Filsafat sebagai Warisan Islam yang Mengagumkan

Filsafat sebagai Warisan Islam yang Mengagumkan

Pecihitam.org – Sejarah telah mencatat bahwa Filsafat Islam merupakan salah satu capaian gemilang yang pernah diraih kaum muslimin. Selain sains dan ilmu kedokteran, Filsafat Islam telah memberikan sumbangsih yang besar bagi lahirnya peradaban dunia modern. Sementara bagi kaum muslimin, karena ia adalah suatu capaian intelektual yang khas, layaklah mereka memandang filsafat sebagai warisan Islam untuk umatnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun kenyataannya tidaklah demikian. Filsafat memang bukanlah bidang yang populer di kalangan umat Islam. Kajian-kajian filsafat Islam relatif kurang mendapat perhatian dan generasi muda muslim nampaknya tidak tertarik bergelut dalam studi filsafat Islam.

Pamornya kalah jauh dari Fiqih yang memang telah menjadi perhatian utama karena dalam konsepsi umat Islam sejak awal sejarahnya hukum pada hakikatnya religius dan karena itu hukum bersumber dari dan merupakan bagian dari tuntunan ilahi bagi manusia (syari’ah) (Fazlur Rahman, terjemahan oleh Irsyad Rafsadie, 2017: 94).

Selain itu, Muhammad Abid al-Jabiri dalam Takwin al-‘Aql al-‘Arabiy (terjemahan oleh Imam Khoiri, 2014: 142) mengatakan bahwa “peradaban kita (Arab-Islam) adalah peradaban Fiqih (hadharah al-fiqh).”

Hasilnya, Filsafat Islam terlihat tidak mengalami perkembangan yang berarti setelah ia sempat berada di puncak popularitas di tangan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.

Yang terakhir ini dikenal secara umum sebagai filosof muslim terakhir, meski di kalangan Islam Syi’ah filsafat terus hidup melalui Mulla Shadra, Nashir al-Din al-Thusi dan lain-lain.

Meski pasca Ibnu Rusyd muncul nama-nama seperti Ibnu ‘Arabi dan di era kontemporer ada Muhammad Iqbal, Muhammad Arkoun dan Muhammad Abid al-Jabiri, namun mereka justru lebih dikenal sebagai sufi dan para pemikir ketimbang filosof.

Banyak analis menduga bahwa Tahafut al-Falasifah al-Ghazali berperan besar dalam kemunduran filsafat Islam, tapi kita dapat melihat bahwa sejak awal kehadirannya filsafat Islam telah ditentang, khususnya oleh kalangan teolog atau para ahli kalam (mutakallimun) dan fuqaha.

Baca Juga:  Orisinalitas Filsafat Islam (1): Kritik Ibnu Rusyd terhadap al-Farabi dan Ibnu Sina

Kecaman mereka terhadap filsafat Islam adalah mengenai sumbernya yang berasal dari luar Islam yang ditengarai akan mengancam kelestarian aqidah Islam dan kemurnian Fiqih.

Dengan demikian, semangat eksklusivisme ini sudah ada sejak masa klasik dan mewarnai persentuhan ortodoksi Islam dengan budaya-budaya asing hingga hari ini.

Filsafat Yunani melalui pengaruh kebudayaan Hellenisme di Suriah, juga pengaruh dari India dan Persia, tak dapat dipungkiri memang menjadi sumber khazanah filsafat Islam.

Para filosof muslim awal bahkan dikenal sebagai komentator-komentator pemikiran filosofis Aristoteles dan Plato, serta banyak menimba inspirasi dari Neo-Platonisme.

Namun dalam upaya membela filsafat Islam para filosof berdalih bahwa mereka telah berhasil membangkitkan dan mengangkat kembali warisan kuno yang telah lama hilang.

Joel L. Kraemer dalam Humanism in the Renaissance of Islam: The Cultural Revival During the Buyid Age (terjemahan oleh Asep Saefullah, 2003: 27-28) menyebutkan bahwa para filosof menemukan filsafat Yunani sebenarnya diambil dari kebijaksanaan di Timur Dekat.

Al-Farabi, misalnya, mengatakan bahwa filsafat telah ada sejak zaman kuno di kalangan bangsa Kaldea di Irak, lalu dipelajari oleh orang-bangsa Mesir, dan dari sana filsafat ditransfer ke dalam kebudayaan Yunani.

Filsafat kemudian berkembang dan tersebar kembali dari Yunani ke Suriah dan melalui perantaraan Suriah-lah filsafat dipelajari oleh bangsa Arab selama masa pemerintahannya.

Para filosof bahkan menyatakan bahwa orang-orang Yunani mempelajari kebijaksanaan tersebut dari para Nabi dan orang-orang luhur di Timur.

Empedokles, misalnya, dikatakan telah belajar dari Luqman al-Hakim di Syro-Palestina, pada masa Nabi Daud. Phytagoras pernah belajar fisika dan metafisika dari murid-murid Sulaiman di Mesir.

Studi filsafat Yunani oleh bangsa Arab-Islam karena itu lebih berupa renovasi daripada penemuan. Dengan demikian, mengadopsi filsafat Yunani bukan berarti mengadopsi sesuatu yang berasal dari luar Islam, melainkan memperbarui kebijaksanaan kuno yang universal.

Selain argumen revisi kebijaksanaan kuno ini, para filosof muslim juga membela filsafat mereka dengan menyatakan bahwa al-Qur`an dan Hadits adalah sumber dan inspirasi Filsafat Islam. Di dalam al-Qur`an terdapat istilah-istilah yang menunjukkan suatu kegiatan berfikir (tafakkur) untuk memperoleh kebenaran.

Baca Juga:  Penjelasan Dalil Taqdir Muallaq Menurut Beberapa Ulama

Selain kata “hikmah”, ada pula kata “al-haqiqah” yang menunjukkan signifikansi yang sangat erat antara filsafat dengan wahyu agama. Kata ini berarti kebenaran dan realitas, yang berhubungan erat dengan Tuhan, sebab ia adalah salah satu dari nama Tuhan yang baik (asma al-husna), yakni al-Haqq (Seyyed Hossein Nasr, terjemahan oleh tim, 2003: 39).

Terlepas dari argumen-argumen pembelaan para filosof di atas, filsafat Islam merupakan suatu produk intelektual dari langkah strategis peradaban Islam.

Oliver Leaman (dalam Farhad Daftary [ed.], terjemahan oleh Fuad Jabali dan Udjang Tholib, 2002: 45-47) menyatakan ada dua motif yang mendorong gencarnya gerakan transmisi filsafat Yunani ke dalam dunia Islam menjelang masa keemasan intelektual Islam abad 8-13 M.

Motif pertama adalah kebutuhan akan pentingnya berdebat dengan orang-orang dari agama lain yang telah memiliki konsepsi-konsepsi keagamaan yang mumpuni, sehingga diperlukan instrumen rasional dan objektif dalam menjelaskan ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini, filsafat berfungsi untuk membela agama.

Selain itu, masyarakat Islam ketika itu terkotak-kotak dalam kelompok-kelompok yang saling berselisih, khususnya dalam bidang teologi. Maka dipandang perlu juga konsepsi-konsepsi sistematis tentang teologi yang berguna untuk “menyadarkan” lawan mereka kepada pendapatnya yang dianggap benar.

Motif kedua lebih bernilai praktis. Masyarakat muslim yang telah menguasai daerah-daerah baru untuk dikelola pemerintahan Islam menemukan kebudayaan-kebudayaan yang maju di sekitar mereka.

Orang-orang asing tersebut memiliki kehidupan berstandar cukup tinggi dibanding apa yang telah kaum muslimin alami. Orang-orang muslim pun dengan segera tertarik untuk mencari tahu apa yang membangun kebudayaan semacam itu.

Uraian-uraian ini dapat dijadikan dasar upaya merayakan kembali filsafat sebagai warisan Islam untuk umatnya. Tuduhan kelompok-kelompok konservatif dan tekstualis bahwa filsafat Islam mengancam aqidah dapat dianggap sebagai sikap paranoid dan cenderung apatis.

Baca Juga:  Alam dalam Pandangan Metafisika Islam dan Timur

Dalam perkembangannya, filsafat Islam memang mengalami perkembangan yang diskursif terhadap doktrin-doktrin agama. Sekali lagi, Tahafut al-Falasifah adalah contoh paling terkenal tentang perselisihan antara agama dan filsafat.

Tapi kemudian Ibnu Rusyd berhasil memadukan keduanya sebagaimana telah dilakukan para filosof muslim awal. Lalu di tangan para filosof sesudahnya filsafat berpadu dengan teologi-sufistik yang berhasil menghadirkan filsafat yang bernuansa spiritual. Kesinambungan antara agama dan filsafat itulah yang harusnya dicerap oleh umat Islam.

Akhirnya, jelaslah kedudukan filsafat sebagai warisan Islam yang mengagumkan. Ia memadukan pemikiran rasional, agama dan spiritualitas sekaligus. Sehingga, filsafat Islam dapat menjadi alternatif bagi alam pikiran modern yang kering akan spiritualitas dan posmodern yang serba nihil.

Sumber

  • Al-Jabiri, Muhammad Abid, 2014, Formasi Nalar Arab, terjemahan dari Takwin al-‘Aql al-‘Arabiy, oleh Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD.
  • Daftary, Farhad (ed.), 2002, Tradisi-Tradisi Intelektual Islam, terjemahan dari Intellectual Traditions in Islam oleh Fuad Jabali dan Udjang Tholib, Jakarta: Erlangga, 2002.
  • Joel L. Kraemer, Joel L., 2003, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan, terjemahan dari Humanism in the Renaissance of Islam: The Cultural Revival During the Buyid Age oleh Asep Saefullah, Bandung: Mizan, 2003.
  • Nasr, Seyyed Hossein, 2003, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama), terjemahan dari History of Islamic Philosophy oleh Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003.Rahman, Fazlur, 2017, Islam, terjemahan oleh Irsyad Rafsadie, Bandung: Mizan.
  • Rahman, Fazlur, 2017, Islam, terjemahan oleh Irsyad Rafsadie, Bandung: Mizan.
Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *