Bagaimanakah Cara Mengqadha Puasa Ramadhan yang Tertinggal?

mengqadha puasa ramadhan

Pecihitam.org – Bulan Ramadan merupakan bulan diwajibkannya umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa Sesuatu yang wajib ketika ditinggalkan maka harus melaksanakan qadha, Menurut istilah dalam Ilmu Fiqih, qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Contohnya adalah qadha puasa Ramadhan yang berarti mengganti puasa Ramadhan yang pernah ditinggalkan dengan puasa yang dilakukan diluar bulan Ramadhan. Lalu bagaimanakah caranya mengqadha puasa ramadhan yang pernah ditinggalkan, baik sebab udzur ataupun sebab yang lainnya?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Qadha puasa Ramadhan, wajib dilaksanakan sebanyak hari yang pernah ditinggalkan, hal ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 184.

Adapun mengenai mengqadha puasa ramadhan dilakukan dengan cara berurutan atau tidak, ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.

  • Pendapat pertama, menyatakan sunnah melunasi puasa tersebut dilakukan dengan berurutan, bahkan wajib menqadha sesegera mungkin serta berurutan karena sedikitnya waktu. Dalam artian, tidak ada waktu kecuali untuk melakukan qadha puasa Ramadan tersebut.
  • Pendapat kedua, menyatakan bahwa pelaksanaan qadha/pelunasan puasa tidak ada diharuskan dilakukan secara berurutan. Sebagaimana keterangan al Aziz syarh al Wajiz lil-Rafi’i juz 6 halaman 433:

وَلاَ يَجِبُ التتابعُ في قَضَاءٍ رَمَضَانَ لِمَا رُوِى انّ النبيَّ صلي الله عليْه وسلّم ” سُئِلَ عن قضاءِ رمضانَ فقال اِنْ شَاءَ فرقهُ وإن شَاءَ تَابِعَهُ “.

“Tidak wajib berurutan dalam men-qadha puasa Ramadan berdasarkan hadis yang diriwayatkan, “bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wassalam ditanyai tentang qadha puasa Ramadan, maka Rasulullah menjawab, “jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya terpisah. Dan jika ia berkehendak, maka ia boleh melakukannya secara berurutan.”

Dengan demikian, berdasarkan dua pendapat di atas bahwa cara mengqadha puasa Ramadan tidak harus dilakukan secara berurutan. Namun juga dapat dilakukan dengan leluasa, kapan saja yang dikehendaki. Boleh secara berurutan, boleh juga terpisah. Alangkah baiknya, dilakukan sesegera mungkin karena untuk mempercepat bebasnya tanggungan sebelum datang bulan Ramadan berikutnya.

Daftar Pembahasan:

Bagaimana jika Qadha puasa tertunda sampai Ramadhan berikutnya?

Sebetulnya waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha’ puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup yakni, sampai dengan Ramadhan tahun berikutnya. Akan tetapi, bisa saja jika ada orang-orang dengan alasan tertentu belum/tidak bisa melakukan qadha puasa Ramadhan, hingga tiba bulan Ramadhan lagi.

Baca Juga:  Batalkah Shalat Makmum Jika Mendahului Bacaan Fatihah Imam?

Hal ini, dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor positif maupun negatif seperti; sering sakit misalnya, sering ada halangan, bersikap apatis, gegabah, sengaja dan lain-lain. Sehingga qadha puasanya tertunda atau dtangguhkan sampai tiba Ramadhan lagi.

Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadha puasa Ramadhan sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah, maka hukumnya haram dan berdosa. Namun jika penundaan tersebut dikarenkan udzur yang selalu menghalangi, maka hal itu di maklumi dan tidaklah berdosa.

Adapun tentang kewajiban membayar fidiyah yang berkaitan dengan penundaan qadha puasa Ramadhan tersebut, ada perbedaan pendapat diantara para Fuqaha.

  • Pendapat pertama menyatakan bahwa; penundaan qadha puasa Ramadhan hingga tiba bulan Ramadhan lagi, tidak menjadi sebab diwajibkannya fidyah. Baik penundaannya tersebut karena ada udzur atau tidak.
  • Pendapat kedua menyatakan bahwa; penangguhan qadha’ puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya ada tafshil (rincian) hukumnya. Yakni jika penundaan itu karena udzur, maka tidak diwajibkannya fidiyah. Sedangkan jika penundaan qadha puasa tersebut tanpa udzur, maka diwajibkan membayar fidyah.

Namun menurut ulama yang lain kewajiban fidyah akibat penundaan qadha puasa Ramadhan sampai tiba bulan Ramadhan lagi, tidaklah berdasar pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah. Oleh sebab itu, pendapat tersebut cukup lemah keabsahannya. Dengan demikian, secara lebih condong kepada tidak ada kewajiban fidyah, walaupun penundaan puasa tersebut tanpa udzur.

Baca Juga:  Bolehkah Membayar Fidyah dengan Cara Dicicil?
Bagaimana jika meninggal dunia sebelum Qadha puasa?

Memenuhi kewajiban membayar hutang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah SWT. Sehingga orang yang meninggal dunia pun masih punya tanggungan kewajiban qadha puasa Ramadhan, karena sama saja mempunyai hutang kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.

Adapun dalam praktik pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan tersebut, ada dua pendapat yakni;

Pendapat pertama, menyatakan bahwa; pelaksanaan qadha’ puasa Ramadhan orang yang meninggal dunia tersebut gapat diganti dengan fidyah, yaitu memberi makan kepada seorang fakir miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkannya sebesar 0,6 kg bahan makanan pokok.

Sabda Rasulullah SAW:

مَن مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيُامْ أُطْعِمَ عَنْهُ مَكَانَ يَوْمٍ مِسْكِيْنٌ

“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban puasa, maka dapat digantikan dengan memberi makan kepada seorang miskin pada tiap hari yang ditinggalkannya.” (HR Tirmidzi, dari Ibnu ‘Umar)

Hadits tersebut di atas, yang mendukung pendapat pertama ini. Namun oleh, Imam Tirmidzi menyatakan hadits tersebut gharib. Bahkan oleh sebagian ahli hadits menyatakan hadits mauquf, atau tidak dipakai. Sehingga kurang bisa dijadikan hujjah.

Namun demikian, para Fuqaha yang menyatakan pendapat ini menguatkannya dengan berbagai peristiwa seperti; bahwa masyarakat Madinah melaksanakan hal yang seperti ini, yakni memberi makan kepada seorang miskin untuk tiap-tiap hari yang telah ditinggalkan puasanya oleh orang yang telah meninggal dunia.

Pendapat kedua, mengatakan; jika orang yang memiliki kewajiban qadha puasa meninggal dunia, maka pihak keluarganya wajib melaksanakan qadha puasa tersebut. Dan tidak boleh diganti dengan fidyah. Atau dalam prakteknya, qadha’ puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seijin atau atas perintah keluarganya.

Baca Juga:  Sejarah Awal Mula Diwajibkannya Puasa Ramadhan

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)

Pendapat kedua ini, kami kira lebih kuat lantaran hadits yang mendasarinya shahih. Sementara pendapat pertama dinilai lemah karena hadits yang mendasarinya marfu’, gharib atau mauquf seperti dijelaskan di atas. Sedangkan peristiwa yang menguatkannya yakni, apa yang dilakukan oleh masyarakat Madinah ketika itu, sama sekali tak dapat dijadikan hujjah, lantaran bukan suatu hadits.

Bagaimana jika jumlah hari yang ditinggalkan tidak diketahui?

Wajib hukumnya mengqadha puasa ramadhan sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Baik qadha puasa untuk dirinya sendiri, atau untuk keluarga yang telah meninggal dunia. Namunbisa saja terjadi bahwa jumlah hutang hari puasa itu tidak diketahui lagi, misalnya karena sudah terlalu lama, atau sulit diketahui jumlah harinya.

Jika demikian, maka bijaknya kita tentukan saja jumlah hari yang paling maksimum. Karena kelebihan hari qadha puasa adalah lebih baik daripada kurang. Dimana kelebihan hari qadha’ tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.Wallahua’lam Bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *