Apa yang Dimaksud dengan Nafkah Istri? Berikut Pengertian, Jenis dan Dasar Hukumnya

Apa yang Dimaksud dengan Nafkah Istri? Berikut Pengertian, Jenis dan Dasar Hukumnya

Pecihitam.org- Untuk memahami maksud dari nafkah istri, sangat penting mengetahui terlebih dahulu pengertian nafkah itu sendiri. Kata Nafkah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata infaq, yang merupakan isim masdar majid dari infaqa, yunfiqu, infaaqotan, yang berarti membelanjakan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut istilah ahli fiqih, nafkah merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan oleh orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada seseorang yang berhak menerima nafkah, baik berbentuk benda, tempat tinggal dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup. Nafkah wajib semata karena adanya akad yang sah, penyerahan diri isteri kepada suami, dan memungkinkannya bersenang-senang.

Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah, salah satunya disebutkan dalam kitab Mu’jamul Wasith, dijelaskan bahwa:

“Nafkah merupakan segala sesuatu yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Nafkah ini juga mencakup keperluan istri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit dan termasuk juga di dalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.”

Di dalam Kamus Hukum pula defenisi nafkah diberikan secara umum yaitu, belanja untuk memelihara kelangsungan hidup. Adapun yang dimaksudkan dengan nafkah di sini adalah pemenuhan kebutuhan hidup istri dalam bentuk makanan, pakaian dan perumahan yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada isterinya untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

Baca Juga:  Rukun Nikah dalam Islam Ada Lima, Ini Ulasannya

Pemenuhan kewajiban nafkah oleh suami ini merupakan hak bagi isteri. Karena itu hak dan kewajiban suami isteri tidak dapat dipisah-pisahkan dan ia merupakan ikatan yang erat dan apabila salah satu pihak lalai maka ia dapat mengakibatkan putusnya ia dari ikatan.

Dalam Kajian Hukum Islam, akad nikah yang sah menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri. Diantaranya, pihak isteri berhak mendapatkan nafkah dari pihak suami yang menikahinya, dan sebaliknya di atas pundak suami terdapat kewajiban untuk memenuhi nahkah kepada istrinya.

Pemberian nafkah terhadap istri merupakan imbalan dari kewajiban isteri untuk mematuhi ketentuan-ketentuan suaminya, ini menurut pendapat bagi aliran Hanafiyyah.

Oleh karena yang menjadi sebab kewajiban nafkah adalah suami berhak membatasi gerak-gerik isteri dan isteri wajib memberikan loyalitasnya kepada suami, maka hak nafkah menjadi gugur apabila isteri tidak lagi memberikan loyalitasnya kepada suami. Salah satu dari penyebab gugurnya hak nafkah bagi isteri adalah Nusyuz (keluar dari ketaatan).

Baca Juga:  Laki-laki Wajib Baca! Ini Lho Nafkah Lahir Batin yang Istri Inginkan

Mayoritas ulama dari kalangan Mazhab Malikiyah, Syafiʻiyah, dan Hambaliyah berpendapat bahwa adanya hubungan timbal balik antara suami-isteri, merupakan alasan mengapa pihak suami diwajibkan menafkahi isterinya.

Dengan tali ikatan perkawinan maka hubungan suami isteri dihalalkan, di samping kehalalan hubungan tersebut, bahwa perkawinan mempunyai konsekuensi di mana pihak suami berkewajiban memberikan nafkah kepada isterinya.

Pada aliran Hanafiyyah, letak kewajiban nafkah adalah pada adanya kerja sama antara suami dan isteri yang diikat dengan tali perkawinan. Oleh karena itu, nafkah jelas menjadi kewajiban suami kepada isteri setelah suami menikahi isterinya, maka itu sudah menjadi tanggung jawab suami untuk menafkahi isteri.

Terdapat banyak dalil yang menyebutkan tentang nafkah. Maka di sini, penulis menyebutkan beberapa dalil yang menjadi dasar hukum tentang nafkah, salah satunya pada Surat At-Ṭalaq ayat 7:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. At-Ṭalaq (65): 7]

Baca Juga:  Khitbah, Prosesi Lamaran Menuju Pernikahan

Maksud dari ayat di atas bahwa seorang suami wajib memberi nafkah atau pembelanjaan untuk isterinya, menurut kemampuannya. Jika ia orang yang mampu berikanlah menurut kemampuannya. Dan orang yang terbatas rezekinya, yaitu orang yang terhitung tidak mampu.

Mereka yang berkemampuan terbatas juga wajib memberi nafkah menurut keterbatasannya. Dalam ayat ini Allah menunjukkan kasih sayang dan pengharapan yang tidak putus-putusnya bagi orang yang beriman serta Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

Mochamad Ari Irawan