Pecihitam.org – Faktanya banyak Fatwa Al-Albani yang sering berlawanan dengan para salaf dan pakar Islam. Al-Albani dan kelompoknya mengartikan penyerupaan Allah Swt. secara Dzhahir teks dan tidak boleh ditakwil, misalnya, firman Allah Swt. dan hadis mutasyabihat yang menyebutkan betis, kaki, ketawa, turun, di langit dan sebagainya.
Al-Albani berkata, “Kami sangat meyakini umumnya juru takwil bukanlah orang kafir yang pura-pura beriman, akan tetapi sesungguhnya mereka (juru takwil) benar-benar mengutarakan perkataan orang-orang kafir yang pura-pura beriman. Ia juga berkata, ‘Takwil adalah puncak (pemikiran) mazhab yang mengingkari sifat-sifat Tuhan.’” (Fatawa Al-albani hal.522-523, Muktashorul Uluwwi hal. 23 dan berikutnya).
Golongan anti takwil ada lagi yang berkata, “Mentakwil itu boleh secara global, kecuali apa yang berkaitan dengan Allah dan sifat-sifatNya, maka tidak ada penakwilannya.”
Padahal, metode takwil sudah dilakukan oleh sahabat senior Abdullah bin Abbas r.a, dan diriwayatkan para pakar Islam. Kelompok wahabi-salafi sering berlawanan dengan paham para sahabat, salaf dan kholaf. Sudah tentu ada ulama-ulama yang memuji Syekh Albani ini, tapi mereka semuanya semazhab dan serumpun.
Mengenai Tawasul, Albani lebih extrem lagi, dia mengatakan; “Saya katakan kepada mereka yang bertawasul dengan wali dan orang saleh bahwa saya tidak segan sama sekali menamakan dan menghukum mereka sebagai Sesat dari kebenaran. Tidak ada masalah untuk menghukum mereka sebagai sesat dari kebenaran dan ini sejalan dengan firman Allah kepada nabi Muhamad sebagai sesat dari kebenaran, sebelum turunnya wahyu Ad-Dhuha [93] :7.” (Fatawa Al-Albani hal.432).
Al-Albani menafsirkan surah Ad-Dhuha:7 bahwa Rasulallah Saw. yang sesat, padahal tidak ada para mufassirin yang menafsirkan seperti Imam mazhab wahabi-salafi ini. Para Mufasirin tidak menisbatkan kata Dhollan diayat ini, kepada Rasul Saw., sebagai seorang yang sesat. Nabi Muhamad Saw. tidak pernah sesat dari kebenaran baik sebelum masa kenabian maupun sesudahnya. Para mufassirin menafsirkan bahwa beliau Saw. ketika itu belum mengetahui kandungan isi Al-Quran dan kitab lainnya, kemudian diberi petunjuk dan jalan keluar oleh Allah Swt. Beginipun pula, menurut tafsiran Imam Qurtubi.
Dalam Al-quran dan terjemahannya, dikeluarkan oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Dept. Agama RI thn. 1979/1980 yang diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, diartikan sebagai berikut: “Dan Dia mendapati kamu (Muhamad) sebagai seorang yang bingung (kebingungan untuk mendapatkan kebenaran, yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah Swt. menurunkan wahyu [petunjuk] kepada Muhamad Saw.), lalu Dia memberikan petunjuk”. Jelas, kata Dollan pada ayat Ad-Dhuha:7 itu, bukan diartikan bahwa junjungan kita Muhamad Saw. sebagai orang yang sesat!
Fatwa Al-Albani menyebutkan, “Tawasul dengan zat Nabi dan menjadikan istighotsah (minta bantuan) kepada selain Allah adalah Syirik!’ (At-Tawasul hal.25, hal.70 dan 74).
Padahal, imam Bukhori dalam sahihnya–kitab zakat bab barang siapa meminta minta kepada manusia untuk memperbanyak harta–meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar bahwa Rasulallah Saw. bersabda, “Sesungguhnya matahari kelak pada hari kiamat dekat, sehingga keringat sampai separuh telinga. Ketika mereka dalam keadaan seperti itu, mereka beristighotsah kepada Adam, kemudian kepada Musa, kemudian kepada Muhamad”
Tawasul dan Istighotsah artinya sama, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidh Al-Lughowi (ahli bahasa) Taqiyudin As-Subki. Imam as-Suyuti berkata, tentang pribadi As-Subki: Sungguh dia adalah Hafiz mujtahid Lughowi, Faqih (ahli fiqih) ushuli (ahli usuluddin) ahli nahwu dan ahli tauhid.
Hadis syafa’at diriwayatkan oleh imam Bukhori dengan dua lafaz. Lafaz yang pertama ialah yang tersebut diatas dari Ibnu Umar dan yang kedua, dari Anas bin Malik dengan Lafaz istisyfaa’ (permohonan syafaat) dan konteksnya ialah, Fasyfa’ lanaa ‘inda Rabbana. (Berilah kami syafaat disisi Tuhan kita). Dari dua riwayat diatas ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sesungguhnya istighotsah itu adalah tawasul dan tawasul itu adalah istighotsah!
Salah satu fatwa Al-Albani juga mengingkari pemberian nama Izroil—malaikat Pencabut nyawa. Dia berkata; ‘Sesungguhnya pemberian nama malaikat Maut dengan Izroil sebagaimana tersebar di kalangan manusia, itu tidak ada sumber asalnya. Itu termasuk dari Israiliat (ceritera-ceritera bohong yang dibuat oleh Bani Israel)’. Al-Albani menyalahi ijma’ para pakar islam berikut ini;
Al-Hafidh Ibnu Jauzi Al-Hanbali–dalam sebagian karyanya–menyebut malaikat Maut itu namanya Izroil (Ismail bin Katsir Al-Qurasyi dalam tafsirnya jilid 3 hal.458 mengatakan, malaikat maut dalam atsar dikenal dengan nama Izroil).
Al-Qodhi Iyadh dalam kitab Asy-Syifa 2/303 telah menukil ijma’ para ulama bahwa nama malaikat Maut adalah Izroil.
Sebenarnya dalil ijma’ ini saja sudah cukup untuk menjawab kesalahan Al-Albani. Sabda Rasulallah Saw dari Abu Mas’ud Al-Badri, “Dan kamu harus berjamaah (menerima ijma’), karena sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umat ini bersepakat atas kesesatan.” (Muwafa qotul Khobar Al-Khobaru 1/115). Hadis yang senada juga disampaikan oleh Rasulallah Saw., “Umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan”.
Al-Albani mengutip beberapa riwayat hadis dan mengatakan orang harus membaca salam kepada Rasulallah Saw. dalam tasyahud, “Assalamu alan Nabi” (Salam sejahtera semoga di limpahkan atas Nabi), sebagai ganti, “Assalamu alaika ayuhan Nabiyyu warahmatullahi wa barakatuh” (Salam sejahtera, rahmat dan berkah Allah semoga tetap tercurahkan atasmu wahai Nabi). Alasannya, waktu Nabi Saw masih hidup boleh mengatakan, assalamu alaika….tetapi setelah wafatnya beliau, harus mengucap kan Assalamu alan Nabi …
Padahal, kalau kita membaca tulisan para Salaf dan pakar hadis, ucapan salam kepada Nabi Saw. dalam tasyahud adalah Assalamu alaika ayyuhan nabiyyu.…..baik beliau masih hidup maupun setelah wafatnya.
Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Ibnu Zubair mengajarkan kepada segenap manusia diatas mimbar setelah wafatnya Nabi Saw, at-Tasyahud dengan lafal yang masyhur, yang didalamnya terdapat lafal ‘Assalaamu ‘alaika ayuhan Nabiyyu warahmatullahi wa barakatuh”.(lihat Ath-Thohawi dalam syarh Ma’aani Al-Aatsar 1/264, Al-Baihaqi dalam sunannya 2/142 dan Malik dalam Al-Muwattha kitab shalat bab tasyahud dalam shalat).
Begitu juga bisa kita baca kitab-kitab fiqih para pakar hadis, lebih mudahnya baca kitab fiqih empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali [r.a]) oleh Allamah Syeikh Muhamad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi. Di kitab ini ditulis bahwa bacaan salam dalam tasyahud, adalah “Assalamu alaika ayyuhan Nabiyyu….”
Itulah beberapa Fatwa al-Albani yang bertentangan dengan pendapat para Ulama Salaf dan Pakar Islam. Pertanyaannya kemudian, Bagaimana bisa salafi-wahabi mengklaim diri mereka sebagai Pengikut salafushsholeh jika fatwa-fatwa Ulama panutannya justru banyak bertentangan dengan para Ulama Salaf. Wallahu a’lam bishshowab
(A shihabuddin/tabarruk.jouwweb.nl)
- Mengenal Imam Abu al-Hasan al-‘Ijli Pengarang Kitab al-Tsiqat - 09/03/2024
- Menteri Agama RI Luncurkan PMB PTKIN 2024 - 20/01/2024
- Gagasan tentang Pluralisme Menurut Para Sufi, Filsuf dan Faqih - 18/01/2024