Bagaimana Hukumnya Asuransi dalam Islam? Ini Penjelasan Para Fuqaha

bagaimana hukumnya asuransi dalam islam

Pecihitam.org – Produk Asuransi semakin banyak, para agen asuransi pun saling bekompetisi untuk mendapatkan nasabah, baik melalui Telepon maupun kunjungan langsung, baik perorangan maupun kolektif. Lalu bagaimana hukumnya asuransi dalam Islam?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebelum membahas lebih jauh mengenai bagaimana hukumnya asuransi dalam Islam, pertama-tama mari kita pahami dulu maksud dan tujuan diadakannya Asuransi ini. Asuransi diadakan untuk maksud sistematisasi ta’âwun (saling tolong menolong) dan tabarru’ (dalam rangka berbuat kebaikan semata karena Allah subhanahu wata’ala. Iurannya (premi) dibayarkan secara rutin kepada pihak yang diamanahi mengumpulkan. Sebagai pihak yang diamanahi, maka pihak yang mengadministrasikan ini berhak mendapatkan upah dari pihak yang memberi amanah.

Sampai di sini, ditinjau dari segi fiqih, maka kedudukan masing-masing pihak yang terlibat dalam asuransi dapat diperinici sebagai berikut:

  1. Kedudukan peserta anggota asuransi adalah selaku orang yang mewakilkan (muwakkil). 
  2. Pihak yang mendapatkan amanah mengadministrasikan, kedudukannya adalah selaku wâkil dari anggota. 
  3. Sebagai wâkil, ia berhak mendapatkan upah. Upah yang lahir akibat akad perwakilan disebut sebagai wakâlah bi al-ujrah. 

Melihat dari rangkaian akad yang terjadi di atas, maka selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah harta yang diserahkan oleh member (anggota) ini milik siapa? Di sini ada dua jawaban, yaitu: pertama, ada yang menyebut bahwa harta itu milik pihak yang mengadministrasikan (lembaga asuransi); dan kedua, harta itu milik bersama.

Harta yang Diserahkan adalah Milik Lembaga Asuransi

Jika harta yang diserahkan adalah milik perusahaan asuransi, maka terjadi perubahan hukum pada status penyerahan hartanya, yaitu:

  1. Harta yang diserahkan oleh anggota kepada perusahaan pada hakikatnya adalah ‘iwadl‘Iwadl ini seolah sama dengan harta yang dipertaruhkan dalam suatu ajang meja judi. Ciri dari sebuah harta bisa disebut sebagai ‘iwadl (taruhan) adalah manakala harta tersebut: 
  2. Tidak ada kejelasan mengenai peruntukan hartanya
  3. Harta tersebut tidak bisa kembali ke member selain lewat jalur terpenuhinya risiko yang dipersyaratkan
  4. Bilamana anggota tidak bisa melakukan sesuatu hal yang dipersyaratkan, maka harta tersebut diambil oleh pihak yang bisa melakukan. 
  5. Ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Pihak yang menang mendapatkan semua harta. Sementara pihak yang kalah tidak mendapat apa-apa.
  6. Harta yang diserahkan merupakan al-maksi (pungutan liar). Ciri dari harta ini adalah:
  7. Tak adanya kejelasan untuk peruntukan harta itu
  8. Tidak ada alasan mengapa harta tersebut harus diberikan kepada jasa asuransi
  9. Ada sifat keterpaksaan dari anggota saat memberikan harta tersebut ke perusahaan
  10. Ketiadaan kulfah (beban kerja) yang jelas dari pihak yang diberi harta dan bermanfaat terhadap yang memberi. Bila ada kulfah, maka harta tersebut adalah ujrah.
Baca Juga:  Begini Makna Kafir yang Terdapat dalam Kajian Ilmu Tafsir Al-Quran

Permasalahan yang sering dihadirkan oleh fuqaha’ ketika harta yang dibayarkan oleh member dianggap milik perusahaan adalah:

  1. Apa beban kerja dari perusahaan asuransi sehingga bisa bermanfaat terhadap member?
  2. Apa status uang santunan yang diberikan oleh pihak jasa asuransi kepada member ketika terjadi apa yang dipersyaratkan?

Terkait dengan beban kerja (kulfah) perusahaan asuransi, sebenarnya hal ini sudah jelas, yaitu melakukan pengelolaan terhadap harta yang dikumpulkan member. Namun, bagaimanapun juga, hal ini ada titik lemahnya, yaitu sudah pasti yang dinamakan “memberi manfaat sehingga berhak memiliki sebuah harta” adalah manakala “kerja memberi manfaatnya” itu sudah dilakukan duluan.

Namun, dalam hal ini kerja dari perusahaan belum ada. Oleh karenanya, fuqaha’ mendudukkan premi ini dalam timbangan fiqih sebagai utang (dain) yang diberikan member kepada jasa asuransi dan harus dikembalikan. Tentu saja pengembaliannya harus sesuai dengan jumlah yang pernah disetorkan. Bila tidak sesuai, misalnya dengan bertambah dari nomimal premi yang pernah dibayarkan, maka kelebihan atau kekurangan tersebut dipandang sebagai riba. Dan bila ternyata jumlahnya lebih sedikit, maka dianggap perusahaan telah memakan harta secara bathil

Baca Juga:  Hukum Trading Forex Menurut Pandangan Ulama

Selanjutnya, sebagai catatan bahwa apa yang dipersyaratkan oleh jasa asuransi agar peserta mendapat santunan adalah bisa terdiri atas bermacam-macam bentuk. Namun dari kesekian bentuk itu bisa diringkas sebagai “telah terjadi risiko yang dialami oleh member dan risiko ini sesuai dengan risiko yang digariskan oleh jasa asuransi.” 

Sebagai contoh, misalnya, asuransi kecelakaan, maka risiko ini adalah terjadinya kecelakaan. Asuransi pendidikan, maka risiko yang diterima sebagai claim adalah usia sekolah. Asuransi jiwa, maka risiko yang diterima jasa asuransi adalah meninggalnya member, atau kondisi ketidaknormalan akibat kecelakaan. 

Tak pelak dengan memandang berbagai risiko ini para fuqaha berbeda pendapat dalam memandang hukum asuransi. Sebagian fuqaha’ menyuarakan haramnya asuransi. Namun sebagian yang lain ada yang membolehkan. 

Fuqaha yang Memandang Haramnya Asuransi

Sebelum masuk ke mengetahui alasan fuqaha yang mengharamkan asuransi, perlu dicatat bahwa pandangan ini berlaku pada premi yang berubah status kepemilikannya sebagai milik perusahaan. Beberapa alasan fuqaha’ yang mengharamkan adalah:

  1. Transaksi penyerahan premi adalah transaksi judi (maisir)
  2. Ada keterlibatan unsur memberi utang dengan kembalian yang melebihi pokok harta yang diutangkan (riba)
  3. Ketidakjelasan akad antara transaksi penyerahan premi dan mengutangi, ditambah ketidakjelasan bisa kembali atau tidaknya premi yang pernah dibayarkan, telah menyisakan timbulnya unsur gharar. 
  4. Harta tidak bisa kembali kecuali bila terpenuhinya risiko

Fuqaha yang Membolehkan Asuransi

Adapun fuqaha yang memandang bolehnya asuransi – dengan premi yang menjadi hak milik perusahaan – sebagaimana digambarkan di atas, adalah dilatarbelakangi oleh beberapa alasan:

  1. Ada Undang-Undang yang menjamin dan bersifat mengikat terhadap asuransi. 
  2. Penyerahan terjadi karena adanya unsur saling ridla antara member dan perusahaan
  3. Asuransi dianalogikan (qiyas) sebagai akad bagi hasil
  4. Keikutsertaan anggota dalam asuransi sudah diniatkan untuk kemungkinan terjadinya pertanggungan yang diakibatkan oleh hal-hal di luar prediksi. Keberadaan kâfil yang merupakan pihak asuransi, adalah ditugaskan menjadi pihak penjamin semua tanggungan yang mungkin tidak bisa diselesaikan akibat terjadinya kemungkinan tersebut. Misalnya, meninggal dengan meninggalkan utang. Maka tanggungan melunasi utang tersebut menjadi beban dari kâfil yang terdiri dari perusahaan asuransi tersebut. Demikian juga terhadap biaya pendidikan anak-anak member selama terjadi hal yang tidak diinginkan tersebut. 
Baca Juga:  Jenis dan Syarat Asuransi yang Diperbolehkan dalam Islam

Dengan mencermati kedua model pandangan hukum di atas, maka status uang yang diberikan kepada member yang terpenuhi risiko juga terbagi menjadi dua pandangan. 

  1. Bagi pihak yang memandang bahwa asuransi sebagaimana tersebut di atas sebagai haram, maka uang yang diberikan ibarat uang hasil dari taghlib (mengalahkan) peserta lain. Adakalanya uang tersebut dipandang sebagai harta yang dibeli dengan jangka panjang (sharf). Kelebihan harta yang dibeli dan melebihi nominal premi yang pernah dibayar dihukumi sebagai riba qardl.
  2. Bagi pihak yang memandang bolehnya asuransi, maka uang yang didapat dapat dianggap sebagai dana hibah akibat dari kewajiban kafâlah yang wajib dilakukan oleh perusahaan jasa.

Demikian penjelasan mengenai bagaimana hukumnya asuransi dalam Islam. Pada kesimpulannya bahwa persoalan ini terdapat ikhtilaf di kalangan Ulama, ada yang membolehkan dan ada yang megnharamkan sebagaimana ketentuan-ketentuan syariat yang telah dibahas sebelumnya. Wallahu a’lam

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *