Benarkah UAS Menodai Agama, Siapa yang Berhak Memvonisnya?

uas menodai agama

Pecihitam.org – Wacana tentang penodaan agama merupakan wacana yang banyak menimbulkan polemik. Dalam konteks Indonesia, hal ini tidak hanya terjadi dalam ranah hukum positif, namun secara luas juga dalam ranah pemikiran Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Masalah yang menjadi polemik adalah apakah negara berhak memutuskan bahwa seseorang atau kelompok tertentu telah menodai agama, bukankan yang berhak memutuskan hanya Tuhan, pertanyan-pertanyaan semacam ini sering muncul dalam hal perbincangan mengenai masalah siapa yang paling berhak dan memiliki wewenang dalam memutuskan perkara hukum terkait dengan kasus seputar agama.

Dalam konteks Indonesia, sebenarnya ada dua undang-undang yang bisa dijadikan pintu masuk untuk menyeret seseorang atau kelompok tertentu sebagai penoda agama, yakni Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penodaan Agama.

Terkait dengan ceramah UAS beberapa waktu yang lalu, pasal yang bisa menjerat UAS adalah Pasal 156a KUHP, yang berbunyi “Dipidana dengan penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Di lain hal, mayoritas ulama mengklaim bahwa larangan mencela simbol keagamaan masih tetap eksis kapan saja dan di mana saja. Mereka menilai bahwa penistaan terhadap agama lain dapat membawa dampak negatif yang juga dapat memantik benih-benih kebencian.

Baca Juga:  Polemik RUU HIP yang Ditentang Keras oleh MUI, NU dan Muhammadiyah

Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-An’am: 108 yang artinya:
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan

Asbabun nuzul ayat tersebut ada beberapa riwayat sebagai berikut:
Diriwayatkan al-Wahidi dari Qatadah, “Kaum muslimin mencela berhala orang-orang kafir lalu mereka balik mencaci maki Tuhan orang Islam, kemudian Allah melarang kaum muslim agar tidak mencela sesembahan kaum jahil yang tidak ada pengetahuan tentang Allah”.

Sementara itu, Ibn Abbas berkata dalam riwayat al-Walibi, “mereka (orang-orang kafir) mengatakan, “Wahai Muhammad berhentilah kamu dari menghina Tuhan kami atau sungguh kami akan mengejek Tuhanmu!, kemudian Allah melarang orang Islam agar jangan menghina berhala (sesembahan) orang-orang kafir sehingga dengan rasa permusuhan mereka justru balik mengejek Allah yang tanpa didasari dengan ilmu pengetahuan, lebih-lebih dengen ejekan yang lebih parah (Wahbah Zuhaili, 1418 H: 322).

Baca Juga:  Hubbul Wathan Minal Iman: Komitmen NU Menjaga Proklamasi '45

Imam Fakhruddin Al-Razi (1985: 13) dalam kitabnya “Mafatih al-Ghaib” menilai bahwa secara implisit ayat tersebut merupakan peringatan agar dalam berdakwah tidak terjebak dalam tindakan yang tidak bermanfaat sekaligus merupakan ajakan umat Islam agar tidak bertindak layaknya orang bodoh.

Menurut Wahbah Zuhaili (1418 H: 324), Allah melarang Rasulnya dan orang Islam agar jangan mencela sesembahan orang-orang musyrik, meskipun itu ada manfaatnya, tetapi nanti justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari pada manfaatnya, yakni penghinaan kaum musyrik kepada Allah sebagaimana yang dikatakan Ibn Abbas.

Ini berarti menunjukkan bahwa sesuatu yang bermanfaat tetapi sekaligus mendatangkan kerusakan, maka haruslah ditinggalkan. Persoalan ini sebenarnya secara khusus mengacu pada akhlak orang Islam terkait hubungan dengan pemeluk agama lain.

Dalam kasus penistaan agama, baik dilakukan oleh oknum, organisasi atau agama lain, umat jangan mudah terpancing dengan isu-isu yang akan memecah belah umat, bangsa dan NKRI ini. Sebagaimana anjuran para ulama dan para pakar, umat harus bertindak dengan akal sehat dan menimbang antara manfaat dan madharat yang akan menimpa bangsa ini dan umat Islam sehingga jika terjadi penistaan agama maka sudah ada lembaga dan pihak-pihak terkait yang menganganginya. Dan pada akhirnya kerukunan umat beragama masih tercipta secara kondusif dengan saling menghormati.

Baca Juga:  Gus Muwafiq Beda Pendapat dengan UAS Soal Nonton Drama Korea Kafir

Terkait dengan kasus yang menimpa UAS, kita sebagai umat Islam harus tetap menjaga solidaritas persaudaraan sesama umat. Bila kita tak setuju dengan materi ceramah beliau yang diduga menista agama dan sudah dilaporkan ke polisi, maka serahkan saja persoalan ini kepada lembaga hukum dan pihak yang berwenang. Merekalah yang paling berhak memutuskan apakah masalah ini benar-benar terkait dengan penodaan agama atau sesuatu yang lumrah dan tak perlu dipersoalkan, kita tunggu saja keputusannya.

Intinya, seluruh elemen masyarakat harus sepatutnya terus menjaga kerukunan sesama umat beragama dan mencintai tanah air serta mempunyai semangat kebangsaan. Kita perlu menjalin komunikasi secara lebih baik kepada penganut agama-agama lain, karena tidak ada gunanya mengomentari hal-hal buruk tentang agama lain, sementara cara kita berislam atau beragama masih jauh dari kesempurnaan.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *