Baghdad, Dari Negeri 1001 Malam Menjadi Negeri 1001 Kehancuran

Baghdad Negeri 1001 Malam

Pecihitam.org – Siapa yang tidak kenal dengan Baghdad, tempat di muka bumi ini yang dijuluki negeri 1001 malam. Menurut sebagian ahli sejarah menyebut Baghdad (yang berarti hadiah Tuhan) konon sudah ada ada sejak 4000 SM.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam perjalanan sejarah tercatat berbagai bangsa pernah silih berganti menguasai ranah nan subur di pinggiran Sungai Tigris itu. Mereka terdiri dari bangsa Persia, Yunani, Romawi hingga Arab.

Islam sendiri masuk ke Baghdad pada 637 M. Saat itu pasukan Kekhalifahan Islam pimpinan Panglima Besar Saad ibn Abi Waqqash berhasil menguasai seluruh wilayah Kerajaan Persia termasuk ibu kota Ctesiphon. Mereka kemudian mendirikan pusat pemerintahan di Kufah dan Basrah.

Mengapa tidak memilih Baghdad? Entah apa alasannya, bisa jadi selain belum ramai, saat itu Baghdad masih berupa perkampungan kecil jadi tak begitu diperhatikan.

Baghdad baru dilirik 125 tahun kemudian, ketika Khalifah al Manshur dari Dinasti Abbasiyah meletakan batu pertama pembangunan sebuah ibu kota baru. Ada beberapa alasan mengapa Baghdad dipilih jadi ibu kota.

Selain letaknya yang strategis secara militer, al Manshur juga melihat Baghdad memiliki Sungai Tigris. Itu faktor penting karena bisa menjadi jalur perhubungan dengan Tiongkok sekaligus mengeruk hasil makanan dari Mesopotamia, Armenia dan daerah sekitarnya.

Menurut Al-Thabari sejarawan Arab klasik termashur, untuk membangun Baghdad al Manshur sampai merogoh kocek sebesar 4.883.000 dirham dan mempekerjakan sekitar 100.000 arsitek, pengrajin, dan kuli yang berasal dari Syiria dan Mesopotamia.

Sejak 762 M, Dinasti Abbasiyah sangat memusatkan pemerintahannya di Baghdad. Berbeda dengan para pendahulunya para Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) yang begitu bersahaja dan informalitas dalam pemerintahannya tergantikan gaya hidup glamor dan hedonistik oleh khalifah-khalifah Abbasiyah masa itu.

Baca Juga:  Pertempuran Ambarawa, Peristiwa Bersejarah Cikal Bakal Hari Juang Kartika

Karen Armstrong dalam Islam, A Short History menuliskan, “Dalam keseharian, para khalifah Abbasiyah dikelilingi para tukang jagal. Itu seperti sebuah bentuk pemberitahuan tersirat kepada khalayak bahwa mereka memiliki kekuasaan atas hidup dan mati,” tulisnya.

Lebih dari 500 tahun, para khalifah dinasti Abbasiyah hidup dalam kejayaan dan kemewahan. Bahkan Baghdad yang awalnya hanya sebuah kampung kecil telah berubah menjadi pusat fashion laksan Paris, Milan dan New York saat ini.

Berbagai perilaku dan gaya pakaian keluarga besar khalifah bahkan menjadi acuan mode dunia saat itu. Salah satu selebritis mode itu adalah Ulayyah, salah seorang adik perempuan Khalifah Harun Al Rasyid (786-809).

Philip K. Hitti dalam History of the Arabs mengatakan, “Ulayyah pernah coba menutupi sebuah goresan kecil di dahinya dengan memakai pengikat kepala yang berhiaskan emas permata. Ikat kepala ala Ulayyah tersebut lantas menjadi trend dunia mode pada zaman itu,” ungkap Philip.

Di lain sisi tidak hanya trend mode dan kemewahan saja, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat di Baghdad. Kala itu, hampir di setiap sudut kota terdapat perpustakaan dan laboratorium penelitian.

Bahkan begitu majunya ilmu pengetahuan, bisa dikatakan hampir semua masyarakat Baghdad memiliki minat besar mempelajari matematika, fisika, kedokteran, seni dan filsafat.

Sejarawan Prancis Gustave Le Bon, menyebut situasi tersebut sebagai ironi bagi dunia Barat. Mengapa? “Karena ketika pusat-pusat Islam Baghdad (dan Cordova) sedang berada di puncak kecemerlangannya, bangsa Barat hanya berupa benteng-benteng perkasa, yang dihuni oleh para bangsawan semi barbarik yang merasa bangga atas ketidakmampuannya membaca,” tulis Le Bon dalam The World of Islamic Civilization.

Baca Juga:  Sejarah Masa Pra Kenabian Nabi Muhammad SAW (Bagian 2)

Meski demikian, nasib baik tidak selamanya berpihak pada Baghdad. Di tengah gaya hidup mewah para khalifah yang sudah malampaui batas, Baghdad pada akhirnya didatangi malapetaka.

Februari tahun 1258, sekitar 200.000 prajurit Mongol pimpinan Jenderal Hulago Khan menyerbu Baghdad. Slih-alih bertahan untuk menghadapi serangan tersebut ,tentara Abbasiyah yang secara moril sudah miskin keberanian dan semangat itu lari kocar-kacir.

Melukiskan ketidak-berdayaan para tentara Abbasiyah tersebut. Ibnu Katsir dalam al-Bidayah an-Nihayah mengatakan, “Baghdad yang mewah dan indah dibuat jadi lautan darah oleh para prajurit Hulago Khan. Tentara Tartar (Mongol) mengejar pasukan khalifah dan rakyat biasa hingga ke lorong-lorong kota. Mereka dengan biadab membantai tanpa ampun tentara, anak-anak, perempuan dan orang tua. Baghdad menjadi samudera darah dan penderitaan,” tulisnya,

Saat itu Abasiyah di bawah kepemimpinan Khalifah al-Mu’thasim (1243-1258). Setelah berhari-hari bertahan di istananya yang megah, khalifah beserta 300 pejabat dan keluarga istana akhirnya menyerahkan diri pada Jenderal Hulago Khan. Sepuluh hari kemudian seluruh tawanan itu dipancung satu persatu, termasuk al Mu’tashim dan dua puteranya.

Sepeninggal khalifah, Baghdad dibakar dan dijarah habis-habisan. Ribuan artefak, manuskrip sejarah dan buku-buku ilmu pengetahuan pun berubah menjadi abu. Selain kepada harta dan emas, rupanya tentara Mongol sama-sekali tidak tertarik pada aset sejarah dan ilmu pengetahuan.

Baca Juga:  Menelisik Sejarah Islam Di Indonesia

Pada zaman sekarang, sikap itu dimiliki juga oleh militer Amerika Serikat dan Inggris saat menyerang Irak. Saat pasukan gabungan keduanya menyerang Irak pada penghujung Maret 2003, kiamat seolah melanda Baghdad untuk kedua kalinya.

Tidak hanya puluhan ribu nyawa manusia telah melayang akibat serangan ilegal dan biadab tersebut, namun ribuan artefak dan manuskrip sejarah penting peninggalan Dinasti Abbasiyah pun ikut musnah dilumat rudal dan dicuri para penjarah dari Museum Nasional Irak. Baghdad yang dulu dikenal sebagai “negeri 1001 malam” berubah menjadi negeri 1001 kehancuran.

Robert Fisk, salah seorang saksi hidup penyerangan Amerika dan Inggris ke Irak, pun mengumpat, “Kehancuran total itu menjadi bencana dan simbol paling memalukan dari upaya pendudukan (yang dilakukan AS dan Inggris) terhadap kota yang pernah melahirkan peradaban dunia”, ujar Fisk dikutip The Independent, 17 September 2007.

Jadi, sampai kapan kekacauan di Timur Tengah akan terus terjadi? Dan butuh berapa lama untuk mengembalikan itu semua? Wallahua’lam bisshawab.

*Diolah dari berbagai sumber

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik