Undang-Undang Hukum Perdata yang Ada Kaitannya dengan Ekonomi Syariah

Undang-Undang Hukum Perdata yang Ada Kaitannya dengan Ekonomi Syariah

Pecihitam.org- Islam memiliki seperangkat ajaran berupa aqidah, syari’ah dan ibadah. Syari’ah dalam arti khusus disebut juga dengan fikih, terdiri atas beberapa bidang, yaitu bidang ubudiyah (ibadah), munakahat, dan jinayat, dan muamalah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bidang Muamalah atau diistilah dengan hukum ekonomi syariah membahas tentang :

  1. Jual beli (al-bai’);
  2. Gadai(ar-raḥn);
  3. Kepailitan (taflis);
  4. Pengampunan (al-ḥajr);
  5. Perdamaian (al- ṣulh);
  6. Pemindahan utang (al-ḥiwalah);
  7. Jaminan utang ( adḍaman al-kafalaḥ);
  8. Perseroan dagang (syarikah);
  9. Perwakilan (wikalah);
  10. Titipan (al-wadi’ah);
  11. Pinjam meminjam (al-ariyah);
  12. Merampas atau merusak harta orang lain (al-ghasb);
  13. Hak membeli paksa (syuf’ah);
  14. Memberi modal dengan bagi untung (qiradh);
  15. Penggarapan tanah (al-muzaro’ah musaqoh);
  16. Sewa-menyewa (al-ijaroh),
  17. Mengupah orang untuk menemukan barang yang hilang (al-ji’alah);
  18. Membuka tanah baru (ihya al-mawat); dan
  19. Barang temuan (luqhotah).

Seluruh bidang hukum ekonomi syariah tersebut berdasar prinsip syariah yang mengatur tata niaga, dagang dan tata kelolanya, termasuk mengenai siapa subjek hukum dalam seluruh kegiatan tersebut yang sesuai dengan prinsip syariah. Semuanya didasarkan pada al-aqd/kontrak.

Norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang kontrak (perikatan) ini telah lama dipraktikkan dalam masyarakat Islam Indonesia sebagai bagian dari pengamalan ajaran Islam.

Namun akibat dari politik penjajah Belanda, norma-norma hukum perikatan Islam ini memudar dan tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat.

Baca Juga:  Jangan Salah Paham! Ekonomi Syari'ah Bukan Untuk Mengarahkan Ekonomi Nasional Pada Ideologi Agama

Sebelum amandemen Undang-undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, penegakkan hukum kontrak bisnis di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut mengacu pada ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Pdt.) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW), kitab Undangundang hukum sipil Belanda yang dikonkordansi keberlakuannya di tanah Jajahan Hindia Belanda sejak tahun 1854 ini.

Sehingga konsep perikatan dalam Hukum Islam tidak lagi berfungsi dalam praktek formalitas hukum di masyarakat, tetapi yang berlaku adalah KUH Pdt.

Secara historis, norma-norma yang bersumber dari hukum Islam di bidang perikatan (transaksi) ini telah lama memudar dari perangkat hukum yang ada akibat politik penjajah yang secara sistematis mengikis keberlakuan hukum Islam di tanah jajahannya, Hindia Belanda.

Akibatnya, lembaga perbankan termasuk perbankan syariah maupun di lembaga-lembaga keuangan lainnya, sangat terbiasa menerapkan ketentuan Buku Ke tiga KHU Pdt. yang merupakan terjemahan dari BW (Burgerlijk Wetboek)tersebut. Sehingga untuk memulai suatu transaksi secara syari’ah tanpa pedoman teknis yang jelas akan sulit sekali dilakukan.

Sejalan dengan bermunculannya lembaga-lembaga keuangan syariah dan dengan adanya undang-undang baru tentang peradilan agama, yaitu Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukan hukum perjanjian syari’ah atau akad sebagai bagian dari materi hukum ekonomi Syariah secara yuridis formal semakin kuat, yang sebelumnya hanya normatif sosiologis.

Baca Juga:  Hasil Pengelolaan Harta Wakaf untuk Pengembangan Pendidikan di Pondok Pesantren

Lahirnya Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama sebagai amandamen terhadap Undangundang Peradilan Agama yang lama membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi di Indonesia.

Selama ini, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syari’ah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene-nya belum bisa dianggap sebagai hukum syari’ah.

Ketidakjelasan dan kekosongan hukum positif dalam transaksi bisnis syari’ah menjadi hilang dengan rekomendasi yang diberikan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 kepada lembaga Peradilan Agama untuk menyelesaikan kasus sengketa dalam ekonomi syariah, yang meliputi :

  1. Bank syariah,
  2. Lembaga keuangan mikro syari’ah,
  3. Asuransi syari’ah,
  4. Reasurasi syari’ah,
  5. Reksadana syari’ah,
  6. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
  7. Sekuritas syariah,
  8. Pembiayaan syari’ah,
  9. Pegadaian syari’ah,
  10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
  11. Bisnis syari’ah.

Ini artinya jangkauan kewenangan mengadili dilingkungan peradilan agama dalam bidang ekonomi syari’ah sudah meliputi keseluruhan bidang ekonomi syari’ah.

Baca Juga:  Gelar Muhasabah Akhir Tahun, FSN Sulsel Bahas Ekonomi Syariah dan Revolusi Industri 4.0

Sekalipun demikian menurut Cik Basir, bahwa jenis-jenis ekonomi syari’ah yang tersebut di atas hanya antara lain, yang berarti tidak tertutup kemungkinan adanya kasus-kasus dalam bentuk lain di bidang tersebut selain yang disebutkan itu.

Adanya undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi syariah menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia mulai memberi tempat dan ruang pada ekonomi syariah.

Dengan undang-undang tersebut, maka kekosongan hukum dalam bidang ekonomin syariah dapat teratasi, sekalipun belum secara maksimal. Ke depan diharapkan ada revisi terhadap perundang-undangan yang sudah ada menyangkut bidang ekonomi secara umum, sehingga melahirkan duel economic system sebagai payung hukum dalam rangka merealisasikan prinsip-prinsip ekonomi syariah dalam ekonomi Indonesia.

Mochamad Ari Irawan