Alam dalam Pandangan Metafisika Islam dan Timur

Alam dalam Pandangan Metafisika Islam dan Timur

Pecihitam.org – Tahun ini kita kembali berhadapan dengan kabut asap. Sekalipun hanya melanda sebagian wilayah Indonesia, peristiwa ini mengganggu berbagai aktivitas keseharian kita, mulai dari aktivitas mikro seperti kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah, kegiatan ekonomi di pasar-pasar, hingga aktivitas makro seperti hubungan komunikasi dan transportasi di negara kepulauan kita yang sangat luas ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Belum lagi soal dampaknya bagi kesehatan dan hubungan antar bangsa. Dari tahun ke tahun, tak sedikit orang yang menderita penyakit bahkan sampai meninggal dunia akibat menghirup CO2 dan negara-negara tetangga juga tak henti-hentinya mengeluhkan kedatangan kabut asap ke wilayah mereka.

Sebagian orang mengatakan ini adalah musibah. Tapi kebakaran hutan, serta kerusakan-kerusakan lingkungan lainnya, yang selalu terjadi berulang-ulang dan kita seakan menyerah dengan serangan-serangan balasan dari alam itu membuat kita bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sudah kita lakukan terhadap alam semesta sampai ia terus-terusan marah? Bagaimana kita memandang alam sehingga pandangan kita itu mempengaruhi segala perilaku dan perbuatan kita dalam hubungan antara manusia dan alam?

Dalam sebuah diskusi kecil seorang teman mengatakan bahwa norma-norma, baik teologi maupun filsafat, tidak mampu memberikan sumbangsih apa-apa terhadap upaya mengatasi permasalahan ekologi ini. Yang terpenting baginya adalah aksi nyata berupa perlawanan terhadap korporasi-korporasi elit yang rakus akan modal-modal produksi sehingga kelakuan mereka menyebabkan kerusakan alam.

Namun bagi saya, prinsip-prinsip normatif tetap diperlukan karena prinsip-prinsip tersebut meneguhkan makna etis bagi tindakan-tindakan manusia, khususnya terhadap alam semesta. Bukankah perlawanan-perlawanan revolusioner yang dicita-citakan itu berangkat dari suatu norma juga? Perlawanan memang tidak dapat ditinggalkan, tapi penguatan normatif tetap harus dilancarkan.

Tradisi teologi dan filsafat memiliki khazanah yang kaya dalam hal ini. Seyyed Hossein Nasr dalam The Encounter Man and Nature (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Antara Tuhan, Manusia dan Alam) mengatakan bahwa segala kekacauan yang melanda manusia modern, tidak hanya soal lingkungan hidup, terjadi akibat arogannya ilmu pengetahuan (sains) dan pudarnya pengaruh metafisika dalam kesadaran.

Baca Juga:  Inilah Alasan Kenapa Anda Tidak Boleh Belajar Islam Lewat Google

Secara lebih khusus, sains Barat – yang saat ini mendasari perkembangan teknologi yang kita gunakan – sejak awal telah gagal mengingat adanya hirarkhi keberadaan (eksistensi) dan pengetahuan (Nasr, 2003: 34). Meminjam istilah-istilah yang populer dalam poskolonialisme, eksistensi-eksistensi ditempatkan dalam oposisi biner, antara “aku”, “ego”, “the one” dengan “yang lain”, “liyan”, “the other”.

Sebaliknya, metafisika menyusun tingkatan-tingkatan eksistensi secara bertingkat-tingkat dan, karena itu, patut diterima bahwa dalam konsep emanasi al-Farabi, misalnya, manusia berada pada tingkatan yang rendah dalam wujud yang setara dengan binatang dan tumbuhan, meski manusia masih lebih tinggi daripada keduanya dalam hal kualitas intelek (‘aql) (Mulyadi Kartanegara, 2003: 36).

Posisi manusia, binatang dan tumbuhan, serta benda-benda bumi yang setara dan lebih rendah dari benda-benda lain, sebagaimana diurai di atas, melahirkan konsekuensi etis dalam hubungan manusia dengan alam. Karena berada pada posisi yang setara, maka mengeksploitasi dan merusak alam adalah pelanggaran moral yang serius bagi manusia.

Konsep hirarki wujud juga terkandung dalam metafisika Ibnu Arabi, namun kali ini jauh berbeda dengan emanasi al-Farabi. Bagi Ibnu Arabi, dalam dalam proses penciptaan manusia dan alam semesta mendapatkan tiupan ruh dari Ruh Ilahi, daya yang membuat tubuh alam hidup.

Di sini ruh-ruh seluruh makhluk bersumber dari Ruh Ilahi, sehingga ruh-ruh itu berada dalam kesatuan wujud dengan Sang Wujud (Noer, 2011: 202). Prinsip ini merupakan muara bagi seluruh metafisika Ibnu Arabi yang dinamai oleh murid-muridnya dengan istilah “wahdat al-wujud”.

Sesungguhnya wahdat al-wujud berbeda dengan pantheisme, karena meskipun Ibnu Arabi menyatakan dalam al-Futuhat al-Makiyyah “jiwa-jiwa diciptakan dari asal yang satu (ma’din wahidah)” (vol. 3, 2006: 410) dan “ruh-ruh itu adalah roh yang satu (ruh wahhidah)” (vol. 5, 2006: 278), tapi pada hakikatnya semua yang ada hanyalah manifestasi (tajalli) Tuhan.

Baca Juga:  Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2)

Karena eksistensi makhluk hanyalah manifestasi Tuhan, senada dengan iluminasi Syuhrawardi, wujud dalam pandangan Ibnu Arabi analog dengan cahaya. Dengan analogi tersebut realitas memiliki warna-warnanya sendiri-sendiri yang khas, meski kemudian warna-warna tersebut akhirnya rusak oleh fakta bahwa semua warna menjadikan Cahaya Tunggal menjadi tampak (Chittik dalam Nasr, 2003: 630). Jadi, makhluk berasal dari Tuhan tapi bukan Tuhan itu sendiri.

Dengan demikian, prinsip wahdat al-wujud Ibnu Arabi juga mengandung konsekuensi logis kemudian etis. Manifestasi Tuhan ke dalam jiwa makhluk mengindikasikan hirarki wujud terdiri dari dua tingkatan, yakni Martabat Ahadiyah atau zat Allah yang mutlak dan Martabat Wahidiyah atau manifestasi Tuhan dalam diri makhluk.

Akhirnya, eksistensi manusia dan alam sama-sama berada di bawah eksistensi Tuhan, sehingga jika manusia merusak alam berarti manusia merusak sesamanya.

Perbendaharaan kita akan lebih kaya jika kita lebih jauh mengulas metafisika Mulla Shadra yang pemikirannya memang berfokus pada filsafat wujud. Tapi dengan memahami Ibnu Arabi kita akan mudah memahami pula Mulla Shadra dengan ungkapannya “al-wahdah fi ‘ain al-katsrah” (kesatuan dalam keragaman) (Yazdi, 2003: 209).

Kita juga tidak bisa melewatkan Ikhwan al-Shafa, khususnya risalah tentang debat antara manusia dengan delegasi dari kerajaan hewan. Risalah itu mengandung ajaran normatif dan tentunya juga pesan etis tentang hubungan antara manusia dan alam.

Sekarang kita beralih ke metafisika Timur. Taoisme mengajarkan bahwa bumi tidaklah bersifat profan yang berhadapan dengan Yang Sakral. Ia merupakan sebuah bayangan prototipe ilahi yang berkontemplasi tentangnya akan mengantar kepada realitas yang disebut dengan “langit”. Tugas manusia spiritual, karena itu, adalah merenungkan alam dan bersatu dengannya. Untuk berbahagia dengan alam, orang harus secara benar menerima norma dan ritme alam, bukan mendominasi dan menguasainya (Nasr, 2003: 103-105).

Doktrin Vedanta dalam Hinduisme tentang Atman dan maya menyatakan bahwa dunia bukanlah realitas absolut, terpisah dari Penciptanya, tetapi sebagai selubung yang menyembunyikan Jiwa Tertinggi. Karena itu, tugas manusia adalah “menemukan” Jiwa Tertinggi (Atman) itu dengan membebaskan dirinya dari kungkungan dunia (kosmos) yang merupakan maya, sehingga akhirnya dunia jadi tidak begitu penting.

Baca Juga:  Al-Illah al-Ula’: Argumen Kosmologi Ketuhanan Menurut Filusuf Muslim

Caranya adalah dengan menimba pengetahuan (dharma), baik tentang realitas eksternal (Tuhan) maupun alam fisik, sehingga pengetahuan tentang alam terkait erat dengan hukum moral, spiritual dan kesucian. Satu-satunya jalan selamat, bagi Hinduisme, adalah dengan menembus misteri alam (Nasr, 2003: 107-109).

Metafisika Kristen juga tak dapat diabaikan dalam menelaah norma tentang lingkungan hidup. Dalam Perjanjian Lama terdapat ajaran tentang partisipasi alam dalam pandangan hidup agama, seperti, salah satunya, visi Hosea dimana Tuhan mengadakan perjanjian dengan binatang dan tumbuhan agar dapat menjamin perdamaian. Sedangkan dalam Perjanjian baru, kebangkitan Kristus diikuti dengan kehancuran dan pembaruan alam (Nasr, 2003: 119).

Akhirnya, khazanah metafisika dalam berbagai tradisi agama memiliki norma-norma yang serupa tentang hubungan antara manusia dan alam serta pentingnya menjaga hubungan tersebut tetap harmonis. Dengan demikian, menjaga kehidupan alam semesta dan berupaya tidak merusak lingkungan hidup merupakan bahasa yang universal.


Sumber:

  • Ibnu Arabi, 2006, al-Futuhat al-Makiyyah, ed. Ahmad Syams al-Din, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  • Kartanegara, Mulyadi, 2003, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan
  • Nasr, Seyyed Hossein, 2003, Antara Tuhan, Manusia dan Alam (terjemahan dari The Encounter Man and Nature), Yogyakarta: IRCiSoD
  • Nasr, Seyyed Hossein, 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama) (terjemahan dari History of Islamic Philosophy), Bandung: Mizan
  • Noer, Kautsar Azhari, 2011, Pemerintahan Ilahi atas Kerajaan Manusia: Psikologi Ibn ‘Arabi tentang Ruh, Jurnal Kanz Philosophia, vol. I, No. 2.
  • Yazdi, Muhammad Taqi Misbah, 2003, Buku Daras Filsafat Islam, Bandung: Mizan
Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *