Bagaimana Hukum Menerima Upah Mengajar Ngaji Bagi Para Guru? Berikut Penjelasannya dalam Hadis

Bagaimana Hukum Menerima Upah Mengajar Ngaji Bagi Para Guru? Berikut Penjelasannya dalam Hadis


Pecihitam.org- Mungkin dari kita banyak yang beranggapan bahwa seorang guru ngaji tidak seharusnya menerima uang atas jasanya, tugas mereka dipandang sebagai amalan mulia sehingga harus dijalankan dengan ikhlas. Lantas bagaimana hukum menerima upah mengajar ngaji tersebut?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Gejala pemberian dan menerima upah mengajar kepada guru ngaji ini terbilang fenomena baru di mana tidak terjadi di zaman Rasulullah SAW. Gejala ini muncul di zaman kerajaan Islam sepeninggal Rasulullah.

Dalam catatan sejarah, Pada masa kerajaan Islam, negara mengalokasikan anggaran untuk guru Al-Quran, guru pelajaran agama Islam, para imam, khatib Jumat, muazin di masjid-masjid, dan aktivitas keagamaan lainnya.

Dari situ ulama mutaqaddimin memutuskan bahwa mereka itu semua makruh hukumnya menerima insentif atau bisyarah dari masyarakat karena mereka telah menerimanya dari negara. Ulama mutaqaddimin memandang insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan sebagai sejenis gratifikasi yang kita kenal sekarang.

Tetapi ketika kondisi berubah, para ulama mengubah pandangan mereka terhadap insentif atau bisyarah dari masyarakat untuk petugas keagamaan seperti imam shalat wajib harian, khatib sembahyang Jumat atau sembahyang Id, muazin, guru Al-Quran, guru agama, atau jenis aktivitas keagamaan lainnya.

Baca Juga:  Sudah Bayar Zakat Apakah Masih Wajib Membayar Pajak? Ini Penjelasannya

Ketika kerajaan-kerajaan Islam itu tidak lagi mengalokasikan anggaran untuk imam dan khatib Jumat, ulama muta’akhirin–salah satunya Ibnu Rusyd membolehkan mereka menerima amplop atau insentif dari masyarakat seperti diangkat oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:

Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Al-Quran, tugas keimaman shalat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti shalat puasa, dan haji. Fatwa ini berbeda dengan hukum yang telah ditetapkan di kalangan ulama pada masa lalu seperti ulama Hanafiyah dan madzhab lainnya. Fatwa ini didasarkan pada pertimbangan perubahan zaman dan terhentinya anggaran negara (baitul mal) untuk guru agama dan mereka yang aktif pada syiar-syiar kegamaan dengan asumsi bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Menjual Buku yang Disegel?

Rasulullah SAW sendiri mengizinkan sahabatnya untuk menerima insentif dari masyarakat atas praktik ruqyah melalui ayat-ayat Al-Quran. Hadits ini dapat ditemukan pada riwayat Imam Bukhari berikut ini:

Dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Abdullah bin Abbas bahwa beberapa sahabat Rasulullah  melewati masyarakat yang bermukim di dekat sumber air di mana salah satu penduduknya tersengat binatang berbisa. Seseorang dari masyarakat setempat mendatangi mereka, lalu berkata, ‘Adakah di antara kalian yang bisa berjampi karena ada korban tersengat di air ini?’ Salah seorang dari mereka beranjak lalu berjampi dengan membaca Surat Al-Fatihah dengan upah kambing. Korban tersengat itu sembuh. Ia lalu membawa upah kambing yang dijanjikan, tetapi para sahabat Rasulullah enggan menerimanya. Mereka berkata sampai tiba di Kota Madinah, ‘Apakah kau menerima upah atas pembacaan kitabullah.’ Tiba di Madinah, mereka mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ia mengambil upah atas bacaan Al-Quran?’ rasulullah SAW menjawab, ‘Sesungguhnya pekerjaan berupah yang paling layak kau ambil adalah kitab Allah,’” (HR Bukhari).

Baca Juga:  Menggadaikan BPKB atau Sertifikat Tanah, Apakah Termasuk Riba?

Dari sini kita dapat memahami bahwa guru Al-Quran, khatib, imam, ahli hikmah yang meruqyah boleh menerima amplop, bisyarah, atau insentif dari masyarakat.

Tetapi pada suatu masa di mana negara mengalokasikan dana untuk syiar keagamaan, mereka makruh menerima amplop dari masyarakat karena bisa dibilang bahwa mereka itu adalah sejenis PNS sehingga tidak boleh dan tidak perlu menerima insentif dari masyarakat. Sementara ketika kondisi berubah seperti masa Rasulullah, maka mereka boleh menerima pemberian dari masyarakat.

Mochamad Ari Irawan