Pecihitam.org – Termasuk pertanyaan paling sulit dijawab adalah “siapa Gus Dur?” Kesukaran itu bermula sebab kita bakal terjebak subjektivitas diri ketika meneropong sosok Gus Dur. Subjektivitas ini mengandaikan setiap kita memiliki kapasitas menilai Gus Dur berbeda-beda.
Ditambah relatifitas yang menyertainya. Relativitas tersebut mengandaikan penilaian atas Gus Dur membutuhkan sudut pandang tertentu.
Memang banyak gelar yang disematkan pada Gus Dur. Tapi gelar-gelar itu saya yakin tidak secara paripurna mewakili kedirian Gus Dur.
Seperti apa yang saya tulis di artikel “Gus Dur Tak Perlu Dibela” sebelumnya, kesejatian Gus Dur boleh jadi disembunyikan Tuhan Yang Maha Sejati. Apa yang kita anggap sebagai Gus Dur mungkin bukan Gus Dur yang hakiki.
Kendatipun demikian, kita boleh sepakat bahwa Gus Dur itu kutu buku. Kegemaran Gus Dur membaca buku terlihat bagaimana beliau sangat ulung menetaskan ratusan esai populer yang, apabila kita baca, semuanya ditulis sangat rapi dan bernas.
Sebagaimana kita paham bahwa sangat mustahil penulis andal tidak gemar membaca. Gus Dur penulis produktif, beliau pembaca nomor wahid.
Munawar Ahmad, dalam disertasinya (2007) yang mendedah tulisan-tulisan Gus Dur, merilis sebanyak kira-kira 300 artikel dan 17 buku tulisan Gus Dur yang dipublikasikan sejak 1970 sampai dengan 2000.
Itu yang berhasil diinventarisir Munawar Ahmad. Mungkin masih banyak tulisan Gus Dur yang lainnya.
Soal membaca buku, seperti ketika diwawancarai Andy F. Noya pada 2008 silam, Gus Dur mengaku membaca buku sejak usia enam tahun.
“Umur enam tahun saya sudah baca. Saya disuruh ayah saya baca bahasa Arab,” urai Gus Dur. Kecintaannya pada buku juga membuat Gus Dur harus memakai kaca mata sejak usia dini.
Diterakan dalam disertasi Munawar Ahmad, buku-buku berat bacaan Gus Dur di antaranya Das Kapital (Karl Marx), What is to Be Done? (Lenin), karya-karya Ernest Hemigway, William Faulkner, William Durant, buku Biografi Presiden Amerika (Henry S. Truman), dan buku Biografi Mahatma Ghandi.
Termasuk juga al-Islam wa al-Ushul Hukm (Ali Abdu al-Raziq), Ethica Nicomachea (Aristoteles), dan tentu literatur Islam khususnya buku tasawuf semisal karangan al-Ghazaly dan Ibnu Athaillah al-Sakandary.
Menariknya, dari bacaan-bacaan Gus Dur di atas ternyata beliau membaca karya tokoh yang dianggap paling berpengaruh atas berdirinya Partai Komunis di dunia, yakni Karl Marx. Hal mana dalam beberapa buku biografi Gus Dur, menyebutkan bahwa beliau membaca Das Kapital Marx ini ketika nyantri di Tegalrejo.
Dibilang menarik sebab tampaknya hingga hari ini membaca buku kiri masih dianggap berbahaya. Padahal Gus Dur membuktikan, apa bahayanya sebuah buku?
Dari ratusan, bahkan mungkin ribuan buku yang dibaca Gus Dur, buku apa yang paling berpengaruh bagi Gus Dur?
Masih dalam satu wawancara dengan Andy F. Noya, Gus Dur menjawab bahwa buku yang paling berpengaruh baginya adalah buku karya Aristoteles. Yakni Ethica Nichomachea.
Mengapa? Sebab, kata Gus Dur, kalau tidak ada buku itu boleh jadi dirinya telah menjadi seorang fundamentalis.
Secara lengkap, Mahfud MD menuliskan pengakuan Gus Dur ini dalam bukunya Gus Dur: Islam, Politik, dan Kebangsaan (2010) sebagai berikut:
“Setelah membaca buku itu saya menangis meraung-raung, karena menemukan cara memahami kemuliaan Islam justru dari buku yang lahir jauh sebelum datangnya Islam. Kalau tidak membaca buku itu, mungkin saya menjadi seorang fundamentalis.”
Wallahul muwaffiq.