PeciHitam.org – Outsourcing sendiri bukanlah istilah baru yang belum dikenal oleh para pencari kerja. Beberapa pekerjapun rela bekerja dalam sistem ini. Namun sudahkah mengetahui konsep outsourcing dalam fiqih? Apakah sah menurut fiqih? Berikut penjelasannya.
Istilah ini menjadi populer di awal tahun 2003 ketika pemerintah mengeluarkan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) terutama mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Walaupun secara lugas isitilah outsourcing tidak ditemukan di dalam undang-undang tersebut, tetapi pemahaman masyarakat terhadapnya semakin jelas. Outsourcing dianggap sebagai pokok masalah perburuhan di negara ini yang melahirkan berbagai ketidak adilan, kesewenag-wenangan dan diskriminasi.
Hal ini dibuktikan dengan ramainya perlawanan kaum buruh yang menuntut adanya uji materi terhadap pasal 64, pasal 65 dan pasal 66 dari UU no 13 tahun 2003. Di sisi lain usaha pemerintah berusaha untuk mencari formulasi yang lebih baik dalam tatanan relasi keindustran ini terus berlanjut. Hingga muncul Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 tahun 2012 yang mengtur tentang syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksaan pekerjaan kepada perusahaan lain. Kembali dalam peraturan ini tidak ditemukan kata outsourcing.
Nampaknya istilah outsourcing ini menjadi sebuah pemahaman bersama di tengah masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu adanya keseragaman terlebih dahulu dalam memahami outsourcing demi menemukan kesesuaian antara fiqih dan realita di lapangan.
Jika gambaran tentang outsourcing difahami dalam hubungan kerja yang melibatkan sebuah perusahaan yang telah menyewa/mengontrak seorang buruh lalu menyewakan/mengontrakkan kembali buruh itu kepada perusahaan lain. Atau dengan kata lain, manfaat tenaga kerja yang telah dimiliki tidak dimanfaatkan sendiri, tetapi dimanfaatkan oleh orang lain dengan akad ijârah.
Hal ini sama dengan konsep ijarah dalam fiqih dan hukumnya boleh atau sah. Ijârah pada hakikatnya termasuk akad jual-beli. Perbedaannya dengan jual-beli biasa ialah bahwa obyek akad (yang dibeli) dalam akad ijârah tidak berupa barang melainkan berupa manfaat, baik manfaat barang maupun manfaat orang (manfaat yang lahir dari pekerjaan orang/jasa). `Iwâdl/imbalan atas manfaat itu disebut ujrah, yang menjual disebut mu’jir/ajîr, dan yang membeli disebut musta’jir.
Dengan mencermati unsur-unsur ijârah diatas, kita dapat memastikan bahwa akad kerjasama antara perusahaan dan buruh atau antara majikan dan karyawan (أرباب العمل وعمالهم) merupakan bagian dari-pada ijârah. Majikan sebagai musta’jir dan karyawan/buruh sebagai ajîr. Akad kerjasama tersebut sah sepanjang memenuhi syarat-syarat yang mengacu pada prinsip-prinsip kerelaan kedua belah pihak, upahnya jelas, jenis pekerjaan dan waktunya jelas, dan tidak ada unsur pemerasan (adamul istighlal).
Dalam hal tersebut, tidak ada perbedaan antara buruh tetap dan buruh tidak tetap, yakni sama-sama sah dan boleh dilakukan sepanjang memenuhi syarat-syarat di atas. Demikianlah beberapa prinsip utama yang harus dipenuhi dalam berbagai macam hubungan muamalah.
Dengan demikian dibolehkan seorang musta’jir (penyewa) menyewakan kembali barang sewaannya kepada orang lain, baik dengan ujrah (upah) yang sama, lebih besar, maupun lebih kecil daripada ujrah pertama. Juga sama dengan bolehnya ajîr yang menerima kontrak untuk melakukan suatu pekerjaan, mengalihkan pekerjaan itu kepada ajîr lain dengan upah yang sama, lebih besar, atau lebih kecil daripada upah pertama.
Pengusaha jasa outsourcing tak ubahnya seorang pemborong yang memiliki banyak karyawan dan mempekerjakan mereka pada proyek perbaikan jalan atau pembangunan rumah milik warga misalnya.
Al-Nawawiy dan Ibn Qudâmah mengemukakan masalah ini di dalam kitab al-Majmû`
(فصل) وَلِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُؤْجِرَ الْعَيْنَ الْمُسْتَأْجَرَةَ إِذَا قَبَضَهَا لِأنَّ الإجَارَةَ كَالْبَيْعِ وَبَيْعُ الْمَبِيْعِ يَجُوْزُ بَعْدَ الْقَبْضِ فَكَذَلِكَ إِجَارَةُ الْمُسْتَأْجِرِ، وَيَجُوْزُ مِنَ الْمُؤْجِرِ وَغَيْرِهِ كَمَا يَجُوْزُ بَيْعُ الْمَبِيْعِ مِنَ الْبَائِعِ وَغَيْرِهِ وَهَلْ يَجُوْزُ قَبْلَ الْقَبْضِ فِيْهِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ (أَحَدُهَا) لَا يَجُوْزُ كَمَا لَا يَجُوْزُ بَيْعُ الْمَبِيْعِ قَبْلَ الْقَبْضِ (وَالثَّانِى) يَجُوْزُ لأنَّ الْمَعْقُوْدَ عَلَيْهِ هُوَ الْمَنَافِعُ، وَالْمَنَافِعُ لَا تَصِيْرُ مَقْبُوْضَةً بِقَبْضِ الْعَيْنِ، فَلَمْ يُؤَثِّرْ فِيْهَا قَبْضُ الْعَيْنِ (وَالثَّالِثُ) أَنَّهُ يَجُوْزُ إِجَارَتُهَا مِنَ الْمُؤْجِرِ لِأَنَّهَا فِي قَبْضَتِهِ، وَلَا يَجُوزُ مِنْ غَيْرِهِ لأنها لَيْسَتْ فِي قَبْضَتِهِ، وَيَجُوْزُ أَنْ يُؤْجِرَهَا بِرَأْسِ الْمَالِ وَبِأَقَلَّ مِنْهُ وَبِأَكْثَرَ لِأَنَّا بَيَنَّا أنَّ الإجَارَةَ بَيْعٌ وَبَيْعُ الْمَبِيْعِ يَجُوْزُ بِرَأْسِ الْمَالِ وَبِأَقَلَّ مِنْهُ وَبِأَكْثَرَ مِنْهُ، فَكَذلِكَ الإجَارَةُ
Hal yang sama juga dikemukakan di dalam Mausû`ah al-Fiqh al-Islâmiy:
وَإِنَّمَا يَجُوْزُ لِلْمُسْتَأْجِرِ أَنْ يُؤَجِّرَ الْعَيْنَ لِغَيْرِ مُؤْجِرِها اِذَا تَسَلَمَّهَا، نَصَّ عَلَى ذلِكَ أَحْمَدُ وَهُوَ قَوْلُ سَعِيْدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ
Jadi, pada dasarnya tidak ada yang dikhawatirkan dari outsourcing. Namun jika dalam kenyataan, sistem buruh outsourcing sarat dengan pemerasan seperti keharusan buruh yang mengundurkan diri menebus ijâzah yang dititipkan sebagai jaminan dengan harga sangat tinggi, di samping pemotongan upah pada bulan pertama sampai 50%, maka Fikih Islam dengan tegas mengatakan bahwa outsourcing tersebut tidak sah dan tidak boleh dilakukan.
Az-Zuhailiy dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh mengemukakan penjelasan sebagai berikut:
وَتَحْرِيْمُ الْاِسْتِغْلَالِ شَامِلٌ اسْتِغْلالَ رَبِّ الْعَمَلِ فَقْرَ الْعَامِلِ فَيَظْلِمُهُ، وَاسْتِغْلَالَ التَّاجِرِ حَاجَةَ الْمُسْتَهْلِكِ، فَيُغْلِيْ قِيْمَةَ السِّلْعَةِ، أَوْ جَهْلَ الْمُنْتِجِ أَوْ الْمُصْدِرِ، فَيَشْتَرِيْ بِضَاعَتَهُ بِثَمَنٍ بَخْسٍ (تَلَقِّي الرُّكْبَانِ)، أَوْ سَذَاجَةَ البَدَوِيِّ فَيَبِيْعُهُ السِّلْعَةَ بِأَزْيَدَ مِنْ ثَمَنِهَا (بَيْعُ الَحاضِرِ لِلْبَادِيْ
Adapun mngenai pesangon az-Zuhaily menegaskan perlu adanya undang-undang yang mengharuskan perusahaan memberi pesangon kepada buruh outsourcing, karena pemberian pesangon tidak menjadi kewajiban yang mengikat kecuali ada undang-undang yang mewajibkan, atau ada perjanjian yang disepakati kedua belah pihak.
مُكَافَأَةُ نِهَايَةِ الْخِدْمَةِ: هِيَ حَقٌّ مَالِيٌّ يُوْجِبُهُ الْقَانُوْنُ أَوِ الْعَقْدُ لِلْعَامِلِ أَوِ الْمُوَظَّفِ بِشُرُوْطٍ، وَيُقَدَّرُ بِحَسَبِ مُدَّةِ الْخِدْمَةِ وَسَبَبِ انْتِهَائِهَا وَرَاتِبُ الْعَامِلِ وَالْمُوَظَّفِ يُدْفَعُ عِنْدَ انْتِهَاءِ الْخِدْمَةِ لِلْعَامِلِ أَوِ الْمُوَظَّفِ أَوْ لِعَائِلَتِهِمَا
Demikianlah hukum outcourcing dalam kacamata fiqih, karena pada prinsipnya muamalah dalam fiqih harus berdasarkan pada keadilan, kesetaraan, musyawarah dan tolong menolong yang dikenal dengan istilah al-mabadi’ al-ammah.