Jangan Asal Mengharamkan Hanya Karena Nabi Tidak Pernah Melakukan

Jangan Asal Mengharamkan Hanya Karena Nabi Tidak Pernah Melakukan

PeciHitam.org Ekspresi ketidak setujuan salafi wahabi terhadap amaliah yang ada dalam Islam di Nusantara banyak terwujud dengan tuduhan bid’ah, syirik dan sesat. Nalar yang terbangun sangat tekstual, yakni selalu mengedepan kesamaan teknis pada masa nabi dan masa sekarang.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagaimana penolakan salafi wahabi dengan mengatakan bahwa tahlilan atau doa bersama setelah meninggalnya seorang Muslim dikatakan sebagai bentuk bid’ah tidak ada contoh dari Nabi atau Sahabat.

Mereka melihat hanya sekilas tanpa memahami esensi dari amaliah tahlilan bahwa di dalamnya berisi doa bersama dan shadaqah atas nama almarhum.

Narasi yang selalu disampaikan oleh salafi wahabi bahwa amaliah tahlilan memberatkan, oleh karenanya terlarang. Dan argumentasi bahwa Nabi SAW tidak mencontohkannya. Berikut ulasannya!

Nalar Tekstual yang Salah Salafi Wahabi

Kecondongan salafi wahabi ketika tidak setuju dengan sebuah amaliah Muslim di Nusantara akan habis-habisan menuduh dengan tuduhan bid’ah, syirik, dan sesat. Jika mau jujur, sebenarnya nalar salafi wahabi sangat rancu ketika dikomparasikan dengan berbagai realitas keberagamaan mereka sendiri.

Teknis amaliah yang dilakukan oleh Muslim di Nusantara adalah bentuk membumikan ajaran dan elaborasi tradisi yang diislamkan. Memang secara teknis, amaliah Muslim di Nusantara tidak sama persis dengan pada masa Nabi SAW. Sama tidak persisnya bahwa salafi wahabi shalat di Masjid yang berkubah besar, berlantai marmer, bertembok rapat.

Baca Juga:  Teguran Keras Menteri Bidang Dakwah Arab Saudi Kepada Tokoh Wahabi Indonesia

Padahal pada masa Nabi SAW tidaklah demikian, karena masih menggunakan bangunan sederhana yang hanya berinterior khas pada masanya. Tentunya perubahan zaman membawa dampak pula dalam beragama, namun tidak mengabaikan hakikat Ibadah tetap berjalan.

Tidak berbeda nalar cacat salafi wahabi ketika mengklaim bahwa amaliah Tahlilan dan ketika pulang membawa berkat atau makanan siap santap. Anggapan salafi wahabi adalah menuduh bid’ah karena tidak memiliki dasar pada masa Nabi SAW. Hal ini menunjukan bahwa kedangkalan pemikiran salafi wahabi dalam melihat sebuah realitas.

Tahlilan, Ambengan, Slametan adalah bentuk teknis dari pengamalan ajaran Islam yang mengalami pembumian di Nusantara. Bukan sebuah ritus amaliah baru yang menyelisihi ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi Narasi salafi wahabi sangat sering menuduh syirik, bid’ah kepada golongan Muslim di Nusantara.

Baca Juga:  Katanya Haul Kyai dan Habaib Itu Sesat, Ternyata Haul Ulama Wahabi Begini

Membumikan Ajaran Islam

Islam berkembang di Jazirah Arab yang sebelum kedatangan Islam tentunya masyarakat memiliki tradisi dan kebudayaanya sendiri. Namun Islam tetap mengakomodir tradisi selama ia tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagaimana ajaran Islam yang menganut keturunan melalui jalur Patrilineal, Islam tidak merubahnya karena memang berkesesuaian.

Sebagaimana di Nusantara, bahwa tradisi budaya shadaqah, atau makan bersama dalam setiap acara apapun (termasuk acara kematian) sudah menjadi kebiasaan.

Lewat proses pemahaman yang baik, tradisi makan bersama sangat erat dengan model shadaqah. Pun Nabi SAW hampir jarang sekali makan tanpa ditemani oleh sahabat beliau.

Maka ajaran makan bersama dalam segala kondisi tidak menyelisihi dengan ajaran nabi SAW. Cara membumikan Islam dengan tradisi tersebut dilakukan dengan cara menggabungkan nilai Islam berupa shadaqah dan doa bersama. Maka muncullah amaliah Slametan, Tahlilan, Yasinan dan lain sebagainya.

Seperti acara Tahlilan atau Slametan yang dilakukan setelah orang meninggal dunia, maka keluarganya membuatkan makanan siap santap. Jika mau ditarik simpulan, maka Tahlilan dan Slametan tersebut sangat sesuai dengan sabda Rasul SAW;

Baca Juga:  Bukti Kebutaan Realitas dan Riwayat Arus Dakwah Wahabi

وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوصِ ، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ ، أَفَلَهَا أَجْرٌ ، إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ

Hadits tersebut menunjukan  bahwa shadaqah atas nama mayit diperbolehkan oleh Islam. bukan seperti nalar cacat wahabi salafi yang mengatakan bid’ah. Kedangkalan berpikir salafi wahabi memang sangat memprihatinkan, sampai tidak mampu menganalisis sebuah realitas sosial.

Ash-Shawabu Minallah

 

Mochamad Ari Irawan