Hadits Shahih Al-Bukhari No. 150 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 150 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “tidak boleh memegang kemaluan dengan tangan kanan waktu kencing” hadis ini menjelaskan tentang larangan menghembuskan nafas di wadah minuman dan larangan memegang kemaluan dengan tangan kanan begitu pula ketika membersihkannya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 69-72.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَالَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَأْخُذَنَّ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَلَا يَسْتَنْجِي بِيَمِينِهِ وَلَا يَتَنَفَّسْ فِي الْإِنَاءِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Auza’i] dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [‘Abdullah bin Abu Qatadah] dari [Bapaknya] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jika salah seorang dari kalian kencing maka janganlah ia memegang kemaluannya dengan tangan kanan, jangan beristinja’ dengan tangan kanan dan jangan bernafas dalam gelas saat minum.”

Keterangan Hadis: Judul bab ini menunjukkan, bahwa larangan menyentuh kemaluan dengan tangan kanan secara mutlak seperti bab terdahulu hanya berlaku pada saat buang air kecil (kencing). Dengan demikian, maka selain keadaan ini diperbolehkan. Akan tetapi sebagian ulama bcrpendapat, “Larangan untuk memegang kemaluan tetap saja berlaku pada saat seseorang tidak sedang kencing, karena seseorang dilarang memegang kemaluannya saat kencing, padahal dalam keadaan demikian ia perlu melakukannya.”

Baca Juga:  Perbedaan Ulama dalam Pembagian Fase Periodeisasi Syarah Hadis

Kemudian pendapat ini dikomentari oleh Abu Muhammad bin Abu Jamrah, ia mengatakan bahwa kondisi seseorang perlu memegang kemaluannya bukan hanya pada waktu istinja’. Akan tetapi larangan itu dikhususkan pada saat seseorang buang air kecil (kencing), karena ditinjau dari segi “berdampingan dengan sesuatu menghasilkan kesamaan hukum.” Dalam artian ketika dilarang untuk istinja’ dengan tangan kanan, maka dilarang pula untuk menyentuh kemaluan.

Lalu Abu Muhammad bin Abu Jamrah berdalil tentang bolehnya menyentuh kemaluan (selain pada waktu kencing) dengan sabda Nabi SAW kepada Thalq bin Ali ketika ia bertanya tentang hukum menyentuh kemaluan, (Sesungguhnya ia adalah bagian darimu).

Hadits ini mengindikasikan bolehnya menyentuh kemaluan dalam semua keadaan. Kemudian hukum tersebut dikecualikan pada waktu buang air kecil berdasarkan hadits shahih yang disebutkan pada bab ini. Hadits yang dikutip oleh Abu Muhammad tersebut derajatnya shahih, atau minimal memiliki derajat hasan.

Untuk membantah pendapat seperti yang dikemukakan oleh Muhammad bin Abu Jamrah dapat dikatakan, “Sesungguhnya menarik dalil yang bersifat mutlak kepada dalil muqayyad (terbatas) tidaklah disepakati oleh seluruh ulama, sedangkan orang yang memperbolehkannya membuat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.” Hanya saja Ibnu Daqiq Al ‘Id memberi catatan penting bahwa titik perbedaan pendapat schubungan dengan menarik dalil mutlaq kepada dalil muqayyad (terbatas), adalah jika sumber kcdua hadits itu berbeda hingga dapat dikatakan bahwa keduanya adalah hadits yang berbeda.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 128-129 – Kitab Ilmu

Adapun jika sumber keduanya satu, Ialu perbedaannya bcrasal dari sebagian perawi hadits itu, maka menjadi keharusan untuk membawa dalil mutlaq kepada dalil muqayyad (terbatas) tanpa ada perselisihan di antara ulama. Sebab, pembatasan pada saat scperti ini masuk kategori penambahan riwayat yang dilakukan oleh orang yang ‘adil (tidak fasik), maka harus diterima.

فَلَا يَأْخُذَنَّ (Maka janganlah menyentuh). Lafazh ini sesuai dengan judul bah, yakni لَا يُمْسِك (tidak boleh memcgang). Demikian pula dalam riwayat Imam Muslim melalui jalur AI Hammam dari Yahya, diungkapkan dengan lafazh, اَلْمِسْكُ (memegang) sementara dalam riwayat Al Isma’ili disebutkan, لَا يَمَسّ (tidak menyentuh).

Riwayat Al Isma’ili ini dijadikan sebagai bahan untuk mengkritik Imam Bukhari sehubungan dengan judul bab ini, sebab Iafazh mcnyentuh lebih umum daripada Iafazh memegang. Lalu bagaimana hingga beliau berdalil dcngan makna yang lebih umum terhadap masalah yang bersifat khusus? Akan tetapi kritik ini tidak memberi pengaruh berarti berdasarkan apa yang telah kami jelaskan terdahulu.

Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama telah menetapkan hukum mengenai larangan istinja · dengan tangan yang memakai cincin bertuliskan nama Allah. Karena yang menjadi sebab larangan dalam hadits ini adalah kemuliaan tangan kanan, maka tentu tangan yang memakai cincin bertuliskan nama Allah lebih pantas untuk dimuliakan. Sedangkan riwayat yang dinukil dari Imam Malik yang menyatakan perbuatan tersebut tidak makruh, telah diingkari oleh para ulama terkemuka dalam madzhab Maliki.

Sebagian ulama ada yang mengatakan, sesungguhnya hikmah Iarangan itu adalah karena tangan kanan dipakai untuk makan. Andaikata seseorang menggunakan tangan kanannya untuk istinja’, maka sangat mungkin ia mengingatnya saat makan dan hal itu bisa menimbulkan rasa jijik.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 365 – Kitab Shalat

وَلَا يَتَنَفَّس فِي الْإِنَاء (Dan jangan pula menghembuskan nafas di wadah tempat minum). Ada kemungkinan hikmah disebutkannya hal ini mengiringi persoalan-persoalan terdahulu, karena telah menjadi akhlak kaum mukminin untuk mengikuti perbuatan Nabi SAW. Sementara beliau SAW apabila buang air kecil maka diiringinya dengan wudhu, bahkan telah dinukil riwayat yang mengatakan bahwa beliau SAW pernah meminum sisa air wudhunya. Oleh karena itu, seorang muslim berada dalam kondisi siap untuk mengikuti perbuatan tersebut.

Untuk itu Nabi SAW mengajari mereka adab minum, yaitu larangan bernafas di wadah tempat minum ketika minum, sebagaimana yang diindikasikan oleh konteks riwayat sebelumnya. Telah diriwayatkan oleh Al Hakim dari hadits Abu Hurairah, لَا يَتَنَفَّس أَحَدكُمْ فِي الْإِنَاء إِذَا كَانَ يَشْرَب مِنْهُ (Janganlah salah seorang diantara kamu menghembuskan nafasnya di suatu wadah (tempat minum) jika ia sedang minum dari wadah tersebut.) Wallahu a ‘lam.

M Resky S