Belajar Tasawuf: Falsafah dari Pohon Tebu (manTeb ing kalBu)

falsafah tebu

Pecihitam.org – Saya sering mendengarkan, sebuah pesan-pesan moral yang disampaikan seorang guru kepada para muridnya. Pesan tersebut terkadang lewat cerita pendek yang bersahaja dan mudah untuk dipahami, malah bukan dengan dalil-dalil yang njilmet (ruwet).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Disamping cerita pendek, tidak jarang juga menyampaikan tamsilan-tamsilan (analogi) tentang hakikat dan makrifat dalam bentuk yang sederhana. Sehingga bisa diterima oleh semua kalangan baik murid lama maupun yang baru belajar thariqat. Salah satu cerita menarik yang bisa membuka hati adalah tentang falsafah Tebu.

Tebu dalam bahasa jawa punya falsafah yang dalam. Tebu, “manTeb ing Kalbu” maknanya adalah mantabnya jiwa atau ketetapan hati. Suatu ketika seorang guru bertanya kepada murid-muridnya,

“Siapa diantara kalian yang belum pernah melihat tebu?” begitulah guru itu membuka cerita, setelah terlebih dahulu menyampaikan puji-pujian kepada Allah Swt dan shalawat kepada Nabi Saw beserta para sahabat dan pengikut-pengikutnya, serta kepada seluruh auliya-auliya akbar mursyid Tarekat-nya.

Guru tersebut selalu mengingatkan kepada Murid-muridnya bahwa para Nabi dan para Wali itu tidak pernah mati, mereka hanya berlindung disisi Allah SWT. Kemudian sang guru bertanya lagi,

Baca Juga:  Suluk, Model Pendidikan Spiritual Jalan Menuju Ma'rifatullah

”Kalau kalian perhatikan tebu, bagian mana yang paling manis, ujungnya atau pangkalnya?”. Serentak murid-murid Beliau menjawab, “Pangkalnya Guru!”.

“Benar, tebu itu yang manis adalah pangkalnya semakin ke ujung maka akan semakin hambar. Coba kalian perhatian tebu apabila ditiup angin. Bagian yang bergoyang mengikuti arah angin adalah pucuknya.

Kalau angin datang dari timur maka dia akan menghadap kebarat begitu juga sebaliknya. Kalau angin datang dari utara maka ujung tebu akan mengikuti arah angin menuju ke selatan. Bagian ujungnya itu tidak ada pendirian, terombang ambing menurut keadaan.”

Sang Guru kemudian diam sejenak, lalu beliau kembali melanjutkan nasehatnya, “Begitulah gambaran orang yang belum menemukan seorang pembimbing rohani, dia akan terus menerus mencari kebenaran tanpa batas waktu padahal umur yang diberikan Tuhan hanya sebentar.

Apabila ia dengar ada ulama A disana keramat maka dia akan ke ulama A, besoknya didengar lagi ada kiai B sangat hebat maka ia mendatangi kiai B. Orang yang demikian itu ibarat buih dilautan, yang akan mengikuti arus laut dan tidak pernah mempunyai pendirian.”

Baca Juga:  Al-Hallaj: Biografi dan Pemikirannya Tentang Hulul

“Seseorang yang telah menemukan kebenaran tidak akan pernah bisa digoyahkan oleh apapun, dia teguh pendirian ditempatnya seperti pangkal tebu dan tetap istiqamah dijalan yang ditempuhnya. Inilah orang-orang yang telah diberikan pencerahan dan dibukakan hijab oleh Tuhan”

Begitulah sang Guru bercerita tentang falsafah tebu. Kisah ini seharusnya memgugah hati dan jiwa kita, betapa nasehat yang guru tersebut sampaikan banyak terjadi pada diri kita yang masih menjadi ujung tebu dan terombang ambing oleh angin.

Bahkan mungkin kita sering mencari sesuatu namun tidak mengerti apa yang sebetulnya kita cari. Sehingga sekian banyak orang kita jumpai namun tidak membuat diri kita menemukan ketenangan hati apalagi menemukan Tuhan.

Itu sebabnya sangat penting bagi kita semua untuk menemukan guru, ulama pewaris para nabi yang sebenarnya, sebagai pembimbing jiwa menuju ma’rifatullah. Cukuplah hari ini kita menjadi ujung tebu yang terombang-ambing.

Semoga Allah Swt membukakan hijab bagi kita untuk menyaksikan kebesaran-Nya dan rawatlah biji dzikir yang telah ditanam dalam Qalbu sehingga nanti akan tumbuh subur, berbuah dan bisa dinikmati oleh sekalian manusia dimuka bumi.

Baca Juga:  Tasawuf Pamoring Kawulo Gusti dalam Wirid Hidayat Jati Ronggowarsito

Tak lupa tebarkanlah selalu salam dan kebajikan kepada seluruh umat manusia sebagai bagian dari sikap bakti kita kepada Guru dan sebagai bagian dari amal ibadah kita kepada Allah Swt.

Dan semoga Tuhan Pencipta alam senantiasa memberikan kesehatan, keselamatan dan umur panjang kepada para Ulama pewaris Nabi, agar mereka bisa terus membimbing dan menuntun kita yang dhoif ke jalan-Nya. Amiin yarabbal’alamin.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik