Biografi Kiai Ali Mustafa Yaqub, Ulama Ahli Hadits Nusantara

ali mustafa yaqub

Pecihitam.org – Biografi ini dikutip dari karangan salah seoarang murid Kyai Ali Mustafa Yaqub, Ustadz Ulin Nuha Mahfuddhon, dalam bukunya yang berjudul Meniti Dakwah di Jalan Sunnah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kyai Ali Mustafa Yaqub adalah satu dari sekian banyak ulama Indonesia yang muncul dari pedalaman kampung. Beliau lahir tanggal 2 Maret 1952 M di desa Kemiri, kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dari pasangan bernama Yaqub dan Siti Habibah.

Mengaitkan Kemiri dengan kyai Ali Mustafa Yaqub membawa kita pada sketsa wajah tersebut di era tahun 60-an. Kemiri di masa-masa itu sangat jauh dengan keadaan di masa sekarang.

Dagi segi religiusitas, tidak di jumpai seorang ulama yang dapat dijadikan tempat mengadu permasalahan agama. Alih-alih konsultasi agama, orang yang memperhatikan dan mempraktikan keislamannya saja bisa dibilang minim.

Kalaupun ada orang yang pantas menyandang gelar ulama Kemiri waktu itu, maka kyai Yaqub-lah (ayah kyai Ali Mustafa Yaqub) orangnya. Itupun karena memang tidak ada orang yang dianggap lebih tahu tentang ajaran islam dibanding beliau.

Masa kecil kyai Ali Mustafa Yaqub tidak jauh berbeda dengan teman-teman sebayanya. Jika teman-temannya lebih banyak bermain, maka demikian halnya dengan kyai Ali pada masa kecilnya.

Beliau memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat (SR), yaitu sekolah-sekolah yang dirintis oleh para pejuang bangsa Indonesia di masa penjajahan dahulu.

Setiap hari, kyai Ali pergi ke SR yang lokasinya tidak jauh dari rumahnya. Hanya dipisahkan oleh kebun milik ayahnya. Karenanya, ketika istirahat tiba, beliau sering kali memilih pulang ke rumahnya. Jika paginya belum makan, maka waktu istirahat menjadi pengganti waktunya untuk menyantap sarapan buatan ibunya.

Selain sekolah, pada masa kecilnya, kyai Ali memiliki kebiasaan ngangon (mengembala) kerbau bersama temannya. Setiap hari setelah pulang sekolah, beliau lantas shalat dhuhur dan makan sejenak, lalu keluar bersama temennya untuk mengembala kerbau. Sembari menunggu kerbau memakan rerumputan, beliau menikmati semilir angin lereng bukit bersama temannya.

Baca Juga:  Ustadz Adi Hidayat; Biografi, Sanad Keilmuan Hingga Kiprahnya di Indonesia

Ketika menginjak kelas 3 SMP, kyai Ali mulai belajar mengenal organisasi. Yaitu Nahdlatul Ulama, organisasi yang banyak dianut oleh kalangan akar rumput pedesaan. Organisasi ini mengakar kuat dalam tradisi-tradisnya yang berkembang di masyarakat, seperti tahlilan, maulidan, dan tarekat. 

Meskipun masih kecil, keikutsertaan kyai Ali dalam wadah GP Anshor menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang gemar berorganisasi. Dengan masuk dalam keanggotaan organisasi ini, jiwa ke-NU-annya sedikit demi sedikit terbentuk. Siapa sangka, jika akhirnya beliau menjadi seorang kyai besar yang duduk di jajaran Rais Syuriyah PBNU.

Kyai Ali Mustafa pada masa kecilnya kerap merasakan perilaku tidak mengenakkan dari kepala sekolahnya lantaran keaktifannya di NU. Puncak dari ketegangan ini adalah keputusan Kyai Ali untuk keluar dari SMP, padahal beliau sedang duduk di kelas 3 dan akan mengakhiri studinya 4 bulan lagi.

Namun apa mau dikata beliau sering mengeluh kepada ayahnya. Setelah bermusyawarah dengan ayah dan kakaknya, maka lahirlah keputusan untuk keluar dari SMP. Selanjutnya, ayahnya membawanya ke Jombang untuk dipondokkan disana.

Dengan diantar ayahnya, beliau berangkat menuju sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur pada tahun 1966. Dari sinilah perjalannan Kyai Ali sebagai santri 24 karat bermula. Kyai Yaqub mengantarkan putranya itu ke kota Jombang dan memilih pesantren Seblak sebagai tempat berlabuhnya dalam menuntut ilmu agama.

Pasca boyong (pulang) dari pesantren Seblak, Kyai Ali tidak lantas pulang ke kampung. Kehausannya akan ilmu agama masih butuh kucuran yang banyak. Pesantren Seblak telah menjadi oase pertamanya dalam menuntut ilmu di pesantren. Untuk melengkapinya Kyai Ali memilih Pesantren Tebuireng sebagai tempat bertapa selanjutnya.

Baca Juga:  Wali Pamijahan: Profil, Metode Dakwah dan Ajaran Tasawufnya

Di pesantren Tebuireng, Kyai Ali melanjutkan pendidikannya dengan menempuh Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng. Tingkatan ini beliau lalui selama 3 tahun mulai dari tahun 1969 hingga 1972.

Tidak hanya itu, beliau juga melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng terhitung mulai 1972 sampai 1975. Selain menempuh pendidikan formalnya, beliau juga menekuni kitab-kitab kuning dibawah asuhan para kyai senior.

Tercatat, Kyai Ali memperoleh ijazah sanad Shahih al-Bukhari dari Kyai Syansuri Badawi  pada tanggal 1 Oktober 1974. Jumlah ulama yang menyambungkan sanadnya hingga Imam al-Bukhari berjumlah 19 ulama. Sebenarnya beliau juga memperolah sanad Shohih Muslim, hanya saja hingga akhir hayatnya sanad tersebut belum di temukan.

Pada tahun 1976, di usianya yang ke-24, Kyai Ali mendapatkan panggilan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Universitas Islam Maulana bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia. Di Riyadh, beliau menyelesaikan studinya sampai lulus S1 dengan ijazah Licence pada tahun 1980.

Masih di kota yang sama, Riyadh, Kyai Ali melanjutkan studi S2 di Universitas Kang Saud, Departemen Studi Islam jurusan Tafsir dan Hadits, sampai lulus dengan gelar ijazah Master pada tahun 1985.  

Pada tahun 1985, Kyai Ali pulang ke Indonesia dan mengakhiri jejaknya di bumi Saudi Arabia. Beliau kemudian mengajar di IIQ, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, serta perguruan tinggi lainnya. Beliau juga mulai aktif di beberapa organisasi keislaman serta aktif berdakwah dan mendirikan Peantren Darus-Sunnah di Ciputat.

Baca Juga:  Buya Syakur; Intelektual Muslim Progresif dari Kampung

Atas saran gurunya, Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, beliau pun melanjutkan doktoralnya di Universitas Nizamiah, Hyderabad, India pada tahun 2005. Studi ini tidak bersifat residensial (belajar di kampus), tetapi melalui komunikasi jarak jauh by research.

Pada tahun 2008 beliau menyelesaikan disertasinya dengan hasil penelitian Kriteria Halal untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika yang Tidak Ditemukan dalam al-Qur’an  maupun Hadits. Dari sidang disertasi ini, Kyai Ali Mustafa dinyatakan lulus dengan gelar Doktor dalam bidang Hukum Islam.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa beliau memperoleh gelar ini justru setelah 10 tahub menyandang Guru Besar Madya (Profesor) dalam bidang Ilmu Hadits dari IIQ Jakarta.

Dengan melekatnya gelar doktor ini, maka lengkaplah titel yang beliau sandang menjadi Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Meskipun telah menyandang sederet gelar, Kyai Ali tetaplah sosok yang haus ilmu.

Untuk memenuhi dahaganya tersebut , beliau selalu membaca buku atau kitab sertiap harinya. Untuk itu beliau sering berkata “Nahnu Thullabul Ilmi ila Yaumil Qiyamah (kami adalah pencari ilmu hingga hari kiamat)”.  

Demikialah biografi singkat Kyai Ali Mustafa Yaqub, salah Seorang Ulama Nusantara. Biografi ini belum seberapa dibanding perjalanan beliau dalam menuntut ilmu yang tiada habisnya hingga akhir hayatnya.

Sebab, jika di tuangkan dalam artikel ini rasanya 20 lembar pun tidak cukup untuk menceritakan perjalanan beliau. Semoga kita dapat meneladani semangat beliau dalam menuntut ilmu. Wallahu A’lam.

Nur Faricha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *