Corak Aswaja dalam Bidang Politik, Santri Millenial Harus Paham!

corak politik aswaja di bidang politik

Pecihitam.org – Jika kita berbicara tentang Aswaja, tentu kita tidak hanya berbicara tentang pandangan keagamaan saja, namun harus dipahami pula bahwa Aswaja adalah “manhajul fikrah wal harakah” dalam menyikapi berbagai persoalan, baik persoalan agama, sosial, ekonomi, kebudayaan dan bahkan dalam bidang politik.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Maka konsep Politik Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) prinsip utamanya adalah menjadikan kemaslahatan dan kesejahteraan umat di berbagai Bidang. Kemaslahatan tersebut tentunya harus diwujudkan dengan cara-cara yang maslahat. Di antaranya dengan melalui musyawarah dan mufakat.

Imam Muhammad bin Abdul Karim As-Syihristani (w. 548 H.), mengutip sebuah pernyataan penting yang mencerminkan pandangan politik Aswaja. Beliau menulis dalam kitab al-Milal wan Nihal yang artinya sebagai berikut;

“Imamah (kepemimpinan politik) adalah konsepsi kemaslahatan yang diserahkan kepada pilihan masyarakat banyak, dan seorang pemimpin diangkat karena pilihan mereka.” (kitab al-Milal wan Nihal)

Prinsip kemaslahatan ini membuat Aswaja dapat menerima model kepemimpinan politik apapun selama sesuai dengan tuntunan syariat. Dalam artian bahwa Aswaja tidak mempersoalkan sistem demokrasi ataupun monarki.

Karena bagi Ahlussunnah wal Jamaah, Islam cuma memerintahkan agar seorang pemimpin untuk bisa berlaku adil dan berakhlakul karimah, senantiasa bermusyawarah, serta berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqh “tashorruful imam ála roíyah manuthun bil mashlahah”, yaitu kebijakan seorang pemimpin itu berdasarkan kesejahteraan rakyatnya.

Nah, berdasarkan hal itu maka kalau ada bentuk praktik politik yang dianggap tidak sesuai dengan syariat, maka harus digunakan cara-cara yang penuh kemaslahatan untuk mengubahnya.

Baca Juga:  Menjawab Wahabi Yang Menuduh Santri Mengkultuskan Para Kyai

Karenanya, dalam konteks kehidupan berbangsan dan bernegara dalam bingkai ke-Indonesiaan, Aswaja berpandangan bahwa:

  • NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
  • Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
  • Haram hukumnya memberontak (bughot) terhadap pemerintahan yang sah karena berpotensi menimbulkan pertikaian tak berkesudahan di kalangan umat.
  • Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

Mengapa Aswaja menolak kelompok yang Bughot?

Sekali lagi bahwa Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja) dalam bidang politik adalah kemaslahatan. Karenanya, tidak dibenarkan melakukan pemberontakan ketika pemerintah yang sah menyimpang dari kebenaran. Kewajiban umat Islam adalah memberikan nasihat dengan cara sebaik-baiknya dan bersabar atas kezaliman penguasa.

Alquran mengajarkan agar umat Islam mematuhi para pemimpinnya, dalam QS. An-Nisa: 59:

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, patuhilah Allah, dan patuhi utusan Allah dan ulil amri kalian.”

Memahami ayat tersebut mari kita simak pandangan dari Ulama yang Otoritatif..

Imam an-Nawawi (w. 676 H.) menukil keterangan dari al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H) mengatakan bahwa berdasarkan ayat tersebut wajib hukumnya taat kepada ulil amri (pemerintah).

Baca Juga:  Kisah Santri Aswaja Kalah Saat Adu Dalil Dengan Wahabi

Menurut at-Thabari (w. 450 H), maksud ulil amri dalam ayat tersebut yang paling tepat adalah pemerintah (al-umara’ wa ahlus sulthah wal hukmi).

Selajutnya di Dalam kitab Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Ayil Qur’an, At-Thabari menguatkan pendapat tersebut melalui sebuah hadis Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda:

“Sejumlah penguasa akan memerintah kalian setelah kepergianku. Seorang pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikan, seorang pemimpin jahat akan memimpin dengan kejahatannya. Dengarkan mereka dan patuhilah dalam setiap perkara yang sesuai dengan kebenaran. Shalat lah di belakang mereka. Bila mereka berbuat baik, maka itu kebaikan untuk kalian dan mereka. Jika mereka berbuat jahat, maka kebaikan bagi kalian dan keburukan bagi mereka.” (HR. at-Thabrani)

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Mendengar dan mentaati wajib bagi setiap pribadi muslim dalam setiap perkara yang dia suka maupun benci, selama dia tidak diperintahkan bermaksiat. Jika dia diperintahkan melakukan maksiat, maka tiada wajib mendengar dan taat.” (HR. alBukhari)

Rasulullah saw. juga bersabda:

“Barangsiapa melihat pemimpinnya berbuat sesuatu yang dibencinya, hendaknya ia bersabar. Tak ada seorang pun yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, lalu dia mati, maka dia tidak
mati kecuali seperti orang jahiliah.” (HR. alBukhari)

Rasulullah saw. bersabda:

“Wajib bagimu mendengarkan dan mentaati pemimpin dalam keadaan susah maupun gampang, pada waktu semangat maupun bosan.” (HR. Muslim)

Baca Juga:  Pembelajaran Kitab Fiqh Lintas Madzhab di Pondok Pesantren dalam Membumikan Toleransi

Kembali Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarah Sahih Muslim bahwa pengertian hadis-hadis di atas adalah wajib mematuhi peraturan pemerintah dalam perkara-perkara yang tidak disukai oleh perasaan, selama ia bukan perintah melakukan kemaksiatan.

Al-Mawardi berkata dalam kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, “Ketika seorang pemimpin telah melayani umat, maka dia telah memenuhi kewajibannya kepada Allah (haqqullah). Dan wajib bagi rakyat
dua perkara; mentaati dan memberi bantuan kepada pemimpin.”

Ulama-ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah di atas menekankan kewajiban taat kepada pemerintah dalam keadaan suka maupun duka. Di sinilah mengapa para ulama Aswaja di Indonesia menolak gerakan-gerakan yang ingin melawan pemerintah.

Melawan pemerintah, apalagi jika disertai dengan perlawanan bersenjata, maka gerakan yang seperti itu termasuk dalam kategori bughot. Dan Para ulama sepakat atas keharaman gerakan bughot atau makar.

Sebagaimana pengalaman Sayyidina Ali, bahwa mereka yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang sah adalah bughot dan boleh diperangi ketika mereka melancarkan serangan.

Wallahu a’lam

M Resky S

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *