Pecihitam.org – Adalah Syaikh Khajandi menulis kitab Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Mazhab in Mu‘ayyan Minal Madzahibil Arba’ah. Dalam kitab itu, ia menyatakan bahwa orang-orang yang taklid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. Mereka ini, telah memecah belah agama, sehingga menjadi beberapa golongan. Mereka inilah, yang dimaksudkan firman Allah Swt. dalam surah At-Taubah: 31, “Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka, sebagai Tuhan selain Allah”. Dan firman Allah pada surah Al-Kahfi:103-104, “Katakanlah (wahai Muhamad), Maukah kalian Kami tunjukkan tentang orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya.”
Pernyataan ini, kemudian diikuti oleh kalangan Wahabi-Salafi dengan menyatakan bahwa bermazhab—mengikuti salah satu dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) atau imam mazhab lainnya, adalah bid‘ah. Bahkan, sempat juga keluar fatwa kafir. Dalam Kutub al-Musyaddiah–salah seorang ulama pendukung pikiran ini–menyatakan:
“Sesungguhnya, ilmu fiqih dan syariat Islam yang banyak diajarkan selama ini dengan susah payah itu, sebenarnya hanyalah buah pikiran para imam mazhab tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Quran dan Sunnah. Empat mazhab itu, adalah suatu bid‘ah yang diadakan dalam agama Islam, serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab empat imam ini, ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran.”
Baca juga: Muhaddits Wahabi, Syekh Al-Albani Sederajat dengan Imam Bukhari?
Syaikh Khajandi dan orang-orang yang sefaham dengannya sedemikian keterlaluan. Tidak hanya mengkafirkan para pengikit mazhab, sang Syaikh juga merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam mazhab. Syaikh ini, sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam. Ia sedemikian mudah menyesatkan atau mengkafirkan kaum Muslim, yang tidak sefaham dengan mereka.
Berikut dikutipkan sebagian isi kitab Syaikh Khajandi, yang cenderung arogan itu. Kutipan ini, diambil dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Dikutipkan juga dalil-dalil sang Syaikh tentang kesesatan dan kebodohan kaum Muslim yang bertaklid kepada imam mazhab. Selain itu, kami kutipkan juga jawaban DR. Muhamad Sa’id Ramdhan Al-Buuti–rahimahullah–dalam kitabnya ‘Al-laa mazhab iyyah Akhthoru bid‘ah tuhaddidus syariatal Islamiyyah’ .
Syaikh Khajandi berkata:
Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana. Ia dapat dengan mudah dimengerti oleh orang arab atau Muslim manapun. Dasarnya adalah:
Pertama, hadis Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulallah Saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulallah menjawab, dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu!
Kedua, hadis tentang seseorang, yang mendatangi Rasulallah Saw. seraya berkata: ‘Wahai Rasulallah, tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulallah Saw. bersabda: ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”…sampai akhir hadis.
Ketiga, hadis tentang seseorang yang datang dan mengikat ontanya di masjid Rasulallah Saw., kemudian masuk menghadap Nabi Saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.
Sang Syaikh menegaskan, Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum sederhana. Ia dapat dengan mudah difahami oleh setiap muslim, arab ataupun non arab. Hal ini karena setelah Nabi Saw. menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi.
Ini membuktikan, rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah. Untuk memahaminya, menurut sang Syaikh, tidaklah sampai diperlukan taklid kepada seorang imam, atau menetapi seorang mujtahid. Sang Syaikh menegaskan, ‘Mazhab-mazhab yang ada, tidaklah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk mengikutinya’. “
Dr. Sa’id Ramdhan al-Buti mengomentari ucapan Syaikh Khajandi di atas sebagai berikut:
Seandainya benar, hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulallah Saw. kepada orang arab badui (pedusunan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab shahih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan hadis yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin. Begitu juga Rasulallah pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah Swt. Dan itu terjadi selama beberapa hari.
Penjelasan Rasulallah tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama, membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit. Sedangkan yang terakhir, membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin.
Karena itulah, utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu, selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban kewajibannya. Maka, diutuslah Khalid bin Walid ke Najran, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Muaz bin Jabal Ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash ke Tsaqif.
Para sahabat ini diutus kepada orang-orang yang sekelas (sederajat ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syaikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulallah Saw.
Memang pada masa awal Islam, permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum Muslim saat itu masih sedikit. Akan tetapi, masalah ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat-istiadat yang tidak ada sebelumnya. Terhadap semua masalah ini, haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Quran, Hadis, Ijmak ataupun Qiyas (analogi). Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya, tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini.
Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam mazhab dan orang-orang setaraf mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syaikh Khajandi itu bisa mengatakan: “Adapun mazhab-mazhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu”.
Ucapan Syaikh, ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert. Sang orientalis dengan sombong dan kasar mengatakan: “Fiqih Islam yang ditulis oleh para imam mazhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimewa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Quran dan Sunnah.”
Rasulallah Saw. telah mengutus para sahabat yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum. Mereka bertugas mengajarkan hukum-hukum Islam, menjelaskan tentang haram-halal dan berbagai hal detail lainnya kepada ummat. Telah menjadi kesepakatan, mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Quran dan Hadis . Rasulallah Saw. pun menyetujui kesepakatan mereka itu.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi Saw. mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman, beliau Saw. bersabda:
“Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi satu perkara?” Mu’az menjawab: “Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Rasulallah Saw. kembali bertanya: “Jika tidak ada dalam Kitabullah..?” Mu’az menjawab: “Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah”. Rasulallah bertanya lagi: “Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…?” Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapatku, dan saya tidak akan melebihkannya”. Mu’az berkata: “Rasulallah pun akhirnya menepuk-nepuk dada saya, dan bersabda: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhai olehnya’”.
Inilah ijtihad dan pemahaman ulama dari kalangan sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya di tengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhamad Saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa mazhab-mazhab itu adalah ijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya?
Baca juga: Inilah Alasan Mengapa Aswaja Mengikuti Imam Mazhab
Dengan demikian, hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syaikh Khajandi. Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yang berkenaan dengan berbagai sisi-sisi kehidupan. Baik kehidupan pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Baik secara langsung melalui dalil zhahir, yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi, maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath. Kalau benar, hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syaikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulallah Saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?
Di bagian lain, Syaikh Khajandi berkata:
Bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma‘shum (terjaga) dari kesalahan. Adapun, mengikuti imam-imam mazhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma‘shum yakni Al-Quran dan Sunnah, kemudian pindah mengikuti yang tidak ma‘shum yakni imam-imam mazhab itu. Kedatangan mazhab-mazhab yang empat itu, hanyalah untuk menyaingi mazhab Rasulallah Saw..
DR. Sa’id Ramdhan al-Buthi menjawab atas ucapan-ucapan Syaikh ini sebagai berikut:
Ma‘shumnya Al-Quran adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma‘shumnya sunnah atau hadis adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi Saw. melalui hadisnya itu. Adapun pemahaman manusia terhadap Al-Quran dan hadis itu sangatlah jauh dari sifat ma‘shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam. Kecuali nash-nash Al-Quran dan hadis yang termasuk dalil-dalil qath’i (pasti), dan yang membahasnya adalah orang-orang arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa arab, maka kema‘shuman pemahamannya itu lahir dari kegath’iyan (kepastian) dalil tersebut.
Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Quran dan hadis adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan di atas, maka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma‘shum. Apa lagi pemahaman orang-orang awam.
Lalu apa artinya, seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taklid dengan alasan bahwa Al-Quran dan Hadis bersifat ma‘shum? Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma‘shûm diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya..? Padahal, ketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema‘shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi.
Syaikh Khajandi juga melalui ucapannya itu jelas berprasangka bahwa ijtihad yang dilakukan oleh para imam mazhab itu tidak berasal dari sumber Al-Quran dan Hadis. Asumsi ini mendorong kesimpulan bahwa mazhab-mazhab tersebut berseberangan dengan mazhab Rasulallah Saw., Syaikh Khajandi yakin, kemunculan mazhab-mazhab itu hanyalah untuk menyaingi mazhab Rasulallah Saw. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan!
Syaikh Khajandi berkata:
“Tidak ada dalil yang menetapkan, jika seseorang wafat dia akan ditanya di dalam kuburnya tentang mazhab dan aliran!”
Mengomentari ucapan ini Dr. Sa’id Ramdhan al-Buthi berkata:
Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat di dalam kubur. Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyariatkan. Itulah konsekuensi dari ucapan Syaikh yang gegabah.
Padahal, dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya di dalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain. Walau pun demikian, masalah tersebut, dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita.
Jadi, walaupun masalah taklid kepada salah satu mazhab diantara mazhab-mazhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua malaikat di dalam kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam bertaklid kepada seorang imam sangatlah valid dan logis, sebagaimana nanti akan di uraikan secara lebih rinci.
Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh seluruh ulama dan kaum muslimin, kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum muslimin, jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam kubur mereka.
Kalau Syaikh Khajandi itu menghujat mazhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya mazhab yang empat? Apa bedanya mazhab imam yang empat ini dengan mazhab Zaid bin Tsabit, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin Abbas dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam? Apa perbedaan mazhab yang empat ini dengan mazhab ahlu al-ra’yi di Irak dan mazhab ahlu al-hadis di Hijaz dan pelopor berdirinya dua mazhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi‘in yang terbaik ?
Baca juga: SERU!! Dialog Santri Sunni vs Wahabi Tentang Dalil Qiyas Dalam Ibadah
Bukankah mereka yang mengikuti imam mazhab yang empat dan mazhab-mazhab yang tersebut di atas adalah juga termasuk para mukallid? Apakah Syaikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah mazhab itu puluhan. Bukan hanya empat. Dan semuanya bertentangan dan menyaingi mazhab Rasulallah Saw.? Ataukah Syaikh ini akan berkata, mazhab-mazhab yang keluar dari agama dan memecah-belah mazhab Rasulallah hanyalah mazhab yang empat itu, sedangkan mazhab-mazhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama mazhab Rasulallah Saw.?
Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syaikh Khajandi. Namun, yang jelas, dari kedua pernyataan terakhir di atas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan. Wallahua’lam
- Mengenal Imam Abu al-Hasan al-‘Ijli Pengarang Kitab al-Tsiqat - 09/03/2024
- Menteri Agama RI Luncurkan PMB PTKIN 2024 - 20/01/2024
- Gagasan tentang Pluralisme Menurut Para Sufi, Filsuf dan Faqih - 18/01/2024