Ayat Mutasyabihat, Jangan Dipahami Berdasarkan Makna Dzahirnya, Seperti Arrahmanu ‘Alal ‘Arsy Istawa

ayat mutasyabihat

Pecihitam.org– Dalam Ulumul Qur’an, secara umum ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran terbagi menjadi dua, yakni ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Apa maksud kedua ayat tersebut, bagaimana cara memahami dan seperti apa contohnya?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tulisan sederhana ini, akan menjelaskan tentang makna ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Dan selanjutnya akan membahas lebih detail lagi mengenai ayat mutasyabihat baik tentang pembagian dan contoh yang masyhur jadi perdebatan antara kaum Ahlussunnah wal Jamaah dengan kaum mujassimah, yakni tentang ayat Arrahmanu ‘Alal Arsy Istawa.

Daftar Pembahasan:

Pengertian Ayat Muhkamat & Mutasyabihat

Secara sederhana, ayat muhkamat bisa dipahami sebagai ayat yang jelas maknanya, sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang memungkinkan bermakna tidak sebagaimana dzahirnya teks.

Ayat Muhkamat dan Contohnya

Menurut ulama ahli Al-Quran, ayat muhkamat adalah ayat dengan makna jelas dan langsung. Para ulama memberikan contoh-contoh ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji, dan ancaman.

Contoh Ayat Muhkam adalah seperti berikut:

“”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah ayat 90)

Ayat Mutasyabihat

Ayat mutasyabihat adalah ayat yang tidak jelas maksudnya. Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur’an yang dalam bahasa Arab mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara zhahirnya.

Karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur’an pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.

Baca Juga:  Surah Ar-Rum Ayat 38-40; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Pembagian Ayat Mutasyabihat

Ayat Mutasyabihat dibagi menjadi dua. Pertama, Ayat Mutasyabihat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal yang ghaib.

Kedua, Ayat Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya (ar rasikhun fil ‘ilm), sesudah menyelidikinya secara mendalam.

Termasuk contoh jenis yang kedua ini adalah seperti maksud dari al istiwa’ dalam ayat: ”Ar Rahmanu ‘ala al ‘arsyi istawa”. QS Thaha ayat 5. Para ulama ar rasikhun fil ‘ilm menafsirkan istawa di atas dengan ‘menguasai’ (al-Qahr), bukan bersemayam; sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdullah al Harari dalam al Syarh al Qawim fi Hall Alfadz al Shirath al Mustaqim.

Al Imam Ahmad ar-Rifa’i dalam al Burhan al Muayyad berkata: “Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad saw. yang Mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran”.

Dalil Tentang Ayat Muhkamat & Mutasyabihat

Adapun dalilnya adalah firman Allah dalam Surat Ali Imran

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal. (QS. Ali Imran ayat 7)

Baca Juga:  Surah Ali Imran Ayat 109-115; Seri Tadabbur Al Qur'an

Ayat di atas menerangkan bahwa di antara isi al Quran terdapat ayat-ayat yang Muhkamat dan Mutasyabihat.

Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang terang dan jelas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.

Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat yang tidak jelas maksudnya.

Contoh Ayat Mutasyabihat

Salah satu contoh ayat mutasyabihat yang terdapat dalam Alquran yang kemudian memicu perdebatan antara Ahlussunnah Wal Jamaah dengan kaum mujassimah adalah Firman Allah di dalam Surah Thaha ayat 5 berikut:

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy.

Pandangan Ahlussunnah Perihal Arrahmanu ‘Ala ‘Arsy Istawa

Ayat di atas (Arrahmanu ‘Ala ‘Arsy Istawa) tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau bersemayam atau berada di atas ‘Arsy dengan jarak atau bersentuhan dengannya.

Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita, karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafizh Imam Al-Baihaqi, al Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki dan al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.

Kemudian kata istawa sendiri dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras dengan ayat-ayat Muhkamat.

Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim) yang mewakili 15 makna tersebut.

Baca Juga:  Surah Al-Maidah Ayat 18-23; Seri Tadabbur Al Qur’an

Yang diperbolehkan adalah menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut adalah qahara (menundukkan atau menguasai).

Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”.

Maka ayat AhlussunnaSurat Thaha ayat 5) boleh ditafsirkan dengan qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai ‘Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya.

Karena al-Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan anak-anak mereka ‘Abdul Qahir dan ‘Abdul Qahhar.

Tidak seorangpun dari umat Islam yang menamakan anaknya Abdul Jalis (al jalis adalah nama bagi yang duduk). Karena duduk adalah sifat yang sama-sama dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat.

Penafsiran di atas tidak berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai ‘arsy kemudian menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali (tidak mempunyai permulaan) sedangkan ‘arsy adalah merupakan makhluk yang baru (yang mempunyai permulaan).

Dalam ayat ini, Allah menyebut ‘arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang paling besar bentuknya.

Demikian. Wallahu a’lam bisshawab!

Faisol Abdurrahman