Pecihitam.org – Di zaman yang serba keren ini, manusia dapat dengan cepat mencari tahu akan sesuatu. Cukup bermodalkan kuota internet, mereka bisa tahu segalanya. Segalanya. Dari mulai “kiat sukses beternak lele” hingga “cara astronot tidur di luar angkasa”, dalam hitungan detik mereka mendapatkan jawabannya. Dahsyat. Luar biasa.
Melihat kenyataan di atas, dampaknya positifnya terlihat jelas. Namun dampak negatifnya juga perlu dibuat was-was.
Saking mudahnya mendapat informasi, sebagian umat muslim Indonesia bahkan dunia tak ragu lagi menggunakan layanan mesin pencari untuk mengetahui persoalan agama yang sedang di hadapinya.
Mirisnya, di antara mereka ada yang “berpegang teguh” pada layanan mesin pencari tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah sumber kebenaran. Ironis memang.
Sering kita temui istilah “sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama”. Barangkali tidak asing dengan istilah tersebut.
Ya, istilah masyhur yang bersumber dari Muhammad bin Sirin yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam muqadimah kitab Shahihnya itu, kini sudah banyak yang tidak menghiraukannya.
Sedangkan Abdullah bin Mubarak mengatakan “sanad itu adalah bagian dari agama, kalaulah tidak ada sanad, tentu siapapun akan berkata apapun sesuka hatinya”.
Ungkapan ini bertebaran di beberapa karya monumental para ulama, di antaranya dalam kitab Ma’rifatu Uluumil Hadiits karya al-Hakim dan Jarh wa al-Ta’diil karya Ibnu Abi Hatim.
Kedua periwayat hadis di atas menegaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang mulia yang hanya bisa didapat dengan jalur tranmisi dari satu orang ke orang lain, yang tindakan dan akhlaknya dapat dicontoh oleh orang yang menerimanya.
Istilah akrabnya kita kenal sebagai “ilmu yang bersanad”. Ilmu yang memiliki sanad adalah ilmu yang terjaga kemurniannya dari pemahaman yang menyimpang.
Menurut Syekh Yusuf al-Hasani pengijazahan sanad bukan sekedar mengambil riwayatnya saja melainkan juga agar si pengambil riwayat (ilmu) dapat meneladani akhlak , pemahaman dan pengalaman gurunya (orang yang memberikan ilmu) dan terus hingga ke Rasul.
Jika kita kaitkan dengan fenomena remaja “kebelet” hijrah belakangan ini, ada beberapa hal yang menjadi fokus perhatian penulis, yaitu:
Pertama, kaum ini belajar agama sepenuhnya dari internet dan media sosial. Mereka mencari sebuah jawaban dari pertanyaan soal agama yang membingungkannya.
Tanpa memiliki dasar agama dan tidak pernah mondok sebelumnya, mereka tidak akan selektif dalam memilih jawabannya.
Sehingga banyak situs website, channel, FP dan grup-grup media sosial yang mengatasnamakan Islam yang kaffah dan sesuai sunnah mereka jadikan alternatif jawabannya.
Kedua, mereka mengidolakan ustadz/ustadzah yang sumber keilmuannya juga berasal dari internet, tidak pernah mondok atau talaqqi (sorogan -mengaji-) terhadap guru yang memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Kaum hijrah ini mengidolakan ustadz/ustadzah yang memiliki kemampuan berbicara yang baik dengan dibantu hafalannya terhadap satu dua ayat Alquran dan Hadis lengkap dengan terjemahnya.
Dalam dunia hadis, sanad adalah penentu shahih atau tidaknya derajat sebuah hadis. Dapat dipastikan, jika periwayatan hadis tersebut tidak bersanad atau sanadnya terputus maka hadisnya dianggap tidak shahih. Istilah lainnya dhaif.
Ketersambungan sanad ini merupakan sesuatu yang sangat utama dalam periwayatan hadis. Karenanya, tidak heran jika Abdullah bin Mubarak berkata demikian.
Bahaya belajar agama dari internet dan media sosial seutuhnya adalah terjadinya penyimpangan pemahaman agama. Kenapa disebut bahaya?
Karena pemahaman agama hanya akan didapat dari kyai atau guru yang mendapatkan pemahaman tersebut dari gurunya dan gurunya juga mendapatkannya dari gurunya lagi dan terus-menerus bersambung tanpa terputus hingga ke Rasulullah saw.
Dari sini kita mendapati makna dan substansi Alquran dan Hadis yang utuh tanpa mencampurinya dengan nafsu dan kepentingan belaka.
Sedangkan mereka yang belajar agama dari internet tidak tahu siapa yang mereka jadikan panutan atau guru tersebut.
Apakah orang yang bersangkutan memiliki sanad keilmuan yang jelas atau tidak? Apakah pemahamannya sudah sesuai dengan pemahaman sawad al-a’dzam (mayoritas umat muslim) atau tidak? Apakah dia berkompeten dalam masalah agama atau tidak?
Jika tidak memenuhi kriteria tersebut, hendaknya jangan diikuti.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.
- Pembubaran FPI dan Nasib Masa Depan Indonesia - 08/01/2021
- Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya, Kamu Harus Tahu - 25/10/2020
- Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2) - 11/10/2020