan amarah harus dilakukan secara terus menerus.
Sikap yang kedua adalah mudah memberi maaf (العافين عن الناس)
Orang yang bertakwa akan menghapus segala luka yang pernah dilakukan orang lain kepadanya. Dengan memberi maaf, tidak hanya dengan menahan emosi saja, lebih dari itu, seseorang yang bertakwa akan melupakan kesalahan yang pernah diperbuat seseorang.
Seseorang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain, hatinya akan senantiasa tenteram, tidak ada lagi dendam yang berkelanjutan. Seakan-akan tidak pernah terjadi suatu kesalahan yang diperbuat orang lain kepadanya. Dan inilah yang mampu meredam perseteruan dan permusuhan.
Dan terakhir, sikap yang kita lakukan kepada orang yang berbuat kesalahan kepada kita dalah ihsan (واالله يحب المحسنين)
Ihsan bukan hanya mampu menahan emosi dan memberi maaf saja. Lebih dari itu, ihsan membuat seseorang yang bertakwa bahkan membalas seseorang yang telah berbuat dzalim kepadanya dengan suatu kebaikan. Kendati sebenarnya kita bisa membalas kesalahan orang lain dengan suatu perbuatan yang sama. Ihsan adalah tentang bagaimana kita memberikan sesuatu yang lebih dari yang diharapkan.
Dan sikap yang terakhir inilah puncak tertinggi dari sikap manusia dalam menghadapi kesalahan manusia. Bahkan menurut ayat di atas, sikap-sikap tersebut juga menjadi ciri-ciri orang yang bertakwa. Dimana dalam ayat sebelumnya, orang yang bertakwa dianggap sebagai ciri penghuni surga
Sehingga, membaca ayat ini sangatlah penting di masa seperti ini. Guna menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial. Dimulai dari diri sendiri, mulai dengan menahan amarah atas kesalahan orang lain, kemudian memaafkannya, dan terakhir membalas kesalahan orang lain dengan perbuatan baik.
Penulis: Muhammad Sya’dullah Fauzi
Editor: Resky S.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020