Apakah Perang Berarti Membumi Hanguskan?? Ini Etika Perang dalam Islam

Apakah Perang Berarti Membumi Hanguskan?? Ini Etika Perang dalam Islam

Pecihitam.org- Haruslah disadari bahwa perang dalam Islam bukanlah bermakna al-harb yang bersifat bumi hangus dan habis-habisan tanpa memperhatikan etika kemanusiaan, tata tertib dan etika perang dalam Islam secara rinci ditegaskan sehingga istilah perang yang ada dalam syari`at Islam berbeda dengan peristilahan di barat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Term jihad memang berasal dari konsep Islam untuk membela hak asasi eksistensinya di atas permukaan bumi. Jihad pada awal Islam dapat dianggap sebagai sendi agama yang harus dijalankan para pemeluknya dalam berbagai pola dan bentuknya.

Dan salah satu bentuknya adalah perang, mengangkat senjata, melawan kaum kafir yang menolak dan menentang Islam dengan cara kekerasan. Sebagaimana jejak para Nabi terdahulu bahwa mereka melakukan jihad.

Nabi Muhammad pun diperintahkan berjihad membela kebenaran risalah Islam dalam bentuk mempertahankan doktrin tauhid maupun melawan dan bahkan memerangi orang-orang yang merongrong dan membahayakan komunitas masyarakat.

Inisiasi jihad dalam bentuk perang tersebut bukan berasal dari diri Muhammad sendiri, tetapi berdasarkan inspeksi Tuhan melalui ayat-ayat Qur’aniyyah yang turun bertahap dan berjenjang. Muhammad hanya sebagai interpretator terhadap ayat-ayat qitāl itu untuk diterjemahkan ke dalam tindakan praktis dan taktis yang dia kuasai ke dalam teori-teori perang dengan dibantu ide-ide para sahabatnya.

Baca Juga:  Rumusan Sholawat Nariyah Yang Berfaedah

Dengan demikian, kiranya jelas, bahwa pada prinsipnya perang dalam Islam memiliki landasan teologis-filosofis dan yuridis sebagaimana tertera dalam teks al-Qur’an. Hanya saja, hal penting yang sering dilupakan adalah tidak dipahaminya konsep perang secara tepat karena ayat-ayatnya berserak di berbagai surat dalam al-Qur’an.

Agama Islam diturunkan untuk mengantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Kaum muslimin diwajibkan menyampaikan dakwah Islamiyah kepada manusia.

Jika ada orang atau komunitas lain yang menghalangi dan memusuhi, maka harus dilawan supaya kebebasan memahami dan mengamalkan agama Islam terwujud. Dengan tujuan itu, hukum perang ditegakkan dalam Islam.

Di antara tata tertib yang ditetapkan Islam dalam berperang adalah:

  • Tidak boleh menyerbu mendadak sebagaimana terjadi pada era jahiliyah. Nabi menetapkan kaedah yang pada intinya bahwa penyerangan pada musuh tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu pagi.
  • Dilarang menyiksa maupun membunuh dengan membakar.
  • Dilarang membunuh dengan aniaya (qatl al-sabr).
  • Dilarang menjarah atau merampok setelah adanya perdamaian.
  • Dilarang merusak, merobohkan dan membuat bumi hangus arena perang.
  • Dilarang membunuh tawanan perang dan membunuh musuh secara picis.
  • Dilarang membunuh para duta dan utusan musuh.
  • Dilarang melepaskan perjanjian.
  • Dilarang membuat kerusakan masal.
Baca Juga:  Imam Syafii Memuji Para Sufi, Wahabi Justru Mencaci Tasawwuf

Tata tertib tersebut menjadi etika aturan pada diri pejuang Islam berdasarkan keteladanan Nabi dalam aktifitas jihadnya, sehingga dapat dipahami bahwa Islam menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam berperang. Dalam Islam tidak diperbolehkan memerangi kecuali pada orang yang memusuhi umat Islam dan berbuat aniaya (QS. al-Baqarah (2): 190-193). Jika mereka mengajak damai, maka perang harus dihentikan (QS. al-Taubah (9): 4 dan 6). Orang kafir yang membatalkan perjanjian harus diperangi karena pengkhianatannya (QS. al-Taubah: 8 dan 13) seperti yang dilakukan oleh Nabi kepada kaum Yahudi Bani Nadir dan Bani al-Mustaliq di Madinah.

Berdasarkan pemahaman terhadap konsep etika perang tersebut, para ulama’ klasik meletakkan perang pada status fardu kifayah. Namun jika kondisi berubah, ketentuan tersebut dapat menjadi fardu ‘ain, misalnya:  Ketika musuh telah berhadap-hadapan dengan kaum muslimin (QS. Al-Anfāl (8): 15, 16 dan 45).  Ketika musuh telah menduduki negeri Islam.  Ketika pemerintah menetapkan mobilitas umum bagi militer. Dari uraian tata tertib perang tersebut dapat dipahami bahwa perang dalam Islam bukan merupakan tujuan, tetapi ia lebih merupakan bentuk pertahanan (daf‘ al-darar) untuk melindungi masyarakat Islam.

Baca Juga:  Menanggapi Racun Wahabi: Mengapa Madzhab Fikih Syafi’i Tetapi Akidahnya Asyari?
Mochamad Ari Irawan