Bilal bin Rabah, Budak Bersuara Merdu yang Menjadi Muadzdzin Rasulullah

Bilal bin Rabah, Budak Bersuara Merdu yang Menjadi Muadzdzin Rasulullah

Pecihitam.org – Bilal bin Rabah (بلال بن رباح) hanyalah seorang budak biasa sebagaimana budak-budak lainnya. Nasibnya sebagai putra seorang budak yang secara otomatis menjadikannya sebagai budak pula.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bilal bin Rabah menjadi budaknya Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh Quraisy dari bani Jum’ah. Ia sangat membenci Nabi SAW dan kehadiran agama baru di lingkungan mereka.

Masuk Islamnya bilal menjadi sejarah pertama dari golongan budak yang memeluk agama Islam, sehingga perbuatan itu, menjadikan majikannya merasa begitu terhina dan ternoda kehormatannya.

Umayyah pun melakukan berbagai macam cara penyiksaan yang biadab untuk bisa mengembalikan Bilal kepada agama jahiliah.

Penyiksaan yang dilakukan kepada Bilal hanya mendasari agar mengubah keyakinannya. Tapi apa yang terjadi, justru apa didapati oleh majikan malah kekecewaan dan rasa bosan akan kuatnya keiman Bilal bin Rabbah.

Itulah yang terjadi pada diri Bilal. Makin berat siksaan yang dirasakannya, makin mendekatkan dirinya pada Allah Al-Ahad. “Ahad, Ahad, Ahad”, yang keluar dari lidah mulianya setia didera cambuk siksa sang majikan. Itulah yang seolah menjadi simbol perjuangannya.

Saat siang hari yang sangat panas di padang pasir, ia dibaringkan di atas bara, dengan keadaan telanjang. Ia dilemparkan ke atas pasir yang seperti menyala, kemudian ditindih dengan batu besar yang tak kalah panasnya.

Baca Juga:  Menelusuri Geneologi Keilmuan Hadis KH. Ali Musthofa Yaqub

Pada sore harinya ketika mulai dingin, ia ditegakkan dan lehernya dirantai. Kemudian diarak keliling melalui bukit-bukit dan jalanan di kota Makkah.Tidak satu hari dua hari, tidak satu minggu dua minggu, tetapi berbilang bulan, bahkan mungkin berbulan-bulan siksaan itu berlangsung.

Sampai-sampai para penyiksanya kasihan, atau juga menjadi bosan dengan apa yang dilakukannya. Tetapi mereka enggan untuk melepaskan Bilal begitu saja karena gengsi, takut nama baik dan kehormatannya sebagai tokoh kaum Quraisy tercemar, karena mengalah pada seorang budak yang keras kepala.

Pernah juga diriwayatkan, saat penyiksaan itu sudah lama dilakukan, para Algojo dan majikan tidak sanggup mau melakukan apa, sehingga mereka hanya meminta Bilal untuk satu kali saja mengatakan,

“Latta dan Uzza” agar mereka punya alasan untuk melepaskannya, setelah itu terserah apa yang akan dilakukannya dan ia dijanjikan untuk bebas dari budaknya. Namun, lagi-lagi hanay satu kata ini yang keluar dari mulutnya secara berulang-ulang, “Ahad, Ahad, Ahad.”

Pada ke esokan harinya seperti biasanya Bilal digiring ke padang pasir, ke tempat penyiksaannya. Datanglah Abu Bakar kepada mereka dan berkata, “Apakah kalian hendak membunuh seorang laki-laki yang mengatakan Tuhannya adalah Allah?”

Kemudian Abu Bakar As-Shiddiq mendatangi Umayyah bin Khalaf, sambil membawa uang dan menyerahkannya, ia berkata, “Terimalah uang ini sebagai tebusannya. Ini lebih tinggi dari harga Bilal, dan bebaskan dia!”

Baca Juga:  Mengenal Lebih Dekat Sosok Sunan Kalijogo, Sang Wali Tanah Jawa

Tampak sekali kecerian Umayyah bin Khalaf dan para penyiksa Bilal. Mereka sudah sangat jenuh dan hampir putus asa. Mereka hanya butuh alasan kecil untuk bisa melepaskan Bilal, tetapi malah mendapat setumpuk uang, tentu saja mereka amat gembira, apalagi mereka ini pada dasarnya seorang pedagang.

Namun demikian Umayyah berkata,
“Bawalah dia, demi Latta dan Uzza, andai saja engkau membayar tak lebih dari satu uqiyah, kau akan melepaskannya.”

Abu Bakar mengerti apa yang dimaksudkan Umayyah, yakni ingin merendahkan martabat Bilal. Karena itu ia berkata, “Andai saja kalian tidak melepasnya kecuali dengan harga seratus uqiyah, aku pasti akan membayarnya.” Kata Abu Bakar

Setelah perbincangan Abu Bakar dengan Umayyah selesai, ia membawa Bilal ke hadapan Rasulullah SAW, dan pada saat itu Bilal diumumkan bebas dari perbudakan dan penyiksaan Umayyah dan Algojonya.

Sehingga sekelompok kecil sahabat sahabat yang hadir merasa gembira seolah sedang merayakan hari besar. Dan hari itu memang hari besar, bukan hanya buat Bilal, tetapi untuk seluruh umat manusia, hari yang sebenarnya lebih tepat untuk dijadikan sebagai “Hari Persamaan Hak Asasi Manusia.”

Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah dan umat Islam bisa melaksanakan ibadah tanpa gangguan dari pihak-pihak yang memusuhi, mulailah dicari cara mengumpulkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jama’ah.

Baca Juga:  Sekilas Tentang Biografi Ibrahim bin Adham, Tokoh Sufi dari Kalangan Tabiin

Berbagai usulan muncul, tetapi akhirnya dipilih cara yang kini dikenal sebagai “adzan”. Ada beberapa riwayat, tentang siapa yang pertama kali menyusun redaksi adzan, tetapi yang jelas pilihan pertama Nabi SAW untuk melantunkannya adalah Bilal bin Rabah.

Suaranya yang empuk, merdu, lantang dan penuh keharuan merupakan alasan utama. Siapapun yang mendengarnya serasa disiram dengan segelas air dingin, kesejukan dari nilai keimanan.

Bilal bin Rabah adalah muadzdzin pertama dalam Islam, dan namanya kini sangat dikenal di seluruh dunia karena identik dengan “jabatan” muadzdzin itu sendiri dalam setiap pelaksanaan shalat Jum’at. Subhanallah, sungguh luar biasa!

Faisol Abdurrahman