Benarkah Sunnah Nabi ‘Harus’ Semuanya Dilakukan? Baca Ini dan Pahami Penjelasannya!

Benarkah Sunnah Nabi 'Harus' Semuanya Dilakukan? Baca Ini dan Pahami Penjelasannya!

PeciHitam.org – Pikiran masyarakat modern secara umum jika mendengar kata Sunnah akan merujuk pada tindakan Rasul SAW. Tidak sepenuhnya salah pikiran ini, akan tetapi banyak menjadi legitiminasi yang salah kaprah jika dihubungkan dengan tagline bahwa Muslim mempunyai keharusan untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW sebagai Panutan/ Uswah Hasanah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kesalahan ini akan kentara pada tindakan jika kita tidak melakukan “Sunnah” tersebut. Banyak orang yang langsung menjustifikasi tindakan tidak melakukan Sunnah berarti belum berislam seara kaffah.

Inilah kebodohan yang sangat besar. Pola pikir demikian merupakan kemunduran/Jahiliyah modern dan memperlihatkan kebodohan serta kekurangan Moderasi/Letarasi pengetahuan Hukum.

Kondisi ini diperparah adanya potong kompas dalam belajar Islam secara utuh. Pengalaman Penulis dengan salah satu Kader salah satu Ormas besar Islam di Indonesia sedikit menggambarkan kekacauan dalam pemikiran belajar Islam tidak utuh.

Kader tersebut menjadi Andalan dalam Banom Keputrian yang sering bebicara di forum organisasi tingkat Daerah. Pola pandang Kader tersebut yaitu ketidak mampuan memahami 5 bentuk Hukum Islam.

Ketidak-mampuan itu terlihat dalam pandangan bahwa seorang Muslim mempunyai Kewajiban untuk Poligami, karena Rasulullah memang melakukan hal tersebut.

Kita yang belajar kitab-kitab Fiqh dasar dalam Madzhab Imam Syafii pasti akan sangat maklum bahwa Hukum Islam ada 5 bentuk, yaitu Wajib yang sering disebut Fardlu, Sunnah atau Mustahabbun, Boleh atau Mubah, dibenci atau Makruh, dan dilarang atau Haram. Kelima Hukum tersebut memiliki konsekuensi pahala atau dosa yang berbeda.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 325 – Kitab Tayammum

Menjawab “kesalahan pikir” itu, bahwa kader tersebut gagal memahami 5 Hukum Islam yang sudah banyak dijelaskan oleh para Ulama Salaf dalam karya—karya mereka.

Banyangkan saja jika Poligami yang menjadi tema sensitive dihukumi Wajib, jika meninggalkan mendapat dosa dan dilakukan berpahala. Ini berdasar karena Nabi Muhammad SAW melakukan hal demikian.

Jadi pada Era modern ini banyak sekali para Laki-laki islam yang bergelut dengan dosa karena tidak melakukan Poligami. Jika kita lanjutkan, berapa dosa yang harus ditanggung para Jomblo yang tidak menikah? Berapa dosa yang didapat bagi orang yang berpandangan Sunnah adalah bukan sebuah Keharusan hanya pada tataran Anjuran.

Oleh karena itu, belajar Islam harus bisa terstruktur secara runntut supaya bisa memahami islam secara penuh dan utuh. Pemahaman Hukum Fardlu atau Wajib harus dipahami sesuatu ritus peribadatan harus dilakukan, jika tidak akan berkonseskuensi Dosa. Sunnah harus diletakan pada hukum melakukan mendapat Pahala dan jika meninggalkan tidak berkonsekunsi Dosa.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 161 – Kitab Wudhu

Pengertian Mubah/ boleh harus diimplementasikan meninggalakan atau melakukan tindak tidak mempunai konsekuensi Hukum apapun. Makruh / dibenci adalah dilakukan tidak mendapat dosa dan jika ditinggalkan akan mendapat Pahala. Serta Haram adalah kebalikan dari Wajib, yaitu jika dilakukan berakibat dosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Lalu, apakah sunnah Nabi harus dilakukan?

Dalam hal ini sebetulnya perlu dijabarkan terlebih dahulu posisi Nabi, sehingga kita tahu mana yang berimplikasi syar’i. Ada sebuah penjelasan menarik yang disampaikan oleh Imam al-Amidi dalam kitabnya yang berjudul al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

Beliau menjelaskan bahwa ada yang disebut perbuatan jilbiyah, atau perbuatan yang lakukan Nabi dalam kapasitas Nabi sebagai manusia biasa. Ada perbuatan khusus yang hanya boleh dikerjakan oleh Nabi saja, seperti puasa berturut-turut dan menikahi wanita lebih dari empat.

Kemudian ada pula perbuatan nabi yang dilakukan sebagai penjelas (bayan) suatu ibadah seperti shalat, haji, dsb. Ketika Nabi berposisi sebagai manusia biasa dan perbuatan khususiyyah Nabi inilah sunnah Nabi tidak harus dilakukan karena tidak berimplikasi syar’i.

Kembali pada pemahaman dari Kader yang kami sebutkan di atas. Pemahamannya ini telah tersebar pada kader dibawahnya, yang mana akan mengacaukan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Sebuah keyakinan yang absurd dan jauh dari kebenaran yang diajarkan oleh para Ulama Salaf.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 264-265 – Kitab Mandi

Hemat penulis, bahwa sebelum orang mempunyai panggung harus memiliki pengetahuan yang cukup dahulu. Jangan menjadi bahan tertawaan karena memiliki pengetahuan yang cetek karena sudah terlanjur memiliki Ummat dan berhenti belajar.

Jika seorang tokoh kader Militan saja belum mampu memahami hal-hal dasar sebagaimana disebut diatas, akan sangat miris melihat hasil dibawahnya. Dapat dipastikan akan terjadi kesalahan terstruktur dalam beragama. Hal ini yang dinamakan Jahil Murrakkab/ kebodohan terstruktur. Naudzubillah min dzalik.

Mohammad Mufid Muwaffaq