Bolehkah Kita Menerima Hadiah dari Tabungan di Bank?

menerima hadiah dari tabungan di bank

Pecihitam.org – Permasalahan hukum bunga bank dan hadiah dari tabungan di bank adalah dua hal yang berbeda. Bunga bank merupakan sejumlah imbalan yang diberikan oleh bank kepada nasabah atas dana yang disimpan di bank. Sedangkan hadiah dari tabungan di bank adalah hadiah yang diberikan sebagai penghargaan atas nasabah yang menabung di bank tersebut. Biasanya, hadiah ini sudah ditentukan oleh bank dalam kurun waktu tertentu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Yang menjadi pertanyaan adalah, meskipun berbeda, apakah hukum bunga bank dan hadiah dari tabungan di bank sama saja? atau apakah termasuk juga sebagai Riba?

Jika kita bicara tentang Riba, Secara Bahasa riba berarti tumbuh dan tambah. Secara istilah, Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya riba sebagai “bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini”. Misalnya, menukarkan 10 kilogram beras ketan dengan 12 kilogram beras ketan, atau si A bersedia meminjamkan uang sebesar Rp300 ribu kepada si B, asalkan si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp325 ribu.

Para ulama dalam empat mazhab maupun ulama kontemporer sepakat dengan keharaman riba. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank, juga mengharamkan riba. Hal ini berdasarkan dalil diharamkannya riba adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat al-Baqarah ayat 275:

Baca Juga:  Inilah Dasar Keharaman Menikah Kembali Selamanya Atas Pasangan yang Berli’an

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ketentuan ini diperkuat dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ  

Artinya: Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.” Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim, nomor 2994). (Lihat: Yusuf Qaradhawi, Fawa’id al-Bunuk Hiya al-Riba al-Haram, Kairo: Dar al-Shahwah, halaman 5-11; Fatwa MUI Nomor 1 tahun 2004 tentang bunga). 

Persoalan bunga bank apakah termasuk riba atau bukan, itu Ikhtilaf di kalangan Ulama, lalu bagaimana dengan hadiah dari tabungan di bank?

Yahya Zainul Ma’arif atau yang biasa dikenal sebagai Buya Yahya menjelaskan bahwa apabila ada seseorang yang menabung di bank dan mendapat hadiah motor atau mobil dalam waktu satu tahun, maka tidak termasuk dalam riba. Memberi hadiah wajar saja sebab tidak ada hubungannya dengan riba tapi dengan syarat bahwa hadiah berhak diterima siapa pun yang punya kasus serupa. Yang tidak berkenan adalah apabila meminjam uang dan mengembalikan dengan tambahan.

Baca Juga:  Zakat Saat Pandemi: Pesan Sosial yang Terdapat dalam Kewajiban Zakat

Syarat lainnya adalah hadiah tersebut tidak masuk dalam syarat pinjam-meminjam. Kurun waktu satu tahun atau dua tahun hanya mengikat, bukan mengubah akadnya. Yang menjadi masalah adalah apabila akadnya disebutkan akan mendapat hadiah. Sebagai misal, sebuah bank menawarkan kepada nasabah untuk menabung sejumlah 10 milyar per tahun dan langsung mengatakan akan mendapat mobil saat itu juga, maka itu termasuk ke dalam riba.

Bisa disimpulkan bahwa hadiah yang ditentukan di awal transaksi adalah riba namun apabila tidak disebutkan maka bukan riba. Perjanjian dalam akad termasuk riba karena membuat orang menitipkan uang untuk mendapatkan hadiah. Maka, hadiah yang ditunggu menjadi riba. Ini dalam konteks perbankan yang sudah dijelaskan di atas.

Sebuah nukilan menarik datang dari Syekh Zainuddin al-Malaybary dalam kitab Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurrati al-‘Ain yang menyampaikan sebuah maqalah sebagai berikut:

فائدة لو أخذ من غيره بطريق جائز ما ظن حله وهو حرام باطنا فإن كان ظاهر المأخوذ منه الخير لم يطالب في الآخرة وإلا طولب قاله البغوي.

Artinya: “Sebuah faidah: Seandainya ada seseorang mengambil dari orang lain dengan jalan yang jaiz sesuatu yang diduga halalnya, padahal adalah haram secara bathin, maka bila dhahir barang tersebut adalah baik, maka ia tidak akan dituntut di akhirat. Namun, bila dhahir barang tersebut tidak baik, maka sebagaimana pendapat al Baghawy, maka ia kelak akan dituntut di akhirat.” (Syekh Zainuddin al-Malaibary, Fathul Muin bi Syarhi Qurrati al-‘ain, Surabaya: Al Hidayah, tt., 67).

Baca Juga:  Sholat Sunnah Sebelum Sholat Jumat, Sholat Apakah Itu?

Syekh Zainuddin al-Malaibary juga menyebutkan ada tiga batasan menerima barang dari orang lain sehingga tetap halal bagi penerimanya, yaitu:

  1. Barang diberikan dengan cara yang jaiz (dibolehkan oleh syariat), misalnya hadiah, gaji atau hasil jual beli
  2. Barang yang diterima diduga halalnya, meskipun pada kenyataannya ia berasal dari jalan haram
  3. Wujud luar barang yang diberi (dhahir al-ma’khudz) adalah baik

Dalam hal ini, hadiah dari tabungan di bank jelas diperoleh bukan dari cara haram, maka menerimanya adalah dibolehkan. Sebab, sebelum mendapatkan hadiah, ia tidak dijanjikan apa-apa dan tidak mengucapkan akad tertentu.

Ayu Alfiah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *