Dikotomi Islam dan Barat; Membaca Ulang Teori the Clash of Civilizations

Dikotomi Islam dan Barat, Membaca Ulang Teori the Clash of Civilizations

Pecihitam.org – Dalam tiga dekade terakhir, ada satu teori yang cukup mengejutkan banyak kalangan, baik di Timur maupun di Barat, teori itu bernama the Clash of Civilizations (perbenturan antar peradaban-peradaban).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Samuel Huntington, seorang guru besar di Harvard University. Dia menulis sebuah buku di tahun 1996 dengan judul Clash of Civilization, sama persis sebagaimana teori yang dikemukakannya.

Berdasarkan teori ini, muncul sebuah pandangan bahwa telah terjadi benturan antara peradaban Islam dan Barat. Lebih tepatnya, antara peradaban Islam yang cenderung berideologi fundamentalis-konservatif dan Barat yang liberal-sekuler. Dua kutub ini seakan saling berlawanan dan membentur akibat pertentangan dua ideologi yang sangat tajam. Menurut Huntington, benturan ini bukan sesuatu yang dibuat-buat, melainkan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Tapi perlu dicatat bahwa teori Samuel Huntington ini sesungguhnya memiliki banyak sekali kelemahan, karena hampir tidak mungkin mendikotomikan antara Islam dan Barat, baik secara teoritis maupun substantif.

Tulisan ini akan sedikit mengulas tentang kegagalan Huntington dalam membenturkan atau katakanlah memprediksi benturan antara Islam dan Barat. Dengan kata lain, saya ingin menunjukkan bahwa betapa teori benturan antarperadaban itu merupakan sebuah ketidakmungkinan atau khayalan belaka. Boleh jadi di satu sisi ada benarnya, tapi di banyak hal, teori itu gagal total dalam melihat perkembangan relasi antara Islam dan Barat.

Baca Juga:  Banyak Ustadz Dadakan, Salah Siapa?

Kita perlu sadar bahwa apa yang disebut “Islam” adalah sesuatu yang sangat beragam, wajah Islam tidaklah bersifat monolitif, baik dari segi pengikutnya, pandangan keagamannya, maupun orientasi politik. Misalnya, ada kelompok Islam yang kontra dengan Barat, tetapi ada pula yang sangat pro dengan Barat, bahkan sekarang ini ada banyak negara-negara Arab yang bersekutu dengan Barat, seperti Arab Saudi dan negara-negara teluk.

Kalau diteliti secara lebih jeli, konflik atau benturan antarperadaban yang dimaksud oleh Hantington itu sesungguhnya hanya antara negara Iran dan Amerika saja. Karena sejak tahun 1970-an, negara muslim yang benar-benar sedang konflik dan mengalami perbenturan adalah Iran dan Amerika, yakni sejak revolusi Iran meledak dan Ayatullah Khomaeni naik tahta tahun 1979 dengan mengobarkan semangat untuk melawan Amerika.

Di lain hal, negara-negara Barat sendiri secara substantif tidak sepenuhnya menjadi satu kutub atau blok yang monolitik. Di Barat, seperti Amerika dan Eropa, juga terdapat penduduk muslim, baik penduduk asli maupun pendatang. Dari segi pekerjaan, banyak di antara mereka memegang posisi yang beragam, mulai dari posisi pekerja kasar sampai menjadi tenaga ahli di NASA. Begitu juga yang terjadi di negera-negara Eropa, seperti Jerman, Prancis, Inggris, dan seterusnya.

Baca Juga:  Tak Jauh Beda dengan Wahabi, Khilafah Hizbut Tahrir Juga Ditolak di Mana-mana

Lagi pula, di Eropa sendiri ada banyak peninggalan Islam dari masa lalu yang sampai sekarang monumen-monumen itu masih ada dan berdiri kokoh, misalnya seperti di Spanyol. Bahkan, sebuah penelitian yang dilakukan oleh UNESCO dan PBB, menunjukkan bahwa peradaban Barat bersumber dari tiga tradisi agama Abrahamik, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam.

Karenanya, teori Clash of Civilizations ini memiliki banyak kelemahan. Kita pun tidak perlu mengikuti dan mendikotomisasikan antara Islam dan Barat, karena tidak bisa dipungkiri bahwa di negara-negara muslim sendiri telah banyak mendapat manfaat dari Barat, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jadi hal-hal yang bersifat positif dari Barat tetap bisa kita ambil. Misalnya dari segi kemajuan teknologinya, kemajuan tata kelola kota, penegakan hukum, dan politik. Hemat saya, banyak hal masih bisa dikompromikan dan dijadikan sebagai nilai lebih yang bisa diambil sisi positifnya dan buang sisi buruknya.

Sebaliknya, dunia Barat juga bisa banyak belajar dari Islam, meski di sisi ini tidaklah mudah. Karena selama ini, orang-orang Barat masih ada saja yang berpandangan bias dan memiliki berbagai prasangka negatif dalam melihat Islam. Pandangan semacam ini sah-sah saja, justru ini menjadi tugas utama umat Islam di seluruh dunia agar lebih mampu untuk menampilkan wajah Islam yang ramah dan bukan marah.

Baca Juga:  Empirisme David Hume dalam Melihat Negara Pancasila

Bila umat Islam mampu terus-menerus memupuk wajah Islam yang moderat dan toleran, prasangka-prasangka itu lama-kelamaan pasti akan lenyap dari bumi manusia. Salah satu caranya adalah dengan memberikan perspektif yang benar tentang Islam, bahwa sesungguhnya Islam itu dalam banyak hal sangat kompatibel dan cocok dengan apa yang terjadi di dunia Barat. Khususnya dalam kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, pengelolaan pemerintahan, dan masih banyak lagi.

Demikianlah, yang disebut dengan Clash of Civilizations sebetulnya lebih merupakan teori yang seolah-olah sengaja dirancang untuk membenturkan antara Islam di satu pihak, dan Barat di pihak yang lain. Pahadal di antara dua kutub ini banyak sekali terjadi tukar-menukar peradaban, ilmu pengetahuan, dan berbagai aspek ilmu yang lainnya.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *