Al-Quran Sebagai Petunjuk dan Alat untuk Mencapai Kebenaran bagi Manusia

Al-Quran Sebagai Petunjuk dan Alat untuk Mencapai Kebenaran bagi Manusia

Pecihitam.org- Al-Quran merupakan petunjuk Allah (al-huda) pada manusia, hal ini mengisyaratkan bahwa al-Quran adalah salah satu alat yang bisa digunakan untuk mencapai kebenaran.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Manusia memiliki 5 rangkap alat untuk mencapai kebenaran, yakni:

Pertama, indera, untuk menangkap kebenaran fisik tetapi parsial. Menurut Al Ghazali, indera diciptakan bagi manusia agar menjadi “jala” baginya menangkap dasar-dasar pengetahuan, sebab bila manusia mengenal obyek tertentu dengan indera, ia dapat menangkap makna umum yang mutlak melalui akalnya (Ghazali 1989).

Kedua, naluri, untuk mempertahankan mengadanya dan kelangsungan hidup manusia, baik pribadi maupun sosial (Zubair 1989).

Ketiga, akal, kesadaran akan sebab musabab keputusan. Berkembang dari pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filosofis (Zubair 1992). Akal merupakan pengantar untuk menuju kebenaran tertinggi. Oleh karena itu akal dalam pengertian Islam, merupakan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia untuk menangkap kebenaran wahyu (Nasoetion 1986, Asy’arie 1992, Nasr 1983).

Keempat, imajinasi, daya khas manusia, bisa hanya berupa khayalan kosong, tetapi juga dapat membuat manusia berkreasi dan menyempumakan pengetahuannya (Zubair 1992).

Baca Juga:  Surah Ar-Rum Ayat 58-60; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Kelima, hidayah, untuk menangkap kebenaran Illahi melalui wahyu dengan perantaraan nabi dan rasul. Manusia secara umum, berbeda dengan makhluk lain, justru karena manusia menanggung amanat untuk mempertanggungjawabkan “huda” tersebut.

Al-Qur’an mengisyaratkan adanya ketidaksamaan masing-masing individu dalam kesanggupannya. Sebagai contoh manusia buta tidak terbebani tanggungjawab untuk menangkap kebenaran cahaya. Di antara alat-alat penangkap kebenaran yang dimiliki manusia, akal menduduki peran penting.

Seorang manusia yang akalnya belum atau tidak sempurna tidak dibebani tanggungjawab mengupayakan kebenaran, bahkan kebenaran agama. seorang yang gila tidak terbebani untuk bertanggungjawab dalam lapangan akhlaq maupun aqidah.

Musa Asy’ari menulis bahwa, anjuran Al-Qur’an untuk berbuat sesuai dengan kemampuan pada dasarnya dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat tidak sesuai dengan kemampuannya, seringkali berakibat mencelakakan diri sendiri (Asy’ arie 1992).

Akal seringkali dikembangkan hanya batas pengetahuan ilmiah, padahal seharusnya akal bertanggungjawab menangkap tingkat pengetahuan rabbaniyah (Zubair 1992). Al-Qur’an menyindir manusia yang angkuh dengan akalnya sebagai manusia yang telah dikunci hati mereka.

Baca Juga:  Surah At-Taubah Ayat 121; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Pengernbangan kehidupan manusiawi meletakkan manusia sebagai subyek sadar dan aktif menentukan keputusan tindakan, corak dan bentuk kehidupannya sendiri.

Kebebasan kehendak dan memilih yang dimiliki manusia merupakan perwujudan langsung dari akal. Bahkan kalau ia berbuat menyimpang dari takdir dan hukum alam.

Meletakkan aspek tanggungjawab manusia sebagai sisi lain dari aspek kebebasan manusia, sehingga dalam dunia manusia ada konsep pahala dan konsep siksa, merupakan salah satu rahasia dari maksud Allah menciptakan manusia.

Kenyataan inilah yang membuat manusia memiliki dan mengembangkan pengetahuan dan menyebabkan malaikat sujud kepada Adam sebagai simbol manusial.

Peran manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, justru mengantarkan kedudukan istimewa ini kepada tuntutan tanggungjawab manusia atas seluruh keputusan-keputusan tindakannya, sesuai dengan batas kesanggupannya.

Berkaitan dengan kebebasan moral yang sebanding dengan tanggungjawab manusia, diperlukan sistem norma akhlaq yang mengatur dan mengontrol niat atau motivasi yang mendasari serta melatarbelakangi keputusan tindakan manusia, di samping itu juga mengontrol akibat yang timbul dari keputusan tindakan manusia.

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 180; Seri Tadabbur Al-Qur'an

Hal ini menjadi relevan justru karena manusia dengan kemungkinan-kemungkinan geraknya yang semakin meluas memiliki kesanggupan yang tidak terduga akibat-akibatnya.

Berarti kualitas manusia sebagai makhluk tergantung kepada dan ditekankan oleh tanggapan dan sikapnya terhadap sistem norma moral (akhlaq) yang diyakini kebenarannya.

Fungsi kekhaIifahan manusia hanya akan bermakna dan mendatangkan kesejahteraan lahir maupun batin, jika manusia selain berkemampuan menguasai dan mengendalikan alam juga mampu menguasai dan mengendalikan dirinya sendiri.

Mochamad Ari Irawan