Hadits Mutawatir: Pengertian dan Syaratnya

Hadits Mutawatir: Pengertian dan Syaratnya

PeciHitam.org – Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi” artinya beruntun atau beriring-iringan, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada jaraknya. Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal sanad sampai pada akhir sanad.

Dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, di antaranya ialah:

1. Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam pembahasan masalah-masalah:

  • Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas masalah shahih tidaknya, diamalkan dan tidaknya.
  • Ilmu rijal al-haditst, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits dan metode penyampaian hadits. Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib diyakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib diamalkan.
Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 503-505 – Kitab Waktu-waktu Shalat

2. Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadits dapat disebut dengan mutawatir jika memiliki kriteria-kriterianya, sebagai berikut:

  • Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi. Maksudnya hadits itu diriwayatkan oleh banyak perawi, dimana jumlah banyak ini menjadikan mereka mustahil sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang berapa jumlah perawi yang banyak tersebut, sebagai batasan minimal perawi hadits mutawatir.
  • Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya. Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus berkisinambungan atau seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. Akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.
Baca Juga:  Macam-Macam Hadits Nabi dan Definisinya

Meskipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-tiap generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan terjadinya kebohongan dalam menyampaikan hadits.

3. Berdasarkan Tanggapan Panca Indra. Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. Bukan dari mimpi atau mereka buat sendiri, kemudian menjadikan haditsnya.

Adapun contoh hadits mutawatir yaitu:

من كذب علي متعمدا فاليتبوأ مقعده من النار

“Barang siapa yang berbuat dusta pada diriku, hendaklah ia menempati neraka”

Menurut Abu Bakar al-Sairi, bahwa hadits ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 60 Sahabat. Menurut Ibnu al-Shalah hadits ini diriwayatkan oleh 62 Sahabat, termasuk 10 Sahabat yang masuk surga11. Hadits ini terdapat pada shahih Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Musnad Ahmad dan lain-lain.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 122 – Kitab Ilmu

Jumhur ulama muhaddisin berpendapat, bahwa hadits Mutawatir memberi faidah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang yang diberitakan oleh hadits Mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).

Hadits Mutawatir tidak diteliti lagi tentang keadilan dan kekuatan hafalan (dhabit) rawi karena jumlah rawi sudah menjadi jaminan untuk adanya persepakatan berdusta. Hadits Mutawatir tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadits dari segi maqbul-mardud suatu hadits.

Mohammad Mufid Muwaffaq