Apakah Yang Dimaksud Mahram Radha’ah? Ini Penjelasannya

Apakah Yang Dimaksud Mahram Radha'ah? Ini Penjelasannya

PeciHitam.org – Banyak sekali pertanyaan seputar mahram radha’ah, apakah pengertian dan maksud dari mahram radha’ah atau tentang bolehkah mahram radha’ah dinikahi? Mari kita bahas satu persatu mulai darimana kata radha’ah diperoleh.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Secara bahasa radha’ adalah bentuk mashdar (kata kerja tanpa zaman) dari kata radha’ah. Dikatakan radha’ah ats-tshadya artinya dia menyusu ibu. Sedangkan secara istilah radha’ah berarti meneteknya seorang anak yang berumur kurang dari dua tahun, dia menetek kepada susu perempuan yang sedang melimpah air susunya, baik karena hamil atau yang lainnya.

Sedangkan menurut jumhur ulama, di antaranya adalah Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i, makna radaha’ah menurut syara’ adalah segala sesuatu yang sampai ke dalam perut anak dengan melalui jalan normal atau pun tidak, dapat dikategorikan radha’ah.

Ulama fikih membagi mahram kepada dua macam. Pertama, Mahram mu’aqqat yaitu larangan untuk menikah dalam waktu tertentu, dan kedua, mahram mu’abbad yaitu larangan untuk melangsungkan pernikahan untuk selamanya. Wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya ini terbagi kepada tiga kelompok, yaitu, karena pertalian keturunan (nasab), karena hubungan sepersusuan (Mahram Radha’ah), dan kerena hubungan persemendaan (mushaharah).

Baca Juga:  Begini Argumentasi Hukum Menari dalam Islam, Tidak Semua Jenis Tarian Haram!

Telah disepakati dikalangan para ulama, bahwa susuan secara umum dapat mengharamkan sebagaimana haram karena sebab nasab (keturunan), maksudnya bahwa wanita yang menyusui, kedudukannya sama dengan seorang ibu. Maka ia diharamkan bagi anak yang disusuinya dan semua wanita yang diharamkan bagi anak laki-laki dari segi ibu nasab. Dan ulama juga sepakat susuan dapat memahramkan didalam usia dua tahun. Para ulama mazhab, Maliki, Abu Hanifah, Syafi’i dan kebanyakan ulama fiqh berpendapat bahwa yang menyebabkan terjadinya mahram adalah susuan yang dilakukan diwaktu kecil, dan tidak berlaku bagi orang dewasa.

Menurut Zainuddin Al-Malibari, setiap tahapan penyusuan tidak mensyaratkan banyak tetes atau hingga kenyang. Setetes dalam satu tahapan sekalipun sudah dihitung sebagai satu kali tahapan penyusuan sebagaimana keterangan berikut ini:

 الرضاع المحرم وصول لبن آدمية بلغت سن حيض ولو قطرة أو مختلطا بغيره وإن قل جوف رضيع لم يبلغ حولين يقينا خمس مرات يقينا عرفا

Artinya, “Persusuan yang mengharamkan nikah adalah sampainya susu putri Adam yang sudah mencapai usia haidh, meski hanya setetes atau bercampur dengan lainnya, meski sedikit, ke rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun secara yakin, sebanyak lima kali dengan yakin secara uruf.”

Baca Juga:  Perbedaan Hukum Mencukur Jenggot dalam Pandangan Ulama Madzhab

Di dalam kitabnya, Wahbah Zuhaily menjelaskan bahwa syarat susuan yang menjadikan mahram itu ada dua, yaitu:

Pertama, syaratnya umur bayi yang menyusu menyebabkan mahram adalah umur dua tahun adapun setelah lebih dua tahun maka tidak menjadiakan mahram beliau bardalil dengan sabda Rasulullah, Imam Malik menambahkan dua tahun dua bulan. Menurutnya, anak pada masa dua bulan itu bisa mengubah makanannya kepada yang lain. Adapun Imam Abu Hanifah menetapakan masa susuan dua tahun setengah. Jikalau anak pada masa ini mengubah makannya kepada makanan yang lainnya.

Kedua ukuran susuan menurut beliau sebanyak lima kali susuan maksud satu kali susuan menurut beliau adalah susuan yang anak itu menyusu dia meninggalkan susu dengan kehendaknya sendiri beilau sepaham juga dengan Imam Syafi’i dan Hambali tentang masalah ukuran Radha’ah ini.

Hubungan susuan ini, disamping berkembang kepada hubungan nasab, juga berkembang kepada hubungan mushaharah. Bila seseorang dilarang mengawini istri dari ayah, maka hal ini juga meluas kepada istri-istri ayah susuan. Bila seseorang tidak boleh mengawini anak dari istri, maka keharaman ini juga meluas kepada anak yang disusui oleh istri. Bila haram mengawini istri dari anak kandung, maka haram pula mengawini istri dari anak susuan. Bila haram mengawini ibu dari istri, haram juga mengawini orang yang menyusukan istrinya itu.

Baca Juga:  Tata Cara Shalat Duduk Dalam Beberapa Hadis Nabi
Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *