Pecihitam.org – Adalah sebuah kesia-siaan jika kita mengejar suatu hal, namun kita tidak memahami arti dari hal yang kita kejar itu. Kita ingin menuju Jakarta, tetapi kita tidak tahu apa itu Jakarta, di mana Jakarta, ke arah mana jalan menuju Jakarta. Yang demikian itu, adalah amsal dari kesia-siaan.
Banyak terma dalam agama Islam seperti muslim, mukmin, murtad, munafik, mukhlish, kafir, dan lain sebagainya. Namun, tak jarang kita tidak memahami artinya.
Dari sekian banyak terma atau predikat yang prestisius dan menjadi impian setiap muslim adalah menjadi muttaqun, yakni orang-orang yang bertakwa. Sebab, faqad fazal muttaqun, sungguh berbahagia orang-orang yang bertakwa kepada Allah.
Terma takwa memiliki konotasi positif. Terma ini paling sering diucapkan dalam khutbah-khutbah jum’at. Selain itu, karena memang nasihat khatib mengajak jamaah agar selalu meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt adalah rukun khutbah jum’at; al-washiyat bi al-taqwa.
Pengertian takwa dimaknai secara umum dalam literatur klasik Islam sebagai “menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya”. Pengertian semacam ini tidak keliru. Namun, apakah ada seorang muslim yang mampu menjalankan semua perintah Allah sekaligus menjauhi segala larangan-Nya?
Pertanyaan ini yang kemudian mengganggu pikiran seorang Kiai Pesohor asal Indramayu, yakni KH. Abdul Syakur Yasin (Buya Syakur).
Pengertian yang demikian itu, urai Buya Syakur, tidak realistis. Sebab itu, Buya Syakur mencoba menggali pengertian takwa yang realistis secara kebahasaan dan berdasar firman Allah Ta’ala.
Secara bahasa, lema kata takwa berasal dari kata Arab yang dalam rumpun tashrif adalah berpola waqâ-yaqî-wiqâyatan. Jadi asal katanya adalah al-wiqâyah. Kemudian mengikuti pola tashrif ifta’ala-yafta’ilu-ifti’âlatan. Dari waqâ, menjadi ittaqâ-yattaqî-taqwâ. Al-wiqâyah sendiri berarti tindakan preventif atau pencegahan. Seperti dikutip Buya Syakur, dalam peribahasa Arab disebutkan;
al-wiqâyah khairun minal ‘ilâj; preventif lebih baik daripada kuratif.
Maka, urai Buya Syakur, al-wiqâyah itu berarti tindakan pencegahan (preventif). Dengan demikian, pengertian dari takwa secara bahasa adalah sikap kehati-hatian atau kewaspadaan.
Buya Syakur mengambarkan sikap takwa ini dengan analogi senter. Ketika keluar malam dalam kegelapan, lantas balik lagi mengambil senter supaya tidak kesandung, maka sikap mengambil senter merupakan gambaran dari ketakwaan. Sikap waspada agar tidak kesandung dalam kegelapan.
Itu yang dituntut Allah, tandas Buya Syakur, bahwa kita harus berhati-hati. Yang paling penting bukan aku menyeka air matamu, tapi bagaimana caranya agar kamu tidak menangis; sikap preventif.
Ketika seseorang melakukan kesalahan, tetapi sudah dilandasi sikap kehati-hatian, maka Allah mengatakan itu tidak berdosa. Berkaitan dengan ini Buya Syakur mengutip dalil quranik “lâ junâha ‘alaikum fî mâ aktha’tum”, tidak ada dosa bagi kalian terhadap kekeliruan yang kalian perbuat, “wa lâkimmâ ta’ammadat qulûbukum”, akan tetapi kesengajaan kalian menentang Allah-lah yang berdosa.
Amsalnya, bahwa ketika telah membawa senter dalam kegelapan namun tersandung juga, itu tidak berdosa. Sebab telah dilandasi sikap takwa, yakni kehati-hatian dengan membawa senter dalam kegelapan. Maka, lanjut Buya Syakur, dosa itu adalah kesengajaan hati untuk melawan Tuhan, Allah Ta’ala – ta’ammadat qulubukum.
Sehingga, tegas Buya Syakur, orang yang bertakwa bukan orang yang melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, melainkan orang yang berhati-hati ingin tidak melanggar larangan Allah.
Dalam pengajiannya ketika mengurai ihwal takwa ini, Buya Syakur bukan hendak menyalahkan pengertian takwa yang telah dipahami umum. Buya Syakur hanya mengajak berpikir kembali tentang apa itu takwa dengan pengertian yang lebih masuk akal, realistis, dan tentu juga berdasar.
Wallahul muwaffiq.