Pecihitam.org – Abu Rayhan Muhammad ibn Ahmad al-Biruni lahir pada 4 September 973 M di Kath, ibu kota Khawarizm (kini wilayah Uzbekistan). Al-Biruni sedari kecil sudah tertarik dengan ilmu matematika dan astronomi. Dalam perjalanan hidupnya, Al Biruni mempelajari banyak disiplin ilmu pengetahuan seperti sejarah, geografi, fisika, filsafat, dan agama sehingga menjadi ilmuwan yang ternama.
Karena terjadi pergolakan politik yang terjadi pada masa itu, Al-Biruni berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Maklum pada saat itu para ilmuwan Muslim termasuk Al-Biruni membaca, meneliti, dan melakukan eksperimen hingga menemukan teori di bawah pengawasan dan penjagaan seorang khalifah.
Jika sultan atau khalifah menginginkannya, maka para ilmuwan akan terjamin kehidupannya. Namun sebaliknya jika khalifah tidak merasa senang maka kehidupan Ilmuan akan terancam.
Pada mulanya Al-Biruni tinggal di istana Dinasti Banu Irak, yang berkuasa di sisi timur Khawarizm dengan ibu kota Kath. Namun ketika Abu Ali Ma’mun bin Muhammad dari Dinasti Ma’muni mengalahkan Dinasti Banu Irak dan mempersatukan wilayah Khawarizm pada 995 M, ia meninggalkan kota kelahirannya karena takut nyawaya terancam.
Al-Biruni telah berhasil menulis sebuah kitab Kartografi, yaitu tentang ilmu peta. Kemudian ia pindah ke kota Rayy (sekarang dekat dengan Teheran, Iran), salah satu pusat pusat astronomi pada saat itu selain Khawarizm dan Baghdad.
Di kota Rayy ini, ia terus mengembangkan keilmuannya di bidang astronomi. Dan ia menyelesaikan kitab Tahdid Nihayat al-Amakin li Tashbih Masafat al-Masakin (Penentuan Kedudukan Tempat untuk Memastikan Jarak antar Kota).
Sayangnya, Fakhrul Daulah yang saat itu penguasa Rayy tidak mau menerima Al-Biruni untuk bekerja di istananya. Penolakan di Rayy tidak membuat Al-Biruni ciut. Ia akhirnya pindah ke Gorgon.
Penguasa Gorgon, Syamsul Ma’ali Qabus akhirnya meminta Al-Biruni untuk berkarya di kerajaannya. Dengan dukungan moril dan materil yang memadahi. Di Gorgon, ia betul-betul memaksimalkan kemampuannya. Ia banyak membaca, menulis, bepergian ke kota-kota untuk memetakan garis lintang, dan menganalisa peristiwa-peristiwa antariksa seperti gerhana bulan.
Beberapa kitab yang berhasil ditulis Al-Biruni selama di Gorgon antara lain Kitab Sisa Pengaruh Masa Lampau, Risalah Tajrid al-Sha’at (Risalah Khusus Sa’at), dan lainnya.
Setelah Abu Ali Ma’mun bin Muhammad penguasa Dinasti Ma’muni digantikan oleh Abul Hasal Ali. Berbeda dengan pendahulunya, Abul Hasal Ali memiliki impian untuk memenuhi istananya dengan ilmuwan-ilmuwan hebat.
Maka kemudian ia mengundang Al-Biruni untuk pulang kampung ke Khawarizm dan tinggal istana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Bak gayung bersambut, diterimanya tawaran tersebut. Namun pergolakan politik lagi-lagi harus membuat Al-Biruni pindah ke tempat lain.
Pada saat Dinasti Ghaznawi mengalahkan Dinasti Ma’muni dan menguasai wilayah Khawarizm, maka Al-Biruni diboyong ke Istana Mahmud Ghaznawi. Beruntung baginya karena penguasa Ghaznawi sangat menghargainya.
Al-Biruni diberikan dukungan moril dan materil untuk mengembangkan ilmu pengetahuan di bawah penjagaan Istana Ghaznawi. Selama kurang lebih 30 tahun Al-Biruni tinggal di Ghaznawi. Dan akhirnyaIa wafat di Ghaznah pada 1048.
Di Istana Ghaznawi, Al-Biruni menulis beberapa kitab monumental diantaranya Masamiri Khawarizm (Revolusi Khawarizm), Tarikh al-Hind (Tarikh India), Penentuan Kedudukan Tempat untuk Memastikan Jarak antar Kota, Kitab Pemahaman Puncak Ilmu Bintang, al-Qonun al-Mas’udi, kitab Layl wa al-Nahar (Kitab Malam dan Siang), Kitab Bahan Obat, dan lainnya.
Seorang ahli kimia dan sejarawan Amerika kelahiran Belgia, George Sarton mengibaratkan Al-Biruni sebagai Leonardo da Vinci-nya Islam karena kejeniusannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Sementara K Ajram menilai bahwa Leonardo da Vinci ialah Al-Biruni-nya Kristen. Alasannya ialah, Al-Biruni hidup lima abad lebih dahulu dari pada Leonardo da Vinci. Sehingga sumbangsih Al-Biruni dalam ilmu pengetahuan lebih orisinil.
Ilmuwan Pertama Penghitung Keliling Bumi
Al-Biruni dikenal sebagai seorang ilmuwan eksperimentalis. Ia melakukan penelitian ulang terhadap teori-teori yang sudah ada dan berkembang untuk membuktikan kebenarannya. Misal teori Aristoteles tentang penglihatan.
Menurut Aristoteles bahwa penglihatan disebabkan oleh sinar yang memancar dari mata menuju suatu benda. Sedangkan, Al-Biruni menyatakan bahwa penglihatan merupakan hasil pantulan cahaya pada benda yang masuk ke mata.
Al-Biruni juga ‘tidak puas’ dengan penemuan-penemuan sebelumnya. Ia selalu menciptakan alat-alat baru yang dianggapnya lebih canggih dari pada alat yang diciptakan ilmuwan sebelumnya. Misalnya Abu Sa’id Sijzi yang telah menciptakan Astrolabe Heliosentris yang dinilai akurat. Namun Al-Biruni tetap membuat dan mengembangkan Astrolabenya sendiri.
Astrolabe yang diberi nama al-Ustawani tersebut tidak hanya dapat mengukur gerak benda langit, tapi juga bisa mengukur lokasi-lokasi di bumi yang sulit dijangkau seperti gunung. Al-Biruni juga melakukan penelitian terhadap suatu ilmu pengetahuan yang ‘belum pernah digarap’ oleh ilmuwan sebelumnya. Salah satu sumbangsih orisinil Al-Biruni adalah keliling bumi.
Ya, Al-Biruni adalah imuwan pertama yang menghitung keliling bumi. Ia melakukan perhitungan tersebut pada abad ke-11, yang mana pada masa itu masih ramai perdebatan tentang bentuk bumi bulat atau datar.
Untuk menghitung keliling bumi Al-Biruni menggunakan pendekatan perhitungan trigonometri dan memakai Astrolabe al-Ustawani buatannya sendiri. Ada beberapa langkah yang ia tempuh untuk mengukur keliling bumi.
Pertama-tama, Al-Biruni sudah meyakini kalau bumi itu bulat. Dari sini kemudian ia mencari jari-jari bumi untuk mencari keliling bumi. Ia cukup beruntung sebab pada saat itu rumus phi (π) lingkaran sudah ditemukan terlebih dahulu oleh ilmuwan sebelumnya, Al-Khawarizmi.
Kemudian ia mengukur tinggi gunung yang merupakan sebuah titik permukaan bumi dengan menggunakan Astroblenya. Disebutkan bahwa gunung tersebut berada di India atau Pakistan.
Caranya ia mengarahkan Astrolabenya ke dua titik berbeda di daratan. Kemudian tangen sudutnya dikalikan dan dibagi selisih tangen dua sudut tersebut dengan rumus trigonometri.
Al-Biruni kemudian mengarahkan Astrolabenya ke titik cakrawala dan membuat garis imajiner 90 derajat yang menembus bumi. Lalu menggambarkan segitiga siku-siku raksasa antara posisi dia berdiri, titik horizon, dan inti bumi.
Dikutip laman Owlcation, Al-Biruni mengetahui kalau jari-jari bumi adalah 6.335,725 km dari penghitungannya. Sumber lain menyebutkan kalau jari-jari bumi 6.339,9 km.
Lalu Al-Biruni menggambar bumi dalam dua dimensi yakni berupa lingkaran. Setelah data-data tersebut dianggapnya lengkap, kemudian ia menghitung keliling bumi dengan rumus keliling lingkaran.
Maka hasilnya adalah 40.075 km. Sementara penghitungan modern keliling bumi adalah 40.075,071 km. Itu artinya perhitungan AlBiruni hanya selisih 1 persen dari penghitungan ilmuan modern.
Sementara dalam buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam ditulis, bahwa perhitungan Al-Biruni tentang keliling bumi adalah 40.225 km dan penghitungan modern keliling bumi adalah 40.074. Dengan demikian penghitungan Al-Biruni sangalah akurat, karena ketepatan hitungannya memcapai 99,62 persen dan hanya menyimpang 0,38 persen saja.
Sebuah penghitungan yang sangat mengagumkan mengingat Al-Biruni melakukannya pada abad ke-11. Pada era dimana ilmu pengetahuan dan teknologi belum berkembang secanggih seperti sekarang.
Bahkan pada saat itu, data tentang jari-jari dan potret bumi juga belum diketahui seperti saat ini. Namun dengan menggunakan cara-cara non konvensional dan kreatif, Al-Biruni akhirnya berhasil mengukur keliling bumi.