Benarkah Membangun Kuburan Menurut Madzhab Syafii Hukumnya Haram Mutlak?

membangun kuburan

Pecihitam.org – Bismillah, ada satu kelompok kita sebut saja “Wahhabiyyah” berdalih bahwasanya membangun kuburan dalam madzhab Syafi’i ialah haram/ terlarang secara mutlak. Padahal Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sendiri mengatakan:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

وَقَدْ رَأَيْت مِنْ الْوُلَاةِ مَنْ يَهْدِمَ بِمَكَّةَ مَا يُبْنَى فِيهَا فَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَتْ الْقُبُورُ فِي الْأَرْضِ يَمْلِكُهَا الْمَوْتَى فِي حَيَاتِهِمْ أَوْ وَرَثَتُهُمْ بَعْدَهُمْ لَمْ يُهْدَمْ شَيْءٌ أَنْ يُبْنَى مِنْهَا وَإِنَّمَا يُهْدَمُ إنْ هُدِمَ مَا لَا يَمْلِكُهُ أَحَدٌ فَهَدْمُهُ لِئَلَّا يُحْجَرَ عَلَى النَّاسِ مَوْضِعُ الْقَبْرِ فَلَا يُدْفَنُ فِيهِ أَحَدٌ فَيَضِيقُ ذَلِكَ بِالنَّاسِ

Artinya, “Dan aku telah melihat salah seorang gubernur di Makkah menghancurkan (membongkar) bangunan yang dibangun di dalam kuburan, namun aku tidak melihat para ulama fiqih mencela hal itu. Dan bila adanya kuburan itu di tanah milik si almarhum ketika hidupnya (dulu) atau milik ahli warisnya ketika ia wafat, maka tidak (boleh) ada suatu bangunan (di kuburan) pun yang dihancurkan. Namun sesungguhnya bangunan itu dihancurkan jika (tanah pemakaman) itu tidak ada seorang pun yang memilikinya, maka harus dihancurkan, hal itu dilakukan supaya tidak ada seorang pun yang dikuburkan di dalamnya, karena hal itu akan mempersulit orang lain (untuk mengubur mayyit lainnya)”. (Al-Umm, 1/316).

Kemudian pemaparan dilanjutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah:

قَالَ أَصْحَابُنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ وَلَا فَرْقَ فِي الْبِنَاءِ بَيْنَ أَنْ يَبْنِيَ قُبَّةً أَوْ بَيْتًا أَوْ غَيْرَهُمَا ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَتْ مَقْبَرَةً مُسَبَّلَةً حَرُمَ عَلَيْهِ ذَلِكَ قَالَ أَصْحَابُنَا وَيُهْدَمُ هَذَا الْبِنَاءُ بِلَا خِلَافٍ. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَرَأَيْت مِنْ الْوُلَاةِ مَنْ يهدم ما بني فيها قال وَلَمْ أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ عَلَيْهِ ذَلِكَ وَلِأَنَّ فِي ذَلِكَ تَضْيِيقًا عَلَى النَّاسِ، قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِنْ كَانَ الْقَبْرُ فِي مِلْكِهِ جَازَ بِنَاءُ مَا شَاءَ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَا يُهْدَمُ عَلَيْهِ

Baca Juga:  Memisahkan Tempat Tidur Anak Dan Batasan Usianya Menurut Islam

Artinya: “Para ulama madzhab Syafi’i –semoga Allah merahmati mereka– mengatakan, ‘Dan tidak ada bedanya dalam hal apakah bangunan (di kuburan) itu berbentuk kubah atau rumah atau selain keduanya, kemudian dilihat terlebih dahulu. Jika bangunan tersebut ada pada pemakaman musabbalah (pemakaman umum), maka hukumnya itu haram’. Para ulama madzhab Syafi’i berkata, ‘Dan wajib merobohkan bangunan semacam itu tanpa ada khilaf (beda pendapat)’.

Imam asy-Syafi’i berkata dalam kitab Al-Umm, ‘Dan aku telah melihat salah seorang gubernur di Makkah menghancurkan (membongkar) bangunan yang dibangun di dalam kuburan, namun aku tidak melihat para ulama fikih mencela hal itu, dikarenakan hal akan mempersulit orang lain (untuk menguburkan mayyit lainnya)’. Para ulama madzhab Syafi’i berkata, ‘Bila kuburan itu berada di tanah milik pribadi, diperbolehkan membangun sesukanya namun disertai dengan kemakruhan, serta tidak boleh dirobohkan bangunan tersebut’ ”. (Al-Majmuu’ Syarhil Muhadzdzab, 5/298).

Alasan pelarangan sekaligus keharaman membangun kuburan di area musabbalah/ pemakaman umum karena hal itu dapat menyulitkan orang lain, maksudnya yakni ketika ada jenazah yang terkubur sudah hancur –menurut perkiraan para pakar–, maka kuburnya dibongkar dan digali kembali untuk penguburan jenazah berikutnya.

Seandainya makam jenazah pertama tadi ada bangunannya, tentu nantinya akan menyulitkan orang lain dalam menggali tanah kubur itu yang mana dapat digunakan untuk menguburkan jenazah lainnya, sehingga jadi sempitlah lahan makam itu, karena orang yang akan menguburkan jenazah yang ia bawa menyangka bahwa jenazah yang ada di dalam kubur belum hancur.

Baca Juga:  Ujub Adalah Penyakit Hati dengan Bangga pada Diri Secara Berlebihan

Demikian yang ditulis Imam Syamsuddin ar-Ramli rahimahullah:

أَمَّا بَعْدَ الْبِلَى عِنْدَ مَنْ مَرَّ فَلَا يَحْرُمُ النَّبْشُ بَلْ تَحْرُمُ عِمَارَتُهُ وَتَسْوِيَةُ تُرَابِهِ عَلَيْهِ إذَا كَانَ فِي مَقْبَرَةٍ مُسْبَلَةٍ لِامْتِنَاعِ النَّاسِ عَنْ الدَّفْنِ فِيهِ لِظَنِّهِمْ بِهِ عَدَمَ الْبِلَى

Artinya, “Adapun (jenazah) yang telah hancur menurut perkiraan, maka tidak diharamkan untuk digali, bahkan diharamkan membangun dan mengecor tanah di atasnya jika berada dalam pemakaman umum, karena itu bisa menghalangi orang lain menguburkan (jenazah lain) di dalamnya, tersebab mereka menyangka (jenazah sebelumnya) belum hancur”. (Nihaayatul Muhtaaj fii Syarhil Minhaaj, 3/41).

Maka dari paparan ulama di atas, keharaman/ pelarangan membangun kubur itu berlaku jika kuburannya berada di kawasan Musabbalah/ pemakaman umum. Adapun jika berada di tanah milik pribadi, maka dibolehkan membangun sesukanya meski disertai hukum Makruh –bukan Haram.

Lain halnya dengan pendapat membangun makam diatas yang dihukumi makruh, As-Syirbini berpendapat, membangun nisan atau memberi tanda pada kuburan dengan batu atau patok hukumnya boleh dan dianjurkan.

Sebagaimana keterangan As-Syarbini berikut ini.

وَأَنْ يَضَعَ عِنْدَ رَأْسِهِ حَجَرًا أَوْ خَشَبَةً أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ عِنْدَ رَأْسِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ صَخْرَةً وَقَالَ : أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي لِأَدْفِنَ إلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي

Baca Juga:  Cara Shalat Madzhab Manakah yang Paling Sesuai Sunnah Nabi?

Artinya, “Peletakan batu, kayu, atau benda serupa itu (dianjurkan) di atas makam pada bagian kepala jenazah karena Rasulullah SAW meletakkan batu besar di atas makam bagian kepala Utsman bin Mazh‘un. Rasulullah SAW bersabda ketika itu, ‘Dengan batu ini, aku menandai makam saudaraku agar di kemudian hari aku dapat memakamkan keluargaku yang lain di dekat makam ini,’” (Lihat As-Syarbini, Al-Iqna pada Hamisy Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 571).

Dari berbagai keterangan diatas, kita mendapatkan catatan bahwa bila kuburan itu berada di tanah milik pribadi, diperbolehkan membangun sesukanya namun disertai dengan kemakruhan. Kemakruhan ini jika ditinjau kembali adalah jika pembangunan tersebut terlalu megah dan lain sebagainya. Sedangkan peletakan batu atau membangun nisan hukumnya adalah boleh dan dianjurkan. Kedua praktik ini tidak lain adalah upaya menandai makam agar mudah dikenali dan mudah diziarahi di kemudian hari. Wallahua’lam Bisshawab.

Ikhwan Aswaja
Editor: Arief Rahman Hakim

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *