Dakwah Islam dan Kefasihan Beragama ala Pesantren Aswaja NU

Dakwah Islam dan Kefasihan Beragama ala Pesantren Aswaja NU

Pecihitam.org – Kekaguman saya kepada pondok pesantren mungkin tak akan tergantikan dengan padanan jenis pengajaran Islam yang lain. Apalagi disepadankan dengan lembaga pendidikan Islam formal seperti sekolah. Saya bukan anti sekolah formal. Selain mesantren, saya juga sekolah formal.

Dengan kelebihan dan kekurangannya, pondok pesantren memiliki “rasa” yang berbeda. Sangat berbeda dan khas. Belajar agama di pesantren tak cuma sekadar melepas dahaga keilmuan. Mesantren lebih dari itu. Pesantren tak cuma menyediakan asupan bagi otak, tapi juga ruhani.

Hingga sekarang, kesan orang merasa “adem” berada di pesantren tak pernah berubah.

Mungkin, satu-satunya jenis lembaga pendidikan yang orientasinya pegabdian masyarakat adalah pesantren. Di kala sekolah formal berlomba-lomba mencetak lulusan yang siap pakai di dunia kerja, pesantren masih istikamah menggembleng santrinya untuk bisa bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun sekolah formal itu jurusannya agama, tetap, beda orientasi dengan pesantren.

Dawuh kiai saya, santri itu tidak ada jurusannya. Masa depannya mau jadi apa itu terserah gusti Allah. Santri akan menjurus dengan sendirinya.

Titik tekan dalam pengajaran di pesantren bukan untuk menjadi apa. Orientasinya bukan memimpikan masa depan yang penuh penghormatan dan jabatan duniawi. Mengabdi, mengabdi, dan mengabdi. Itu yang selalu dituturkan kiai pesantren. Implikasinya, setiap santri harus betul-betul menyiapkan diri — ilmu sekaligus mental ruhani — agar mampu jadi penyejuk di tengah-tengah masyarakat.

Untuk menjadi sumur bagi kegersangan jiwa masyarakat, setidaknya ada tiga tahapan al-fiqh atau kefasihan beragama yang ada di pesantren.

Pertama, fiqhul ahkam. Yakni ajaran agama yang benar-benar ketat seturut teologis (aqidah) dan yurisprudensi Islam (ilmu fikih). Pemahaman beragama yang mapan atas akidah dan hukum Islam ini menjadikan seorang santri betul-betul taat kepada titah agama. Menjadi manusia yang saleh dengan dilandasi ilmu.

Kedua, fiqhud da’wah. Pada tahap ini pemahaman Islam seorang santri harus mampu beradaptasi dengan realitas sosial masyarakat. Wajah Islam yang ditampilkan tidak kaku, harus luwes dengan tidak menyalahi akidah. Misalnya, bagaimana sikap seorang santri ketika hidup berdampingan dengan tetangganya yang muslim pemabuk atau muslim abangan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Baca Juga:  Milad ke-22 Ponpes Al-Mubarok Komitmen Ciptakan SDM Unggul

Santri harus mampu merangkul dengan tidak menistakan martabat orang tersebut. Walau jelas jika menilik teks agama, tetangganya itu tergolong munafiqun.

Ketiga, fiqhul hikmah
. Yakni kefasihan beragama yang telah mencapai posisi bijak bestari. Tidak hanya luwes dalam mewajahkan Islam di hadapan realitas sosial majemuk. Lebih dari itu, pada tahap ini seorang santri telah menjelma jadi sosok yang tutur katanya selalu menyejukkan hati.

Oleh sebab itu, dalam pengajaran Islam di pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama dakwah dipahami sebagai ajakan yang harus mengedepankan sikap moderat, toleransi, serta lekat akan cinta-kasih.

Dakwah ala pesantren aswaja NU ialah ‘adamul haraj, tanpa menyakiti, menista. Sebagai contoh populer, sosok Gus Miftah adalah cerminan bagaimana ajaran agama berhadapan dengan PSK tapi tidak menyakiti hati, atau menista martabat mereka sebagai manusia.

Eksistensi pesantren-pesantren aswaja NU hakikatnya ialah menjaga Islam Sunni ala Walisongo, ngurip-ngurip agama Islam.

Entah sudah berapa juta ustadz, kiai, ulama, pemuka agama khususnya di kampung-kampung yang dicetak oleh pesantren aswaja ala NU sejak era Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Jika dipahami, eksistensi pesantren-pesantren tradisional dengan corak pengajaran kitab kuning ini menjadi benteng Islam di Indonesia.

Di mana banyak mufti atau ulama dari negara-negara Islam Timur Tengah mengakui keramaham wajah Islam di Indonesia. Tak lain dan tak bukan keberadaan pesantren memiliki sumbangsih besar bagi “wajah” Islam Indonesia.

Wallahul muwaffiq.

Baca Juga:  Istimewanya Idul Fitri 2020, Meski Sholat Ied pun Harus di Rumah Aja
Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *