Adanya Cacat Matan dan Sanad dalam Argumentasi Khilafah HTI (Bag II)

Adanya Cacat Matan dan Sanad dalam Argumentasi Khilafah HTI (Bag II)

PeciHitam.org Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) dan jaringan internasionalnya selalu menggunakan hadits riwayat Imam Ahmad sebagai dalil pembenaran nubuat Khilafah. Keyakinan atas hadits bagi umat Islam adalah sebuah kewajiban, dan ini menjadi celah dalam dakwah mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Banyak tokoh-tokoh besar yang larut dalam cita-cita romantisme masa lalu ala Hizbut Tahrir dengan iming-iming dalil Hadits tersebut. Namun HTI mengabaikan pendapat Ulama lainnya terkait status hadits yang memiliki kecacatan dalam rawinya. Hal tersebut dibiarkan berlarut-larut dan menimbulkan gesekan di akar rumput yang seharusnya tidak diperlukan.

Kebanyakan kader dan simpatisan Hizbut Tahrir adalah golongan Islam modern yang termakan propaganda tujuan politis berbaju dakwah Islam. Tentunya mempergunakan dalil agama untuk tujuan politik kekuasaan tidak menjadi arus utama Islam.

Kritik Sanad Hadits Khilafah ala HTI

Mengungkap keabsahan dalil hadits tentang khilafah ‘ala minhaji Nubuwwah kiranya bisa dianalisis dalam 2 bentuk kritik. Yaitu kritik sanad (trasmisi hadits) dan kritik Matan (konten Hadits) yang masing-masing memiliki percabangan penjelasan. Fokus kritik Sanad bisa dipahami sebagai berikut;

Kritik sanad atau transmitter hadits merujuk pada ketidakmauan Imam Bukhari menggunakan sanad yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim. Karena menurut beliau dalam diri Habib bin Salim adalah kekurangan kredibilitas untuk diterima sebagai dalil shahih.

Pun rujukan Hizbut Tahrir dalam menerima Hadits Khilafah ‘ala minhaji Nubuwwah berasal dari pendapat al-Albani, tokoh muhaddits dari Albania yang banyak digunakan oleh orang salafi wahabi.

Para Muhaddits besar yang menyusun kitab Kuttubus Tis’ah (9 Kitab Hadits Utama dalam Islam) tidak memasukkan hadits tersebut kecuali Imam Ahmad.

Baca Juga:  Ketika Amir Hizbut Tahrir Bermimpi Menjadi Al-Fatih Kedua

Kritik terhadap Rawi atau orang yang  meriwayatkan Hadits berfokus pada Habib bin Salim yang oleh para Ulama banyak tertolak. Bahkan ia disebut-sebut sebagai orang yang majhul tidak diketahui dengan jelas sifat-sifatnya.

Keadaan Majhul dalam Ulumul Hadits menjadikan status hadits menjadi dha’if atau lemah. Menggunakan hadits ini sebagai dasar oleh HTI disebut oleh Agus Maftuh Abegebriel sebagai kecerobohan, karena rapuh argumentasinya.

Merujuk pada pendapat Ulama secara terperinci akan ditemukan tulisan bahwa kitab Faidul Qadir menyebutkan Habib bin Salim berasal dari Hudzaifah.

Dan hadits-hadits dari Habib bin Salim masuk dalam kategori mursal atau terputus sanadnya sampai Rasulullah SAW. Sederhananya Habib bin Salim tidak bertemu dengan Rasulullah SAW namun sanadnya langsung dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Menyoal Sanad Pendiri HTI Kepada Kakeknya, Syekh Nabhani

Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah menyebutkan bahwa Habib bin Salim adalah seorang Mudallis atau sering menyembunyikan kecacatan. Perbuatan tadlis atau menyembunyikan kecacatan hadits dan menampilkan kebagusan sanad dianggap sebagai perbuatan tercela. Simpulannya adalah penerimaan Ulama terhadap hadits Khilafah ‘ala Minhaji Nubuwwah dalam kritik sanadnya sangat bermasalah.

Kritik Matan Hadits Khilafah Ala HTI

Pembahasan kedua terkait kritik matan atau isi konten hadits dari riwayat Imam Ahmad dalam rangkaian sejarah. Bahwa redaksi Hadits tersebut menyebutkan runtutan peristiwa sejarah sejak era kenabian dan masa-masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang ngerti sak durunge winarah, diberitahu sebelum mengalaminya, menyebutkan runtutan masa sejarah Islam.

Bahwa hadits Nabi dengan jelas menyebutkan redaksi masa Kenabian yang  langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Redaksinya adalah,

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

Artinya; “Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah SWT kehendaki, Allah SWT  mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah SWT  menghendaki.

Tidak ada keraguan bahwa redaksi hadits tersebut merujuk pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW wafat pada tahun 632 Masehi dan telah berdakwah dalam periode Makkah dan Madinah serta membina para Sahabat. Pun demikian, Allah SWT menghilangkan periode Kenabian seiring wafatnya Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Hati-hati! Masih Banyak Gerakan Khilafah yang Merongrong NKRI

Matan hadits Riwayat Imam Ahmad terkait periode masa setelah Kenabian dengan terang benderang tercantum dalam redaksinya. Dan menurut para Ulama, Nubuat Nabi Muhammad SAW sudah terlaksana dan sudah berakhir pada era Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA, Khalifah ke-5 Bani Umayyah (99-101 H). Penjelasan selanjutnya di Bagian III

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan