Gagasan Islam Kebangsaan Ala KH Achmad Shiddiq

Gagasan Islam Kebangsaan Ala KH Achmad Shiddiq

Pecihitam.org – Salah satu problem yang dihadapi oleh dunia muslim terkini adalah tentang penerimaannya terhadap bentuk tatanan politik modern. Sebagian dari komunitas muslim masih memiliki dilema untuk menerima suatu bentuk sistem negara bangsa, republikanisme dan demokrasi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ada anggapan pada sebagian kaum muslim kalau menerima bentuk-bentuk tatanan modern tersebut akan mengganggu kualitas keimanannya.

Maka belakangan banyak kita jumpai dari sebagian dari saudara muslim kita yang bereaksi secara antagonis terhadap bentuk tatanan politik modern tersebut.

Sebagai contoh misalnya adalah gerakan Hizbut Tahrir yang memberikan alternatifnya tatanan khilafah yang dalam tataran konsepnya masih belum matang dan terlalu memaksakan itu.

Selain itu ada gerakan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) itu. Kelompok gerakan yang pimpinannya, Abu Bakar al-Baghdadi, beberapa waktu tewas itu menolak sistem politik modern dengan alasan tidak sesuai ajaran Islam. Mereka memaksakan bahwa yang paling benar sesuai ajaran Islam adalah negara Islam.

Dalam situasi demikian ini, dimana sebagian kaum muslim yang masih mengalami dilema untuk menerima tatanan politik bahkan menolaknya mentah-mentah, perlu menimba gagasan dari KH Achmad Shiddiq tentang Islam kebangsaan ini.

Baca Juga:  Polemik Pasal “Suami Perkosa Istri” dalam UU KUHP

Sebelum memasuki gagasan dari KH. Achmad Shidiq, penting kita menelaah dahulu sketsa biografisnya. Siapa sebenarnya beliau? KH Achmad Shidiq (1926-1991) adalah Rais Aam PBNU yang terpilih pada Muktamar NU 1984 di Situbondo, Jawa Timur.

Pidato keterpilihannya saat Muktamar NU di Situbondo tersebut menjadi salah satu pidato dalam tubuh NU yang menjadi legendaris dan menjadi pondasi dasar pijakan NU terkait finalisasi dalam menerima Pancasila sebagai konstitusi negara.

Dari pidato keterpilihannya sebagai Rais Aam PBNU tersebutlah yang kemudian menjadi pijar-pijar gagasan Islam kebangsaannya KH. Achmad Shiddiq. Isi dan pemikiran yang dituangkan dalam pidato tersebut sebenarnya sudah terbentuk sewaktu KH. Achmad Shiddiq sebelum terpilih sebagai Rais Am PBNU.

Gagasan Islam kebangsaan tumbuh bersamaan dengan wacana yang beliau gelontorkan tentang perlunya NU kembali kepada khittah 1926. Wacana kembali ke Khittah NU 1926 adalah bentuk refleksi saat itu dimana NU sedang menjadi sebuah partai politik (Partai Nahdlatul Ulama/Partai NU).

Kegelisahannya adalah ketika NU menjadi partai politik kemudian terlalu sibuk dengan urusan kekuasaan dan melupakan basisnya ke akar rumput. Karena basis massa di akar rumput kurang terjamah, maka problemnya adalah kekuatan sosial kebudayaan internal warga NU menjadi lemah.

Baca Juga:  Santri, Generasi Nasionalis-Religius Indonesia

Di tengah oase di tubuh NU tersebutlah kemudian gagasan KH. Achmad Shiddiq tumbuh dan berkembang. Menurut Muhammad Mujibbudin dalam artikelnya di Islami(dot)co yang berjudul KH. Achmad Shiddiq, Pancasila dan Wawasan Kebangsaan(2017) mengatakan bahwa ada tiga pokok prinsip pemikiran KH. Achmad Shiddiq tentang Islam Kebangsaan.

Mujibbudin dengan mengutip buku Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed) dengan judul  Menghidupkan Ruh pemikiran K.H. Achmad Shiddiq, mengatakan bahwa prinsip pertama gagasan KH. Achmad Shiddiq adalah negara nasional yang didirikan bersama seluruh rakyat wajib dipelihara dan dipertahankan eksistensinya.

Kedua, penguasa yang dipilih secara sah dan demokratis harus ditempatkan pada kedudukan yang terhormat dan ditaati. Dengan catatan si penguasa tidak melakukan penyelewengan kekuasaan dan prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan dalam Islam.

Ketiga, jikalau si penguasa tersebut melakukan kesalahan dalam kebijakan politiknya, warga negara dalam memberikan kritik dan masukan harus melalui mekanisme yang konstitusional dan demokratis.

Baca Juga:  Gus Abdul Haris: Ironi Ustadz Evie, Ngajinya Ngawur Kok Ngaku Muridnya Nabi

Dari ketiga gagasan KH. Achmad Shiddiq menampakkan bahwa gagasan tersebut sejalan dengan doktrin negara bangsa, republikanisme, dan demokrasi. Jadi, proses politik melibatkan semua warga negara dan segala aktivitas kekuasaan harus sesuai prosedur yang konstitusional dan kesepakatan demokratis.

Gagasan keislaman KH. Achmad Shiddiq yang maju dan visioner tersebut sangat penting untuk dipahami oleh semua kalangan muslim, terlebih lagi bagi mereka yang masih dibutakan oleh utopianisme dan pemaksaan Islam sebagai kitab konstitusi.

KH. Achmad Shiddiq membuktikan bahwa Islam tidak bertentangan dengan tatanan politik modern yang lebih manusiawi itu. Wallahua’lam.