Hadits Shahih Al-Bukhari No. 142 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 142 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “buang hajat diatas batu bata” hadis ini menjelaskan tentang Ibnu Umar yang melihat Rasulullah saw buang hajat diatas dua batu bata dan menghadap ke baitul maqdis. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 48-52.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَمِّهِ وَاسِعِ بْنِ حَبَّانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إِنَّ نَاسًا يَقُولُونَ إِذَا قَعَدْتَ عَلَى حَاجَتِكَ فَلَا تَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَقَدْ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ وَقَالَ لَعَلَّكَ مِنْ الَّذِينَ يُصَلُّونَ عَلَى أَوْرَاكِهِمْ فَقُلْتُ لَا أَدْرِي وَاللَّهِ قَالَ مَالِكٌ يَعْنِي الَّذِي يُصَلِّي وَلَا يَرْتَفِعُ عَنْ الْأَرْضِ يَسْجُدُ وَهُوَ لَاصِقٌ بِالْأَرْضِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Malik] telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Sa’id] dari [Muhammad bin Yahya bin Hibban] dari pamannya [Wasi’ bin Hibban] dari [‘Abdullah bin ‘Umar] bahwa ia berkata, “Orang-orang berkata, “Jika kamu menunaikan hajatmu maka janganlah menghadap kiblat atau menghadap ke arah Baitul Maqdis.” ‘Abdullah bin ‘Umar lalu berkata, “Pada suatu hari aku pernah naik atap rumah milik kami, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam buang hajat menghadap Baitul Maqdis di antara dua dinding. Lalu ada seseorang yang berkata, “Barangkali kamu termasuk dari orang-orang yang shalat dengan mendekatkan paha (ke tanah)?” Maka aku jawab, “Demi Allah, aku tidak tahu.” Malik berkata, “Yaitu orang yang shalat namun tidak mengangkat (paha) dari tanah ketika sujud, yakni menempel tanah.”

Keterangan Hadis: Yang dimaksud dalam kalimat, “bahwasanya dia berkata … ” adalah lbnu Umar, sebagaimana telah dinyatakan secara tegas oleh Imam Muslim dalam riwayatnya, dan lafazh hadits ini akan disebutkan kemudian. Adapun mereka yang mengatakan bahwa yang berkata di sini adalah Wasi’ bin Habban, maka mereka telah salah. Sedang perkataan, “Maka Abdullah bin Umar berkata … ” bukanlah sebagai jawaban atas perkataan Wasi’ bin Habban. Tetapi untuk menjelaskan sebab, dimana pada perkataan sebelumnya beliau mengingkari pendapat Wasi’. Maka, pada perkataan selanjutnya beliau menjelaskan sebab pengingkaran tersebut berdasarkan apa yang dia riwayatkan dari Nabi SAW. Untuk itu dia bisa saja mengatakan “Sungguh aku telah melihat Rasulullah SAW … ” akan tetapi orang yang meriwayatkan hadits ini dari beliau (yakni Wasi’) ingin memberi penekanan dengan mengulangi perkataannya, “lbnu Umar berkata … dan seterusnya.”

إِنَّ نَاسًا (Sesungguhnya manusia) menunjukkan pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa larangan menghadap kiblat saat buang hajat adalah bersifat umum. Pendapat ini dinukil dari Abu Ayyub, Abu Hurairah, Ma’qil Al Asadi dan lainnya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 362-623 – Kitab Shalat

إِذَا قَعَدْت (Apabila engkau duduk). Disebutkannya lafazh “duduk” dalam hadits ini adalah karena umumnya orang yang buang hajat adalah duduk, tetapi pada dasarnya berdiri juga memiliki hukum yang sama seperti itu.

عَلَى ظَهْر بَيْت لَنَا (Ke atap rumah milik kami). Dalam riwayat Yazid pada pembahasan berikut disebutkan, عَلَى ظَهْر بَيْتنَا (Ke atap rumah kami).Dalam riwayat Ubaidillah bin Umar yang juga akan disebutkan pada pembahasan selanjutnya, diriwayatkan dengan lafazh, عَلَى ظَهْر بَيْت حَفْصَة (Ke atap rumah Hafshah), yakni saudara perempuan Ibnu Umar, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Muslim dalam riwayatnya.

Sedangkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dikatakan, دَخَلْت عَلَى حَفْصَة بِنْت عُمَر فَصَعِدْت ظَهْر الْبَيْت (Aku masuk menemui Hafshah, lalu aku naik ke atas atap rumah). Untuk menyatukan lafazh-lafazh hadits ini dapat dikatakan: Pada saat beliau mengatakan “rumah milik kami” adalah sebagai kata kiasan, sebab Hafshah, adalah saudara perempuan beliau sendiri.

Sedangkan pada saat beliau menisbatkan kepemilikan rumah itu kepada Hafshah dikarenakan rumah itu adalah tempat dimana Nabi SAW menempatkan Hafshah, dan kepemilikannya tetap berada di tangannya hingga beliau wafat dan menjadi salah satu harta peninggalannya. Dalam bab Al Khumus (seperlima dari harta rampasan perang), Imam Bukhari akan menerangkan faidah hadits ini lebih lanjut.

Pada saat Ibnu Umar menisbatkan kepemilikan rumah itu kepada dirinya sendiri, ha! itu didasarkan pada keadaan yang akan datang dimana beliau adalah ahli waris dari saudara perempuannya (Hafshah), sebab Hafshah tidak meninggalkan ahli waris lain yang dapat menghalangi Ibnu Umar untuk memiliki rumah itu sepenuhnya.

عَلَى لَبِنَتَيْنِ (di alas dua batu bata). Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dikatakan, “Aku memandangi Rasulullah SAW dari ketinggian, sementara beliau berada di tempat buang hajat.” Dalam riwayat lain oleh lbnu Khuzaimah dikatakan, “Aku melihat beliau sedang buang hajat dengan ditutupi atau dibatasi batu bata.” Sementara dalam riwayat Al Hakim dan Tirmidzi melalui silsilah periwayatan yang shahih disebutkan, “Aku melihat beliau SAW berada di tcmpat tertutup.”

Berdasarkan riwayat-riwayat ini maka gugurlah alasan orang yang membolehkan menghadap kiblat secara mutlak saat buang hajat, dimana mcreka mengatakan bahwa ada kemungkinan lbnu Umar melihat beliau SAW di tempat terbuka. Demikian pula perkataan mereka bahwa adanya batu bata seperti disebutkan dalam lafazh hadits tidaklah menunjukkan bahwa beliau menggunakannya sebagai pembatas, sebab bisa saja batu bata itu digunakannya sebagai tempat untuk berpijak agar berada dalam posisi sedikit lebih tinggi. Akan tetapi kemungkinan yang mereka katakan ini terbantah dengan sikap Ibnu Umar sendiri yang tidak mcmbolehkan seseorang menghadap kiblat saat buang hajat apabila berada di tempat terbuka kecuali bila ada pembatas, sebagaimana disebutkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim dengan sanad tidak apa-apa (laa ba ‘sa bihi).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 471 – Kitab Shalat

Perbuatan Ibnu Umar yang naik ke atap bukanlah bermaksud mengintip Nabi dalam kondisi demikian, akan tctapi bcliau naik kc atap karena suatu keperluan seperti ditcrangkan dalam riwayat berikut ini. Namun tiba-tiba ia sempat melihat Nabi sebagaimana yang disebutkan oleh Al Baihaqi melalui jalur periwayatan Nafi’ dari Ibnu Umar. Nasihat tanpa sengaja ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Umar, dari sini beliau sempat memetik satu hukum syariat. Seakan-akan beliau melihat Nabi SAW dari bagian belakangnya sehingga memungkinkan baginya untuk memperhatikan posisi Nabi tanpa melanggar larangan tertentu. Kejadian ini juga memberi keterangan tentang antusias yang demikian tinggi dari para sahabat untuk mengetahui kondisi Nabi agar dapat diikuti, demikian pula dengan Abdullah bin Umar.

قَالَ (Dia berkata), maksudnya adalah lbnu Umar. Sedangkan perkataan, لَعَلَّك (Barangkali engkau termasuk … ) ditujukan kepada Wasi’. Orang yang mengatakan bahwa perkataan ini berasal langsung dari Nabi SAW telah melakukan kekeliruan.

Lalu Imam Malik menafsirkan perkataan Ibnu Umar, “Orang-orang yang shalat di atas pangkal paha … ” maksudnya adalah orang-orang yang sujud dengan menempelkan perutnya ke pangkal paha. Posisi seperti ini menyalahi sifat sujud yang disyariatkan, yakni merenggangkan badan dari paha sebagaimana akan dijelaskan. Sementara dalam kitab An­Nihayah, “Perkataan Ibnu Umar itu ditafsirkan pula dengan posisi merenggangkan kedua lutut, seakan-akan beliau bertumpu pada kedua pangkal paha.”

Lalu terjadi kesulitan mengenai kesesuaian antara perkataan lbnu Umar, “Orang-orang yang shalat di atas pangkal paha … ” dengan persoalan sebelumnya. Sebagian mengatakan, “Ada kemungkinan beliau menyebutkan perkataannya ini karena orang yang sedang diajak berbicara tidak mcngerti tentang Sunnah. Sebab andaikata ia memahami Sunnah niscaya dengan sendirinya ia akan mengerti perbedaan antara buang hajat di tempat terbuka dan di tempat selain itu, atau pcrbedaan antara Ka’bah dan Baitul Maqdis. Hanya saja Ibnu Umar memakai kata kiasan bagi seseorang yang tidak mcngetahui Sunnah scbagai orang yang shalat di atas pangkal paha, karena yang melakukan hal seperti itu tidak lain pasti tidak mengerti tentang Sunnah.” Jawaban ini dikemukakan oleh Al Karmani. Akan tetapi jawaban ini terlalu dipaksakan. Karena tidak ada dalam konteks hadits keterangan yang menyebutkan bahwa Wasi’ bertanya tentang hukum buang hajat, sehingga dapat dikatakan ia tidak mengerti pcrsoalan tersebut. Lalu pada bagian akhir jawaban ini juga tidak dapat diterima, karena tidak tertutup kemungkinan orang yang mengcrti Sunnah saat buang hajat namun sujudnya tidak benar.

Menurut pandangan saya bahwa kesesuaian yang tampak dari perkataan lbnu Umar ini adalah apa yang diindikasikan pada bagian awal teks hadits ini dalam riwayat Imam Muslim, dimana disebutkan “Telah diriwayatkan dari Wasi’, ia berkata, ‘Aku pemah shalat di masjid sementara Abdullah bin Umar sedang duduk. Setelah aku menyelesaikan shalat akupun mendatanginya dari arah samping. Maka Abdullah bin Umar mengatakan, sesungguhnya manusia mengatakan …. “‘ dan seterusnya hingga akhir hadits seperti di atas.

Baca Juga:  Begini Cara Mengetahui Hadits Palsu

Ada kemungkinan Ibnu Umar melihat adanya kekeliruan cara sujud Wasi’ sehingga beliau bertanya kepadanya sebagaimana tertera dalam hadits pada bab ini. Lalu Ibnu Umar memulai dengan kisah pertama tersebut, karena hal itu adalah sesuatu yang benar-benar beliau riwayatkan dari Nabi SAW. Oleh sebab itu, cerita ini lebih didahulukan­nya daripada persoalan yang masih dalam dugaan. Tidak tertutup pula kemungkinan bahwa peristiwa ini terjadi di masa orang-orang yang berpendapat seperti apa yang bcliau nukil, sehingga beliau ingin menjelaskan hukum ini kepada tabi’in agar mereka menukil darinya hukum dalam masalah itu.

Di samping itu, tidak ada halangan bila dikatakan antara dua perkara ini tcrdapat hubungan secara khusus, yakni perkara yang satu memiliki kaitan dengan perkara lainnya, misalnya dikatakan, “Kemungkinan orang yang sujud dengan kondisi perut menempel di paha memiliki dugaan tidak boleh menghadap kiblat dengan kemaluan terbuka dalam situasi sepcrti yang telah kami jclaskan terdahulu saat membahas perkara yang menjadi inti larangan dimaksud.” Sementara kondisi dalam shalat dapat digolongkan menjadi empat bagian: Berdiri, ruku’, sujud dan duduk. Menghimpit dalam kondisi-kondisi scperti itu adalah hal yang mungkin kecuali jika seseorang merenggangkan antara kedua pangkal pahanya saat sujud. Maka dari sini Wasi’ merasa perlu merapatkan kcdua pahanya demi untuk menghimpit kcmaluannya.

Akhimya, hal ini dipraktekkannya sehingga menjadi suatu fenomena bid’ah dan sikap berlebihan dalam agama. Padahal Sunnah berbeda dengan yang seperti itu. Sebab menutup (aurat) dcngan kain telah mencukupi, sebagaimana halnya tembok telah dianggap cukup sebagai pembatas antara aurat yang terbuka dengan kiblat, seandainya kita sependapat dengan mereka yang mengatakan bahwa inti larangan itu adalah menghadapkan kemaluan dalam keadaan terbuka ke kiblat.

Setelah Ibnu Umar menceritakan kepada tabi’in mengenai hukum perkara yang pertama, beliau mengisyaratkan pula pada hukum kedua untuk memberi teguran secara halus atas kekeliruan yang ia duga dilakukan oleh sang tabi’ in dalam shalatnya. Ada pun perkataan Wasi’, “Aku tidak tahu .. ” memberi petunjuk bahwa tidak ada padanya sedikitpun perkara yang diduga oleh Ibnu Umar, maka lbnu Umar tidak bersikap keras saat mengemukakan larangan tersebut.

M Resky S