AGH Abduh Pabbaja, Sosok Ulama, Aktivis dan Pendidik yang Disegani di Sulsel

AGH Abduh Pabbaja, Sosok Ulama Aktivis dan Pendidik dari Sidrap Sulsel

Pecihitam.org – AGH Abduh Pabbaja dilahirkan di Allekkuang, Kabupaten Sidenreng Rappang. Ayahnya bernama La Pabbaja dan Latifa nama ibunya. Beliau anak bungsu dari Sembilan bersaudara. Dilahirkan pada tahun 1919 dan wafat tahun 2009 dalam usia 90 tahun.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

AGH Abduh Pabbaja mengenal pendidikan dasar di SR Rawa sampai kelas dua, kemudian melanjutkan di Madrasatul Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang yang dibimbing langsung AGH. Muh. As’ad. Beliau merupakan angkatan kedua bersama AGH. Muh Yunus Martan Asal Belawa, Wajo.

Dalam buku Buah Pena sang Ulama terbitan Orbit 2011, Zubair Peneliti Litbang Kemenag Makassar, kontributor dalam buku tersebut menuliskan, AGH Abduh Pabbaja mendalami berbagai pelajaran, memperkuat hafalan dan keahliannya dalam Bahasa Arab untuk mendalami berbagai disiplin ilmu.

Konon, beliau pernah pulang kampung di Sidrap sehingga ketinggalan mempelajari ilmu Fanaidh (membuat syair Arab), lalu saat kembali ke Sengkang beliau fokus mendalami ilmu tersebut.

Karena ilmu Fanaidh yang sebagian santri dianggap berat, justru beliau berujar bahwa ilmu itu sebagai “aggurung makkunrai” (pelajaran perempuan) artinya mudah sekali mempelajarinya.

AGH Abduh Pabbajah memiliki lima anak dari istrinya Hj. Khadijah. Sebelumnya beliau menikah dengan Saribanong dari Pare-pare dan Hj. Kaliman dari Allekuang Sidrap tapi keduanya tidak memiliki keturunan. Begitu juga dengan Hj. Andi Norma istri keempat asal Pare-pare tidak memiliki keturunan.

Baca Juga:  Kisah Khadijah binti Khuwailid hingga Menikah dengan Rasulullah

Pengabdian AGH Abduh Pabbaja dimulai dengan membuka cabang MAI di Allekkuang untuk tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah. Kemudian tahun 1949, beliau diangkat sebagai kali sidenreng.

Sementara itu, pada tahun 1952 saat KUA Di Pare-pare dibuka, beliau diangkat aebagai PNS dalam usia 33 tahun dan bertugas untuk wilayah Ajatappareng meliputi Pare-pare, Barru, Sidrap, Pinrang dan Enrekang.
Kemudian tugas sebagai qadhi atau kali Sidenreng tetap dipertahankan dengan menugaskan pada penghulu mukim sebagai pelaksana tugas.

Saat bertugas di Pare-pare dan Barru itu, beliau diajak oleh AGH. Abdurrahman Ambo Dalle untuk bergabung di DDI. Bahkan saat AGH. Ambo Dalle diculik pasukan Kahar Muzakkar masuk hutan, kendali kepemimpinan PB. DDI dijabat AGH. Abduh Pabbaja.

Tugas beliau bertambah saat IAIN Alauddin (Kini STAIN Pare-pare) membuka Fakultas Tarbiyah cabang Pare-pare dan diangkat sebagai dekan. Selain itu, beliau juga perintis Mahad Islamiyah Ulya sebagai lembaga pengkaderan ulama, diantara lulusannya AGH. Sayyid Tahir, AGH. Mahdi dan AGH. Hanaka.

AGH Abduh Pabbaja juga merupakan dosen luar biasa IAIN Alauddin dan Universitas Muslim Indonesia (UMI) di bawah kepemimpinan Prof. Abdurrahman Shihab selaku rektornya. Diantara mahasiswa yang dibimbingnya, Umar Shihab, Shaleh Putuhena, Bustani Syarif, Mukhtar Husein.

Baca Juga:  Buya Syakur; Intelektual Muslim Progresif dari Kampung

Pada tahun 1970, AGH Abduh Pabbaja mendirikan Pesantren Al-Furqan di Pare-Pare. Salah satu muridnya, Dr. Harifuddin Cawidu. Selain itu, beliau juga aktif sebagai pentashih al-qur’an yang acapkali diundang ke Jakarta melakukan proses tashih al-qur’an.

Sosoknya sebagai ulama pendidik, beliau mengajar pada setiap kelas di sekolah yang didirikannya tanpa mendelegasikan ke orang lain, demikian halnya pada malam hari aktif memberikan pengajian di Masjid Agung Pare-pare melalui kitab Bulughul Maram dan tafsir, serta aktif ceramah dan khotbah jumat secara rutin, sebagaimana ditulis oleh Zubair dalam buku Buah Pena Sang Ulama.

Selain aktif di dunia Pendidikan, AGH Abduh Pabbaja tercatat sebagai aktivis sejumlah organisasi. Tahun 1945 bergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) untuk menyongsong kemerdekaan RI.

Beliau bahkan tercatat sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera merah Putih di Allekkuang. Tahun 1957 menjadi deklarator Badan Aksi Rakyat Perjuangan Semesta (Bara Permesta) yang mangambil lokasi deklarasi di Gedung DPRD Kota Pare-pare.

Dalam kancah politik, beliau bergabung di Partai Serikat Islam (PSI) hingga partai tersebut difusi Rezim Orde Baru menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan tetap konsisten, tercatat pengurus PPP hingga wafatnya pada tahun 2009.

Baca Juga:  Abu Aziz Samalanga, Mengenal Sosok Ulama Kharismatik Aceh

Bukti konsistensinya, beliau berujar, “narekko iya’mi bawang tettongi PPP, iya’tona bawang“, artinya Kalau pendukung PPP tinggal saya saja, biarlah saya sendiri.”

Sejumlah karya-karya beliau hasil penjejakan Zubair sebanyak 11 buah, diantaranya Tafsir al-Qur’an berbahasa Bugis, Tafsir surat al-Waqiah, Al-Ma’surat, Assalatun Nur, Mawizatul Hasanah, serta beberapa buletin dakwah seperti Risalah As’adiyah serta lagu-lagu bugis berisi pesan Penyemangat yang sarat muatan dakwah.

Beliau juga aktif merekam ceramahnya sehingga kini masih dapat dinikmati. Gaya ceramah beliau sangat tegas dan jelas. Suaranya lantang tetapi pelan Sehingga bisa ditulis. Ceramahnya juga disiarkan Radio Mesra Pare-Pare. Gurutta AGH. Abduh Pabbaja wafat tanggal 20 Agustus 2009.

Referensi:
Firdaus Muhammad, Anregurutta (Makassar: Nala Cipta Litera, 2017) Hlm. 93

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *