Mengenal Emha Ainun Nadjib, Sang Kiai Mbeling

Emha Ainun Nadjib

Pecihitam.org – Lewat karya-karyanya, Emha Ainun Nadjib atau biasa kita kenal sebagai Cak Nun dikenal sebagai komentator sosial yang tajam di Indonesia. Sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an, Cak Nun dielu-elukan sebagai pembela kaum marjinal. Tak heran, ia pun dijuluki sebagai Sang Kiai Mbeling lantaran pemikiran dan karya-karyanya yang nyeleneh.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam karya dan pertunjukannya, Emha Ainun Nadjib terlihat seperti meneruskan semangat sosial bapak-ibunya, atau terinspirasi oleh kehidupan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya memang orang biasa saja, tapi punya jiwa sosial yang sangat tinggi. Cak Nun pernah menyatakan bahwa kedua orang tuanya adalah “bapak-ibunya orang banyak”.

Cak Nun mengaku, “Sejak masih digendong-gendong dan baru bisa berjalan, saya sudah ikut ibu berjalan keliling melihat para tetangga, menanyakan mereka masak apa, anaknya sekolah enggak, problem-problemnya. Itu kemudian secara tidak sengaja membentuk sikap sosial saya.

Kebetulan nilai-nilai yang mendasari semuanya adalah agama, karena agama Islam kuncinya satu yakni menolong orang yang tidak mampu di segala bidang agar dibuat mampu menjadi manusia,” pengakuannya ada dalam buku Kitab Ketenteraman halaman 131.

Baca Juga:  AGH Muhammad Harisah AS, Ulama Kharismatik Pendiri Pesantren An-Nahdlah Makassar

Jamaah Maiyah

Hubungan Cak Nun sangat dekat dengan sastra. Sastra yang luwes menjadi medium bagi seniman kelahiran Jombang, 27 Mei 1953, ini untuk menyuarakan aspirasinya pada masa Orde Baru. Cak Nun mengakui bahwa tanpa bantuan sastra, langkah komunikasinya akan sangat terbatas.

Maka dengan sastra disamping ia bisa menemukan berbagai format komunikasi, ia pun tetap bisa memelihara pandangan terhadap dimensi-dimensi kedalaman manusia dan masyarakat.

Bermula dari menulis puisi, cerpen, esai, dan teater, pada awal tahun 1990-an, Cak Nun merambah ke ranah musik. Kelompok musiknya yang disebut sebagai Kiai Kanjeng adalah modifikasi format dari musik gamelan yang dipakai mengiringi pementasan Pak Kanjeng. Album pertama Kiai Kanjeng berjudul Kado Muhammad dan dirilis pada tahun 1995 dengan hits andalan tembang berjudul “Tombo Ati”.

Selain itu, Cak Nun pun mendirikan sebuah forum kajian yang disebut pengajian Padhang Mbulan. Pada mulanya, forum tersbeut adalah agenda keluarga besarnya saja, bahkan pengisinya adalah Cak Fuad dan Cak Nun sendiri. Tapi, waktu berlalu dan kemudian forum ini dikembangkan menjadi lebih inklusif dan terbuka untuk masyarakat umum.

Baca Juga:  Cak Nun; Cendekiawan dan Budayawan yang Aktif Berdakwah Lewat Buku

Forum ini adalah wujud atau bentuk respons Cak Nun atas banyaknya permintaan masyarakat agar bisa bertemu dan berdialog dengannya. Maka, dibuatlah sebuah wadah pertemuan kultural sebulan sekali di Menturo, Jombang,  pada 1992. Apa yang membedakan Padhang Mbulan dengan pengajian lain yang serupa adalah tafsir kontekstual atas Alquran dan dekonstruksi pemikiran yang dibawa oleh Cak Nun.

Forum kecil inilah kemudian berkembang megikuti perkembangan zaman menjadi apa yang kini disebut sebagai Jamaah Maiyah. Maiyah adalah derivasi dari kosakata Arab ma’a yang artinya bersama atau kebersamaan.

Cak Nun dan para pegiat Maiyah pun membentuk forum ini sebagai wadah agar bisa saling belajar. Ia tidak bermaksud membuat forum advokasi, tapi lebih dari itu, ia mengajak orang untuk bersama-sama memecahkan suatu masalah sosial yang ada.

Forum pertama Maiyah yang didirikan Sang Kiyai Mbeling ini pun diselenggarakan di Jakarta dan diberi nama Kenduri Cinta pada tahun 1998. Dari sanalah, forum Maiyah kemudian menyebar sampai ke beberapa kota.

Baca Juga:  Kesaksian Gus Mus: Gus Dur yang Tak Punya Dompet

Beberapa pengajian di berbagai kota tersebut adalah: Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang, Bangbang Wetan di Surabaya, Obor Ilahi di Malang, Paparandang Ate di Sulawesi Selatan, Tali Kasih di Bandung, dan Tombo Ati di Surakarta.

Sang Kiai Mbeling berhasil menggabungkan antara semangat sosial dan Islam. Hal inilah yang menjadikan Emha Ainun Nadjib menjadi seorang seniman yang unik hingga sekarang. Tanpa kenal kompromi dengan penguasa, ia telah melawan orang terkuat di negerinya, namun tidak ada pintu yang tertutup baginya.

Spektrum ideologi Sang Kiai Mbeling telah mewarnai wacana keislaman dan memberikan kontribusi penting bagi peradaban Islam khususnya di Indonesia.

Ayu Alfiah