Gus Dur dan Kesusastraan Pesantren

Gus Dur dan Kesusastraan Pesantren

Pecihitam.org – Gus Dur merupakan manusia multidimensi dan serba bisa. Sangat sulit menyematkan identitas tunggal kepada sosok ini. Ia seorang santri, tapi di satu sisi juga kiai, di sisi lain lagi adalah politisi, di sisi lain lagi adalah intelektual, di sisi lain lagi adalah aktivis dan di sisi lain pula adalah seorang budayawan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Gus Dur pernah nyantri di banyak pesantren, namun juga pernah mengajar di Pesantren kakeknya Kiai Bisri, dan di sisi lain merupakan seorang politisi yang pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dan di sisi lainnya lagi ia adalah penulis kolom di media massa layaknya intelektual, di sisi lainnya lagi ia juga membidani berdirinya Forum Demokrasi yang menjadi wadah protes kepada Orde Baru.

Dan masih di sisi lain lagi, Gus Dur pernah menjabat sebagai salah satu juri dalam Festival Film Indonesia. Agaknya, kita saat ini sulit membayangkan ada tokoh agama dan politik yang punya kemampuan sebagai seorang kritikus film seperti Gus Dur.

Peran Gus Dur sebagai juri festival film itu jangan dibayangkan ia melakukan kolusi dan nepotisme sehingga dapat menjadi juri. Gus Dur dipilih sebagai juri karena memang pengetahuannya soal seluk beluk film sangatlah luas. Gus Mus adalah saksinya. Seringkali ia diajak Gus Dur menonton film semasa di Mesir.

Baca Juga:  Ketika Fatwa Salafi Wahabi Bergandeng Mesra dengan Misi Zionis

Jiwa seni dan budaya Gus Dur itu memang dalam. Hal ini tampak pula dari sebuah tulisannya di Koran Kompas pada tahun 1973 yang membahas tentang kesusastraan pesantren. Dalam tulisan itu, Gus Dur layaknya seorang kurator sastra, dengan lincah membahas perihal perkembangan sastra di Indonesia khususnya berkaitan dengan pesantren.

Dalam awal tulisannya Gus Dur menyinggung perihal minimnya karya sastra Indonesia yang mengangkat pesantren dalam ceritanya. Dari sekian banyak sastrawan, menurut Gus Dur hanya ada dua yang mengangkat cerita pesantren, yakni sastrawan Djamil Suherman dan Muhammad Rajab.

Kedua sastrawan tersebut banyak menulis karya sastranya di medio tahun 50-an dan 60-an. Namun, menurut Gus Dur, meski keduanya mengangkat kehidupan pesantren, namun hanya mengangkat cerita kenang-kenangan mereka semasa kecil hidup di lingkungan pesantren. Namun mereka belum berhasil mengangkat kehidupan pesantren secara lebih dalam.

Bahkan, sosok tokoh sastrawan muslim lain seperti Buya Hamka melalui karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah belum berhasil mengangkat zeigest dari kedalaman kehidupan pesantren. Menurutnya Hamka hanya mengangkat kisah tentang pengorbanan cinta saja, sehingga unsur-unsur dinamika keislaman pesantren belum terangkat.

Baca Juga:  Relasi Tafsir Al-Qur’an dalam Politik di Era Orde Baru

Menurut Gus Dur salah satu sastrawan yang cukup berhasil mengangkat kisah seputar dunia keisalaman pesantren adalah AA Navis melalui cerpennya berjudul Robohnya Surau Kami. Cerpen yang sempat menjadi kontroversi itu mengkritik cara beragama yang terlalu asyik dengan akherat sehingga lupa dengan tanggung jawab di dunia.

Karya sastra tentang keagamaan lain yang direkomendasikan Gus Dur untuk ditiru menjadi sastra pesantren adalah karya dari novelis Amerika bernama Caim Potok. Potok melalui karyanya mengangkat pergulatan batin seorang Rabi Yahudi di tengah terpaan modernitas di Amerika Serikat.

Novelnya yang berjudul My Name Is Asher Lev, saya sendiri pernah membacanya. Pergulatan batin keagamaannya sungguhlah mendalam. Di sana seorang tokoh agama Yahudi mengalami kegamangan karena anaknya yang saleh memiliki bakat melukis. Padahal, melukis dalam agama Yahudi juga dilarang.

Pergulatan antara ayah dan anak yang saleh dengan dunia kesenian itu sangat menarik sebab mampu menangkap perihal kegelisahan batin seorang yang menghayati agamanya dengan dalam. Tak heran Gus Dur merekomendasikan novel itu menjadi rujukan untuk karya sastra pesantren.

Baca Juga:  Meneladani Perdebatan Gus Sholah dengan Gus Dur Tentang Islam dan Pancasila

Gus Dur bacaan sastranya sangatlah luas dan tak bisa diremehkan. Konon, ketika zaman kulaih di Mesir, Gus Dur mengisi hari-harinya untuk membaca berbagai buku di Perpustakaan Universitas Amerika di Kairo. Di sana salah satu bacaan Gus Dur adalah sastra Eropa. Gus Dur sudah biasa membaca William Faulkner, Andre Gide, Hemingway dsb.

Maka dari situ tak heran Gus Dur punya perhatian dengan sastra pesantren, Kegelisahan Gus Dur terhadap perkembangan sastra pesantren adalah kegelisahan seorang pesantren dengan keluasan pengetahuan kebudayaan dunia. Gus Dur menempatkan lokalitas dan kedalaman pesantren di tengah perkembangan sastra Indonesia dan dunia. Wallahua’lam.