Bagaimana Hukum Marhaban Bayi dalam Islam? Adakah Dalilnya?

Bagaimana Hukum Marhaban Bayi dalam Islam? Adakah Dalilnya?

PeciHitam.org – marhaban bayi bisa diartikan sebagai tradisi mencukur rambut bayi yang biasanya dibarengi dengan memotong kambing sebagai aqiqah. Pertanyaan yang muncul dari tradisi ini ialah bagaimana hukum marhaban bayi dalam Islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada dasarnya tradisi potong rambut bayi yang baru lahir adalah salah satu sunnah Rasulullah saw dimana rambut yang di potong nantinya akan ditimbang kemudian beratnya akan ditukarkan dengan emas atau perak dan di shodaqohkan kepada yang berhak menerimanya.

Sedekah disini mengandung harapan agar si kecil kelak menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat, nusa, bangsa dan agama, serta berbakti kepada orang tuanya.

Sunnahnya acara potong rambut dibarengi dengan acara aqiqah,yaitu pemotongan hewan qurban atau dikenal dengan aqiqah, untuk laki laki 2 ekor kambing dan untuk perempuan 1 ekor kambing, serta pemberian nama kepada bayi yang baru lahir tersebut.

Bagi sebagian orang, tradisi ini bukanlah hal baru karena Rasulullah saw sendiri pernah melakukannya bahkan juga menganjurkannya kepada Sayyidah Fatimah ketika melahirkan Sayyidina Hasan. Hal ini tercatat dalam sebuah hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Hakim “potonglah rambutnya dan sedekahlah dengan al-wariq (perak) sesuai dengan timbangan rambut itu”.

Akan tetapi bagi sebagian yang lain menganggap hal ini adalah sesuatu yang baru yang memerlukan dasar hukum yang jelas. Hal ini perlu diluruskan. Berdasarkan beberapa hadits seperti yang dinukil oleh Wahbah Zuhaili dalam Al-fiqhul Islami wa Adillatuhu bahwa rasulullah saw juga memberikan aqiqah kepada Hasan dan Husain:

Baca Juga:  Wanita Yang Haram Dinikahi Dalam Islam

 وروت عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن الحسن والحسين وقال: قولوا “بسم الله اللهم لك وإليك عقيقة فلان”

Adapun yang dilarang adalah mengoleskan darah aqiqah ke kepala bayi. Karena hal ini dianggap oleh Rasulullah saw sebagai tradisi jahiliyah. Yang kemudian Rasulullah menggantinya dengan mengoleskan minyak wangi ke kepala bayi. Oleh karena itu, jikalau kita menemukan tradisi mengoleskan minyak wangi di jidat bayi pada acara aqiqah (biasanya berbarengan dengan bacaan maulid) sebenarnya merupakan sunnah Rasulullah saw.

Sedangkan doa ketika mencukur bayi, merujuk Menembus Gerbang Langit; Kumpulan Doa Salafus Shalih (Lirboyo, Pustaka Gerbang Lama, 2010), hal. 120-123, sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَللهم نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَنُوْرُالشَّمْسِ وَالْقَمَرِ, اللهم سِرُّ اللهِ نُوْرُ النُّبُوَّةِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm. Alhamdulillâhirabbil ‘âlamîn. Allâhumma nûrus samâwâti wa nûrusy syamsyi wal qamari, Allâhumma sirruLlâhi nûrun nubuwwati RasuluLlâhi ShallaLlâhu ‘alaihi wasallam walhamduliLlâhi Rabbil ‘âlamin.

Artinya: “Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Ya Allah, cahaya langit, matahari dan rembulan. Ya Allah, rahasia Allah, cahaya kenabian, Rasululullah SAW, dan segala puji Bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Baca Juga:  Bermakmum Shalat Wajib Kepada Yang Shalat Sunnah

Dan doa ketika meniup ubun-ubun bayi setelah dicukur, sebagai berikut:

 اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Allâhumma innî u’îdzuhâ bika wa dzurriyyatahâ minasy syaithânir rajîm

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan untuk dia dan keluarganya dari setan yang terkutuk.”

Selanjutnya, doa walimah al-Aqiqah sebagai berikut:

اللهم احْفَظْهُ مِنْ شَرِّالْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَأُمِّ الصِّبْيَانِ وَمِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَالْعِصْيَانِ وَاحْرِسْهُ بِحَضَانَتِكَ وَكَفَالَتِكَ الْمَحْمُوْدَةِ وَبِدَوَامِ عِنَايَتِكَ وَرِعَايَتِكَ أَلنَّافِذَةِ نُقَدِّمُ بِهَا عَلَى الْقِيَامِ بِمَا كَلَّفْتَنَا مِنْ حُقُوْقِ رُبُوْبِيَّتِكَ الْكَرِيْمَةِ نَدَبْتَنَا إِلَيْهِ فِيْمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَلْقِكَ مِنْ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَأَطْيَبُ مَا فَضَّلْتَنَا مِنَ الْأَرْزَاقِ اللهم اجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَأَهْلِ الْخَيْرِ وَأَهْلِ الْقُرْآنِ وَلَا تَجْعَلْنَا وَإِيَّاهُمْ مِنْ أَهْلِ الشَّرِ وَالضَّيْرِ وَ الظُّلْمِ وَالطُّغْيَانِ

“Allâhummahfadzhu min syarril jinni wal insi wa ummish shibyâni wa min jamî’is sayyiâti wal ‘ishyâni wahrishu bihadlânatika wa kafâlatika al-mahmûdati wa bidawâmi ‘inâyatika wa ri’âyatika an-nafîdzati nuqaddimu bihâ ‘alal qiyâmi bimâ kalaftanâ min huqûqi rububiyyâtika al-karîmati nadabtanâ ilaihi fîmâ bainanâ wa baina khalqika min makârimil akhlâqi wa athyabu mâ fadldlaltanâ minal arzâqi. Allâhummaj’alnâ wa iyyâhum min ahlil ‘ilmi wa ahlil khairi wa ahlil qur`âni wa lâ taj’alnâ wa iyyâhum min ahlisy syarri wadl dloiri wadz dzolami wath thughyâni.”

Baca Juga:  Berapa Maksimal Boleh Memakan Daging Kurban Sendiri? Ini Penjelasannya

Artinya: “Ya Allah, jagalah dia (bayi) dari kejelekan jin, manusia ummi shibyan, serta segala kejelekan dan maksiat. Jagalah dia dengan penjagaan dan tanggungan-Mu yang terpuji, dengan perawatan dan perlindunganmu yang lestari. Dengan hal tersebut aku mampu melaksanakan apa yang Kau bebankan padaku, dari hak-hak ketuhanan yang mulia. Hiasi dia dengan apa yang ada diantara kami dan makhluk-Mu, yakni akhlak mulia dan anugerah yang paling indah. Ya Allah, jadikan kami dan mereka sebagai ahli ilmu, ahli kebaikan, dan ahli Al-Qur’an. Jangan kau jadikan kami dan mereka sebagai ahli kejelekan, keburukan, aniaya, dan tercela.”

Demikian penjelasan terkait hukum marhaban bayi dalam Islam, semoga bermanfaat.

Mohammad Mufid Muwaffaq

1 Comment

  1. Greenmara Reply

    Izin bertanya, jadi secara tegasnya marhabanan itu sunah ya? artinya bila tidak dilakukan tidak apa kan? kami sebagai orang tua cukup bingung pada masa pandemi seperti ini, dimana kami tidak bisa mengundang orang-orang. Saya sempat mendengar ada yang melaksanakan kegiatan cukur rambut secara mandiri (tanpa dihadiri orang ramai), asumsi nya, jika memang kegiatan marhaban itu sunah, berarti tindakan mencukur rambut secara mendiri seperti ini boleh kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *