Pecihitam.org – Berbakti kepada orang tua (birrul walidain) merupakan kewajiban bagi setiap orang anak. Begitu “keramatnya” orang tua dalam Islam, bahkan sekedar kata-kata atau ucapan (ah!) keluar dari bibir seorang anak pun tidak diperbolehkan apalagi sampai menyakiti.
Namun terkadang ada kasus yang terjadi dengan dalih kewajiban taat dan berbakti, orang tua berlebihan hingga memaksakan setiap kehendak kepada anaknya. Di lain sisi anak tidak berani menolak dengan alasan takut durhaka kepada orang tuanya. Lantas bagaimana sebetulnya batasan taat kepada orang tua tersebut?
Perihal kewajiban anak untuk berbak kepada orang tuanya, banyak sekali ayat al Quran yang menyinggungnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا – ٢٣
Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS: Isra’: 23).
Begitu sakralnya birul walidain ini, maka tidak heran bila Al-Qur’an mensejajarkan syukur kepada orang tua itu “sama dengan” syukur kepada Allah. Dengan pengertian bahwa seseorang tidak dinilai bersyukur kepada Allah sampai ia bersyukur kepada orang tuanya.
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ – ١٤
Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu (QS. Luqman: 14).
Ibnu ‘Uyainah menjelaskan bahwa cara bersyukur kepada Allah yaitu dengan melaksanakan shalat yang lima waktu. Sedangkan bersyukur kepada orang tua adalah dengan berdoa untuk mereka setiap kali selesai melakasanakan shalat lima waktu.
Dari sini setidaknya kita bisa memahami bahwa (seakan-akan) tidak ada satu perbuatan pun yang mampu membalas budi orang tua, terutama ibu. Begitu mulianya kedua orang tua, hingga kemuliaannya melebihi kemuliaan Ka’bah sekalipun.
Habib Alwi bin Shihab, mengutip perkataan ulama salaf, mengatakan bahwa “melihat kedua orang tua itu lebih utama dari pada melihat ka’bah,”( Kalam Al-Habib Alwi bin Syihab, 1/130).
Lalu sejauh mana batasan taat kepada kedua orang tua? Dan bagaimana seandainya orang tua menyuruh anaknya melakukan kemaksiatan kepada Allah?
Bila kita perhatikan, QS. Al-Israa: 23 di atas, perintah untuk berbakti kepada orangtua dalam ayat tersebut masih bersifat umum. Belum ada batasan-batasan tertentu. Tetapi kemudian pengertian yang terkandung dalam ayat ini ditakhshish (dipersempit) dengan firman Allah pada ayat lain:
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orangtuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS. Al-‘Ankabuut: 8)
Salah satu ahli tafsir Indonesia Prof. Dr. Qurais Shihab membahas ayat ini secara luas. Beliau mencantumkan sejumlah riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat. Yang menarik adalah, beliau juga menerangkan bahwa ayat tersebut melarang siapapun termasuk seorang anak untuk taat kepada makhluk – walaupun kedua orang tua – apabila hal itu bertentangan dengan perintah Allah Swt.
“La tha’ata li makhluqin fi ma’shiyat Allah ( tidak dibenarkan taat kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah)”. Demikian sabda Rasullullah SAW.
Bahkan keterangan berikutnya, sebagaimana ditulis Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya bahwa: “tidak termasuk sedikitpun (dalam kewajiban berbuat baik/ berbakti kepada keduanya) sesuatu yang mencabut kemerdekaan dan kebebasan pribadi atau rumah tangga atau jenis-jenis pekerjaan yang bersangkutpaut dengan pribadi anak, dan tentu lebih-lebih agama dan keyakinan. Siapa yang bepergian untuk menuntut ilmu yang dinilainya wajib untuk mengembangkan dirinya atau untuk berbakti kepada agama dan negaranya, atau bepergian untuk memperoleh pekerjaan yang bermanfaat bagi dirinya atau umatnya, sedang kedua atau salah satu dari kedua orang tuanya tidak setuju-karena dia tidak mengetahui nilai pekerjaan itu – maka anak tidak dinilai durhaka, bukan juga dinilai tidak berbakti dari segi pandangan akal dan syara’ karena kebaktian dan kebajikan tidak mengharuskan tercabutnya hak-hak pribadi.”
Dari sini, maka dapat difahami bahwa tidak semua perintah orangtua harus dituruti. Bila orangtua menyuruh kita untuk keluar dari agama Islam atau untuk melakukan kemusyrikan, maka kita wajib menolaknya. Inilah yang pernah dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqash kepada ibunya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash ra., bahwa dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang berbakti kepada ibuku. Ketika aku masuk Islam, ibu berkata: ‘Agama apa yang kamu peluk itu, wahai Sa’ad? Kamu harus meninggalkan agamamu itu, atau aku tidak akan makan dan minum sampai aku mati, sehingga kamu akan dicemooh (oleh orang-orang) karena kematianku, dan akan dikatakan kepadamu: ‘Wahai Sang Pembunuh ibunya.’
Aku menjawab: ‘Ibu, janganlah engkau melakukan itu, karena aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini karena alasan apapun.’ Setelah melihat sang ibu mogok makan selama satu hari satu malam, Sa’ad berkata: ‘Wahai ibuku, demi Allah, ketahuilah bahwa seandainya engkau memiliki seratus nyawa, kemudian nyawa-nyawa itu keluar dari dirimu satu persatu, maka aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini.’” Melihat kesungguhan Sa’ad, sang ibu pun akhirnya menghentikan aksi mogok makannya itu.
Dalam kehidupan hari ini, memang masalah hubungan antar orang tua dengan anaknya menjadi semakin kompleks tidak hanya soal agama, melainkan politik, moral, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Misalnya, durhakakah seorang anak apabila tidak menaati orang tua untuk memilih calon pemimpin sesuai perintahnya? Salahkah anak ketika tidak mengikuti perintah “cara hidup” sesuai kemauan orang tua? Dosakah anak jika bertentangan dengan perintah keilmuan sesuai selera orang tua?
Kesimpulannya, batasan taat kepada orang tua ialah dalam hal kebaikan, sementara dalam hal kemaksiatan kita diperbolehkan untuk tidak patuh terhadap orang tua.
Tulisan ini hanya berupaya mengajak dan menengok kembali sikap orang tua yang terkadang terlalu memaksakan kehendak kepada seorang anak. Bahkan ada yang tak sadar bahwa mereka telah melewati batas. Lalu pertanyaan berikutnya, bagaimana sikap seorang anak apabila berada dalam posisi demikian?
Jawabannya adalah, sekalipun kita tidak wajib taat kepada orang tua yang memerintahkan maksiat, akan tetapi kita tetap wajib untuk berkomunikasi dan berhubungan secara baik dan santun (ma’ruf) terhadap mereka.
Sejahat-jahatnya orang tua, seorang anak sampai kapan pun tetap wajib berlaku baik pada keduanya. Apalagi terhadap orang tua yang baik-baik, maka sang anak pun harus bersikap lebih baik. Wallahua’lam bisshawab.