Abu Hasan asy Syadzili dan Berdirinya Tarekat Syadziliyah (Bagian 2)

Abu Hasan asy Syadzili

Pecihitam.org – Setelah mencari dan berjalan cukup lama akhirnya ditemukanlah gunung yang dimaksud. Abu Hasan asy Syadzili lantas mendaki gunung untuk menuju ke puncaknya. Di puncak gunung tersebut benar adanya beliau menemukan sebuah gua.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebelum Abu Hasan asy Syadzili memasuki gua tersebut, beliau berhenti di sebuah mata air dan mandi di pancuran mata air itu. Hal ini al-Syadzili lakukan untuk membersihkan diri dan semata-mata demi untuk memberikan penghormatan kepada sang Wali Quthub, yang memiliki derajat kemuliaan dan keagungan di sisi Allah, di samping juga sebagai seorang calon guru al-Syadzili.

Namun setelah selesai mandi, Abu Hasan asy Syadzili merasakan seperti seluruh ilmu dan amalnya luruh berguguran. Beliau pun merasakan dirinya seperti orang yang benar-benar faqir dari ilmu dan amal.

Kemudian, setelah itu al-Syadzili berwudhu dan bersiap untuk memasuki gua tersebut. Dengan penuh rasa tawaddhu’ dan rendah diri, al-Syadzili mulai mengangkat kaki untuk keluar dari mata air itu.

Namun, tiba-tiba datanglah seseorang yang tampak tua dengan mengenakan pakaian yang amat sederhana. Bajunya penuh dengan tambalan dan penutup kepalanya mengenakan songkok yang terbuat dari anyaman jerami.

Namun, kendati berpenampilan sederhana, tetapi orang tersebut tampak sangat anggun, arif, dan berwibawa. Wajahnya menunjukkan keteduhan, memiliki derajat keshalihan dan ketakwaan yang amat luhur. Orang tua itu kemudian mendekati al-Syadzili seraya mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”.

Baca Juga:  Sejarah dan Perkembangan Tasawuf Sunni dari Masa ke Masa

Al-Syadzili, dengan cukup terkejut, serta merta menjawab salam orang itu, “Wa‘alaikum salam warakhmatullahi wabarakatuh.”

Belum pula habis rasa keterkejutannya, orang tersebut terlebih dahulu menyapa dengan mengatakan, “Marhaban! Ya, ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Jabbar bin Tamim bin….” dan seterusnya nasab al-Syadzili disebutkan dengan runtut dan jelas sampai akhirnya berujung kepada baginda Rasulullah Saw.

Mendengar itu semua, al-Syadzili menyimaknya dengan penuh rasa takjub. Belum sampai al-Syadzili mengeluarkan kata-kata, orang tersebut kemudian melanjutkan, “Ya ‘Ali, Engkau datang kepadaku sebagai seorang faqir, baik dari ilmu maupun amal perbuatanmu, maka Engkau akan mengambil dari aku kekayaan dunia dan akhirat”,

Dengan demikian, maka jadi jelas dan yakinlah ia kini, bahwa orang yang sedang berada di hadapannya itu adalah benar-benar al-Syaikh al-Quthub al-Ghauts Sayyid Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisy al-Hasani ra., orang yang selama ini dicari-carinya.

“Wahai anakku, hanya puji syukur Alhamdulillah kita haturkan ke hadirat Allah Swt. yang telah mempertemukan kita pada hari ini.”

Berkata lagi Syaikh ‘Abd al-Salam, “Ketahuilah, wahai anakku, bahwa sesungguhnya sebelum Engkau datang ke sini, Rasulullah Saw. telah memberitahukan kepadaku segala hal-ihwal tentang dirimu, serta akan kedatanganmu pada hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas dari beliau agar memberikan pendidikan dan bimbingan kepada Engkau. Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa kedatanganku ke sini memang sengaja untuk menyambutmu”.

Baca Juga:  Hakikat Manusia Menurut Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali

Kemudian, Abu Hasan asy Syadzili tinggal dan berguru kepada sang Wali Qutub di situ hingga waktu yang cukup lama. Dari gurunya tersebut, al-Syadzili banyak sekali mereguk ilmu-ilmu tentang hakikat keTuhanan, yang selama ini belum pernah al-Syadzili dapatkan.

Setalah sekian lama al-Syadzili tinggal bersama sang Wali Qutub, maka tibalah saat perpisahan antara guru dan murid. Ketika perpisahan, Syaikh ‘Abd al-Salam memberikan nasehat dan pemetaan kehidupan yang akan dilalui oleh murid tercintanya dengan mengatakan,

“Wahai anakku, setelah usai masa berguru, maka tibalah saatnya kini Engkau untuk beriqamah (melaksanakan). Sekarang pergilah dari sini, lalu carilah sebuah daerah yang bernama Syadzilah. Untuk beberapa waktu tinggallah Engkau di sana. Kemudian perlu kau ketahui, disana pula Allah ‘Azza wa Jalla akan menganugerahi Engkau dengan sebuah nama yang indah, al-Syadzili.”

“Setelah itu,” lanjut al-Syaikh, “Kemudian Engkau akan pindah ke negeri Tunisia. Disana Engkau akan mengalami suatu musibah dan ujian yang datangnya dari penguasa negeri itu. Sesudah itu, wahai anakku, Engkau akan pindah ke arah timur. Disana pulalah kelak Engkau akan menerima warisan al-Quthubah dan menjadikan Engkau seorang Quthub.”

al-Syadzili kemudian mengajukan satu permohonan kepada sang guru agar memberikan wasiat untuk yang terakhir kalinya, “Wahai Tuan Guru yang mulia, berwasiatlah untukku”.

Baca Juga:  Kebatinan Kanjeng Sunan Kalijaga dalam Sebuah Karya Sastra Agung “Kidung Rumeksa Ing Wengi”

Al-Syaikh pun kemudian berkata, “Wahai ‘Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia. Sucikanlah lisanmu dari menyebut akan keburukan mereka, serta sucikanlah hatimu dari kecondongan terhadap mereka. Peliharalah anggota badanmu (dari segala yang maksiat) dan tunaikanlah setiap yang difardhukan dengan sempurna. Dengan begitu, maka sempurnalah Allah mengasihani dirimu.”

“Jangan Engkau memperingatkan kepada mereka, tetapi utamakanlah kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirimu, maka dengan cara yang demikian akan sempurnalah wara‘mu.”

“Dan berdo‘alah wahai anakku, ‘Ya Allah, rahmatilah diriku dari ingatan kepada mereka dan dari segala masalah yang datang dari mereka, dan selamatkanlah aku dari kejahatan mereka, dan cukupkanlah aku dengan kebaikan-kebaikan-Mu dan bukan dari kebaikan mereka, dan kasihilah diriku dengan beberapa kelebihan dari antara mereka. Ya Allah, sesungguhnya Engkaulah atas segala sesuatu Dzat Yang Maha Berkuasa”

Bersambung … ke bagian 3

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik