Begini Cara Aliran Asy’ariyah Memahami Kuasa dan Kehendak Tuhan

Begini Cara Aliran Asy'ariyah Memahami Kuasa dan Kehendak Tuhan

Pecihitam.org- Berbeda dengan teologi Mu’tazilah yang menekankan keadilan Tuhan, Teologi Aliran Asy’ariyah memberi tekanan pada kuasa dan kehendak mutlak Tuhan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Segala sesuatu tergantung kepada kekuasaan dan kehendakNya yang bersifat mutlak itu. Karenanya menurut pandangan ini tidak ada hubungan kausal yang efektif di dalam alam, sebab hal itu akan berarti membatasi kemutlakan kuasa dan kehendak Tuhan.

Bahkan salah seorang tokoh pandangan ini, yang karya teologisnya telah menjadi pemandu teologi umat Islam khususnya di Nusantara selama beberapa abad, menyatakan bahwa percaya kepada hukum sebab akibat itu adalah salah satu dari enam pokok-pokok kekafiran.

Asy-Syatibi (790 H.) merumuskan masalah ini dalam kata-katanya, “Sebab tidak memberi efek dengan sendirinya (untuk terjadinya akibat). Akibat terjadi bersamaan dengan, dan bukan karena, sebab “Akibat-akibat adalah perbuatan Allah Yang Maha Tinggi.”

Jadi menurut asy-Syatibi tidak ada hubungan kausalitas antara sebab dan akibat. Hubungan antara keduanya hanyalah bahwa sebab dan akibat terjadi bersamaan, akan tetapi akibat bukan efek dari sebab. Akibat adalah efek dari kehendak Tuhan yang dapat melakukan apa saja yang Dia kehendaki.

Baca Juga:  Sebentar Lagi Idul Fitri, Yuk Ketahui 6 Hal Saat Lebaran di Zaman Nabi

Dalam kaitannya dengan manusia, pandangan yang menekan kan kuasa dan kehendak mutlak Tuhan berakibat ditempatkannya makhluk ini pada posisi yang lemah.

Kompetensi akalnya hanya diakui secara amat minimal, sehingga karena itu ia tidak mampu dengan akalnya itu mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan yang menjadi obyek hukum.

Lagi pula pada perbuatan itu tidak terdapat suatu kualitas intrinsik yang menyebabkannya menjadi baik atau buruk dan yang dapat dipatoki oleh akal untuk mengetahui baik dan buruknya itu. Baik dan buruk semata-mata karena perintah atau larangan Tuhan.

“Salat, puasa dan semacam itu adalah baik karena diperintahkan oleh Tuhan Pemberi Hukum; berzina, mencuri, membunuh tanpa hak dan makan harta sesama dengan jalan batil semuanya buruk karena dilarang oleh Pemberi Hukum. Seandainya tidak ada perintah atau larangan dari Pemberi Hukum pastilah itu semua tidak menjadi buruk”.

“Kehendak Allah bersifat multak, tidak dibatasi oleh apapun. Dialah pencipta segala sesuatu dan pencipta yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu perintah-Nyalah yang membuat sesuatu itu baik dan larangan-Nya yang membuat sesuatu itu buruk.”

Baca Juga:  Fii Amanillah, Kalimat Perpisahan yang Memiliki Banyak Kebaikan Namun Jarang Digunakan

Alasan aliran Asy’ariyah antara lain adalah, seandainya baik buruk itu bersifat rasional dan dapat diketahui oleh akal, hal itu akan berakibat terjadi perbedaan-perbedaan dalam menilai baik dan buruknya perbuatan-perbuatan, sebab akal itu berbeda-beda tingkat kemampuannya untuk menilai perbuatan.

Apa yang dipikirkan sebagai baik oleh sebagian orang bisa jadi dipandang sebaliknya oleh orang lain. Bahkan akal orang yang sama bisa jadi menilai suatu perbuatan suatu waktu sebagai baik dan pada waktu lain sebagai buruk, karena adanya pengaruh-pengaruh keinginan pribadi, tujuan-tujuan tertentu atau pengaruh lain.

Kesimpulan pandangan ini adalah seperti dalam penegasan al Ghazali: akal tidak dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan dan karena itu tidak dapat menentukan hukumnya. “Tidak ada hukum tanpa khitab dari pembuat Hukum”.

Ar-Razi (w. 606/1209) menyatakan, “tidak ada baik dan buruk kecuali berdasarkan syara’, dan tidak ada hukum tanpa syara’. Atas dasar ini Aliran Asy’ariyah sebagian besar berpendapat tidak ada hukum sebelum datangnya Rasul yang membawa syara’. Namun sebagian lain bersikap skeptis.

Baca Juga:  10 Adab dalam Menuntut Ilmu yang Wajib Kaum Pelajar Ketahui

Sejak Nabi Muhammad SAW mengumumkan firman Allah, ini al-hukmu ila- lillah, suatu konsep baru mengenai hukum diperkenalkan, yang berbeda dengan apa yang dikenal oleh masyarakat kesukuan Arab pada masa Jahiliyah.

Dalam teori klasik Islam, hukum bersumber kepada kehendak ilahi, sehingga dinyatakan bahwa Pemberi Hukum (al-Hakim) dalam Islam adalah Allah Yang Maha Bijaksana.

Oleh karena itu setiap usaha penemuan hukum (rechts vinding), dalam teori hukum Islam, tidak lain daripada upaya pencarian dan perumusan kehendak ilahi itu.

Mochamad Ari Irawan