Benarkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim Dilarang?

Benarkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim Dilarang

Pecihitam.org – Beberapa hari lalu, masyarakat Indonesia sempat digemparkan dengan imbauan MUI Jawa Timur mengenai ucapan salam agama-agama. Imbauan ini terabadikan dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019 yang ditandatangani Ketua MUI setempat, KH Abdusshomad Buchori.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menanggapi hal ini, PWNU Jatim menganggap bahwa mengucapkan salam agama-agama bukan merupakan hal yang perlu diperdebatkan. Islam sebagai agama yang secara mutlak memberikan rahmat ke seluruh penduduk alam menjadikannya dasar untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Di sisi lain, mereka yang mendukung imbauan MUI ini menjadikan hadis Nabi sebagai pijakan. Hadis riwayat Imam Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Tirmidzi ini dijadikan “amunisi” untuk memayungi hukum tersebut. Adapun bunyi hadisnya adalah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي الطَّرِيقِ فَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian memulai salam terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani, apabila kalian menamui salah seorang dari mereka di jalan, maka paksalah mereka ke (jalan) yang paling sempit. [HR. Tirmidzi]

Benar, memang benar, jika hadis ini dipahami secara tekstual, sekilas dan kasatmata harfiah maka maksud yang terangkat adalah dilarang keras mengucapkan salam terhadap non muslim.

Baca Juga:  Ikut Ulama atau Nabi? Agar Tidak Salah, Ini Penjelasannya

Bahkan bukti pelarangan ini dikuatkan dengan klausa hadis yang kedua, “apabila salah seorang di antara kalian berpapasan dengan mereka di jalan, desaklah hingga ke pinggirnya”.

Ini yang penulis maksud dengan bahayanya seseorang mensyarahi sebuah hadis tanpa mengetahui ilmunya. Betapa “bejadnya” akhlak kita jika setiap berpapasan dengan non muslim, lantas mendesak dan menganiayanya hingga tersakiti. Sudah barang tentu, dilihat dari sudut pandang kemanusiaanpun terasa “cacat makna”.

Dalam sababul wurudnya, hadis ini muncul berkaitan dengan pengkhianatan keji Yahudi Bani Quraidhah terhadap perjanjian damai yang telah disepakatinya bersama Rasulullah saw, di Madinah.

Hal ini dipastikan setelah Rasulullah mengutus para sahabatnya untuk mengklarifikasi beredarnya berita pengkhianatan tersebut ke perkampungan Quraidhah.

Sesampainya di sana, segera sahabat menyampaikan maksudnya dengan menanyakan kebenaran kabar tersebut. Namun apa yang disampaikan Ka’ab sebagai pimpinan Yahudi Quraidhah, “siapa Muhammad? Tidak ada perjanjian antara kami dan Muhammad, tidak ada!”. Dengan pongahnya Ka’ab merobek kertas perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. [Muhammad Abu Zahrah, Khatam an-Nabiyyin saw, halaman 930].

Setelah para sahabatnya kembali dan melaporkan semuanya kepada Rasulullah, maka berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat, Rasulullah memerintahkan penduduk Madinah untuk meyerang perkampungan Yahudi Quraidhah karena pengkhianatan keji yang telah mereka lakukan terhadap perjanjian damai nan agung tersebut. Saat hendak menyerang perkampungan tersebut, Rasulullah menyabdakan hadis ini.

Baca Juga:  Hukum Jual Beli dengan Samsarah (Makelar) dalam Islam

Di samping itu, majaz dan illat terkandung dalam hadis inipun tidak boleh diabaikan begitu saja. Redaksi “al-yahuuda wa laa an-nashaaraa” menunjukan bahwa majaz yang terkandung dalam hadis ini adalah majaz mursal kulliyah, tegasnya makna yang dikehendaki adalah “Yahudi Quraidhah” pada saat itu saja, bukan “Yahudi dan Nasrani” secara umum.

Sementara sababul wurud hadis ini menjadikannya sebagai illat mustanbathah, yaitu illat yang tersembunyi dan dalam hal ini dapat diketahui melalui litetatur sejarah. Perlu diketahui bersama, bahwa pada saat hadis ini muncul, kondisi sosial politik saat itu adalah mencekam, menegangkan dan peperangan.

Oleh karena itu, kaidah dalam mengamalkan hadis ini adalah al-ibrah bikhushuusissabab laa bi ‘umuumillafadz”, pengamalannya berdasarkan kekhususan sebab, bukan keumuman lafaz. Karena yang dimaksud oleh hadis ini adalah dilarangnya mengucapkan salam terhadap Yahudi Bani Quraidhah pada saat peperangan saja, bukan pada agama lain secara umum serta kondisi damai.

Jelas, hadis ini tidak dapat diamalkan secara tekstual di negeri yang aman, damai, rukun dan penuh toleransi atau sedang mempromosikan toleransi antar umat beragama.

Hadis bernuansa intoleran hanya dapat diamalkan pada saat peperangan, sedang pada saat damai, maka pengamalannya harus disesuaikan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan ahli hadis ternama Indonesia, Prof. Ali Mustafa Yaqub.

Baca Juga:  Begini Makna Kafir yang Terdapat dalam Kajian Ilmu Tafsir Al-Quran

Namun demikian, dalam mengucapkan salam kepada non-muslim terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antaranya ada yang menghukumi tidak boleh, makruh, boleh dengan syarat ada muslimnya, boleh dengan syarat ada hajat, boleh secara mutlak kepada non muslim yang tidak memerangi.

Dalam menyikapi perbedaan ini, Syekh Utsman Muhammad Gharib dalam karyanya Laa Tabda’ul Yahuuda wa an-Nashaaraa Bissalam halaman 570 mengatakan bahwa pendapat yang unggul dan dapat diamalkan saat ini adalah boleh mengucapkan salam kepada non-muslim yang tidak memerangi. Hal ini selaras dengan ruh syariat yang lurus, toleran dan cerminan akhlak Nabi yang mulia.

Kebolehan mengucapkan salam kepada non-muslim juga dikuatkan dengan kaidah “laa yunkaru taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan”, tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya ketentuan suatu hukum tergantung pada zaman dan tempat. Saat perang maka tidak boleh, sedang saat damai maka diperbolehkan.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Azis Arifin