Membeli Baju Baru Untuk Lebaran dalam Islam, Adakah Tuntunannya dari Nabi?

Membeli Baju Baru Untuk Lebaran dalam Islam, Adakah Tuntunannya dari Nabi?

PeciHitam.org – Setelah melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh, umat muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri atau yang biasa disebut lebaran.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ada tradisi unik yang biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Apakah itu? Ya, benar, masyarakat kita biasa membeli baju baru ketika lebaran tiba.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan merupakan saat di mana masjid-masjid sepi dan pasar atau pun mall ramai.

Para penjual pakaian sudah kebanjiran pembeli baju baru lebaran. Meski di saat dilanda wabah pandemic seperti sekarang ini diakui menjadikan omset mereka turun drastis, namun tradisi tersebut masih ada. Lihat saja pasar di daerah anda.

Tidak perlu naif, di saat pandemic seperti sekarang ini masjid-masjid lebih sepi dari pada mall atau pasar, seolah narasi yang dibangun ialah umat Islam didzalimi, tidak boleh beribadah, negeri PKI, dan sebagainya. Padahal ketika situasi normalpun masjid-masjid memang sepi. Kemana saja selama ini? Sudahlah.

Kembali fokus kepada permasalahan baju baru lebaran. Memakai pakaian baru pada saat Lebaran telah menjadi budaya sebagian kaum Muslimin di Indonesia.

Hal tersebut berangkat dari dalil-dalil sahih berupa hadis Nabi dan atsar (perkataan) para ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang menunjukkan bahwa hal itu memang memiliki dasar atas kebolehannya dan memang ada tuntunannya.

Berikut ini beberapa dalil syar’i dan atsar yang biasa dijadikan sebagai pijakan, yaitu:

Pertama, hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab Shahih Bukhari, pada Bab tentang Dua Hari Raya dan Berhias di Dalamnya.

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ، فَأَخَذَهَا، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالوُفُودِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Abdullah bin Umar ra berkata, “Umar ra mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar, lalu dia mendatangi Rasulullah saw, kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, belilah jubah ini dan berhiaslah dengannya untuk hari raya dan menyambut tamu.’ Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di Hari Kiamat).’” (HR. Bukhari)

Baca Juga:  5 Prinsip Pokok Fiqh Sosial KH Sahal Mahfud

Dalam kitab Hasyiah As-Sindi ala An-Nasa’i karya Abu Al-Hasan menjelaskan perihal tersebut, bahwa hal tersebut merupakan sunnah dan kebiasaan para salaf (orang-orang dahulu):

مِنْهُ عُلِمَ أَنَّ التَّجَمُّلَ يَوْم الْعِيد كَانَ عَادَةً مُتَقَرِّرَةً بَيْنهمْ وَلَمْ يُنْكِرْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dari hadis ini diketahui, bahwa berhias di hari ‘ied termasuk kebiasaan yang sudah ada di kalangan para sahabat, dan Nabi saw juga tidak mengingkarinya.

Dalam Kitab Fathul Bari juga dijelaskan bahwa hadis tersebut membahas mengenai berhias diri pada hari raya yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang terdahulu dari zaman Nabi dan para sahabat.

Oleh karena itu, anjuran untuk mempercantik diri dan memakai baju yang terbaik di hari raya memang ada dasarnya. Jika memang tidak ada yang baru, boleh juga menggunakan yang lama.

Sebab pada dasarnya, yang perlu ditekankan justru baju yang terbaik dan memakai wewangian. Terbaik dalam hal ini bukan berarti terbaru.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al Mustadrak ‘alaa Al-Shohihain berikut:

عَنْ زَيْدِ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أَبِيهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: «أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْعِيدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ مَا نَجِدُ، وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدَ مَا نَجِدُ

“Dari Zaid bin Al Hasan bin Ali, dari ayahnya, ra, ia berkata: Kami diperintahkan oleh Rasulullah saw pada hari hari untuk memakai pakaian yang ada dan memakai wangi-wangi dengan apa yang ada”

Ibnu Qudamah ra berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa berhias pada momen-momen seperti itu sudah sangat dikenal.” (Kitab Al-Mughni, II/370).

Imam Asy-Syaukani ra berkata, “Kesimpulan, disyariatkannya berhias pada hari raya dari hadis ini didasari oleh persetujuan Nabi tentang berhias di hari raya, adapun pengingkarannya hanya terbatas pada macam atau jenis pakaiannya, karena dia terbuat dari sutera.” (Kitab Nailul Authar, III/284).

Baca Juga:  Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Kisah Nabi Yusuf Perspektif Quraish Shihab

Demikianlah, hal tersebut terus berlangsung sejak masa sahabat hingga sekarang.

Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Nafi bahwa Ibnu Umar pada dua hari raya mengenakan bajunya yang paling bagus.”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin Rahimahullah berkata, “Termasuk amalan sunah pada hari raya adalah berhias, baik bagi orang yang i’tikaf maupun yang tidak.” (simak Tanya Jawab dalam Sholat Dua Hari Raya, hal. 10).

Namun, dari pernyataan di atas, menggambarkan pada Idul Fitri tidak harus selalu menggunkan pakaian baru. Akan tetapi menggunakan pakaian yang terbaik.

Berhias dan memakai pakaian baru pada Idul Fitri, meskipun disunahkan, hanya saja kita tidak boleh terjebak pada sifat boros dan berlebihan dalam berpakaian atau berdandan. Tidak boleh pula kita mengabaikan kriteria pakaian syar’i yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan hadis.

Menjaga agar aurat tidak terlihat, menghindari pakaian yang terlalu ketat, mencolok dan menarik perhatian banyak orang. Sehingga dosa-dosa yang telah diampuni Allah selama beribadah di bulan Ramadhan, tidak kembali ke dalam diri kita lagi.

Oleh karenanya, sebaiknya dalam berpakaian tidak melanggar batasan-batasan syar’i, baik bagi pria maupun wanita. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala berikut,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Artinya: “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33).

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga pernah mengingatkan:

لَيْسَ الْعَيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعَيْدُ لِمَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ

Artinya: “Hari raya itu bukan bagi orang yang memakai pakaian baru, Akan tetapi hari raya bagi mereka yang takut terhadap hari pembalasan”

Baca Juga:  Konsep Belajar Menurut Az-Zarnuji dalam Kitab Ta’limul Muta’allim

Pentingkah Memakai Baju Baru Lebaran saat Pandemi?

Di saat seperti ini, kita dilanda wabah virus yang dapat menyebar dengan cepat mengharuskan kita untuk mengurangi aktivitas di luar rumah. Sebisa mungkin hal tersebut dilakukan, agar wabah tidak semakin parah dan mengakibatkan jatuhnya semakin banyak korban.

Pemerintah sudah melarang adanya aktivitas yang mengundang kerumunan, seperti demo, konser, bahkan ibadah di tempat peribadatan seperti masjid, gereja dan sebagainya.

Meski begitu, memang belum dapat menutup tempat sentral seperti pasar dan mall yang posisinya amat penting dalam kehidupan sehari-hari dan belum tergantikan.

Dengan tidak membeli baju baru lebaran di pasar atau di mall, berarti kita juga sudah meminimalisir penyebaran virus tersebut. Sebab, kita juga menghindarkan diri dari kerumunan dan interaksi satu sama lain dalam ruang umum.

Menahan diri dari kerusakan yang lebih besar merupakan salah satu kaidah dalam ushul fiqh:

المصالح جلب من اولى المفسد درع

“Mencegah bahaya lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan”

Kaidah ini berlaku dalam segala permasalahan yang didalamnya terdapat pencampuran antara unsur mashlahah dan mafsadah. Jadi apabila mafsadah (bahaya) dan mashlahah berkumpul, maka yang lebih diutamakan adalah menolak mafsadah, termasuk membeli baju baru lebaran yang memiliki dasar atau dalil agama saat ini harus ditunda dulu, dengan niat untuk mencegah penyebaran virus corona tersebut justru lebih diutamakan. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq