Hadits Shahih Al-Bukhari No. 153-155 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 153-155 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “berwudhu satu kali, satu kali” berikutnya “berwudhu dua kali, dua kali” dan yang terakhir “berwudhu tiga kali, tiga kali” hadis ini menjelaskan tatacara dan praktek wudhu Rasulullah saw.  Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 80-87.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 153

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Zaid bin Aslam] dari [‘Atha’ bin Yasar] dari [Ibnu ‘Abbas] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu’ sekali sekali.”

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 154

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عِيسَى قَالَ حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Husain bin ‘Isa] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yunus bin Muhammad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Fulaih bin Sulaiman] dari [‘Abdullah bin Abu Bakar bin ‘Amru bin Hazm] dari [‘Abbad bin Tamim] dari [‘Abdullah bin Zaid], bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu dua kali dua kali.”

Keterangan Hadis: “Berwudhu satu kali-satu kali”, yakni membasuh setiap anggota wudhu satu kali. Penjelasan ini telah disebutkan pada bab membasuh muka dan tangan dari satu cidukan.

“Berwudhu dua kali-dua kali”, maksudnya membasuh setiap anggota wudhu dua kali. Hadits ini adalah ringkasan dari hadits masyhur yang membahas tentang sifat wudhu Nabi SAW sebagaimana akan disebutkan dari riwayat Malik dan lainnya. Akan tetapi, tidak disebutkan dalam riwayat tersebut membasuh dua kali selain pada saat membasuh kedua tangan sampai siku. Hanya saja tidak dapat diingkari bahwa An­Nasa’ i telah meriwayatkan Hadits Abdullah bin Zaid ini dari jalur Sufyan bin Uyainah, dimana disebutkan tentang rnembasuh tangan dan kaki dua kali, menyapu kepala serta membasuh muka tiga kali. Akan tetapi hadits yang kami sebutkan ini perlu dianalisa kembali, dan itu akan kami

paparkan pada pembahasan selanjutnya, insya Allah. Maka atas dasar ini, tepatnya hadits Zaid di atas disebutkan di bawah bab yang memberi keterangan tentang membasuh sebagian anggota wudhu satu kali, sebagian lagi dua kali dan sebagian yang lain tiga kali.

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi SAW berwudhu dua kali-dua kali. Ini menjadi pendukung terkuat bagi riwayat Fulaih seperti disebutkan oleh Imam Bukhari dalam bah ini. Dengan demikian ada kemungkinan hadits Zaid dalam bah ini merupakan hadits tersendiri selain hadits Malik, dimana keduanya memiliki jalur periwayatan yang berbeda, wallahu a ‘lam.

Hadits Shahih Al-Bukhari No. 155

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأُوَيْسِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَزِيدَ أَخْبَرَهُ أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ دَعَا بِإِنَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِي الْإِنَاءِ فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلَاثَ مِرَارٍ ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثَ مِرَارٍ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَعَنْ إِبْرَاهِيمَ قَالَ قَالَ صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَكِنْ عُرْوَةُ يُحَدِّثُ عَنْ حُمْرَانَ فَلَمَّا تَوَضَّأَ عُثْمَانُ قَالَ أَلَا أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا لَوْلَا آيَةٌ مَا حَدَّثْتُكُمُوهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَتَوَضَّأُ رَجُلٌ يُحْسِنُ وُضُوءَهُ وَيُصَلِّي الصَّلَاةَ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ حَتَّى يُصَلِّيَهَا قَالَ عُرْوَةُ الْآيَةَ { إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنْ الْبَيِّنَاتِ }

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 177 – Kitab Wudhu

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah Al Uwaisy] berkata, telah menceritakan kepadaku [Ibrahim bin Sa’d] dari [Syihab] bahwa [‘Atha’ bin Yazid] mengabarkan kepadanya bahwa [Humran] mantan budan ‘Utsman mengabarkan kepadanya, bahwa ia telah melihat [‘Utsman bin ‘Affan] minta untuk diambilkan bejana (berisi air). Lalu dia menuangkan pada telapak tangannya tiga kali lalu membasuh keduanya, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam bejana lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan hingga siku tiga kali, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali hingga kedua mata kaki. Setelah itu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berwudlu seperti wudluku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dan tidak berbicara antara keduanya, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” Dan dari [Ibrahim] berkata, [Shalih bin Kaisan] berkata, [Ibnu Syihab] berkata. Tetapi [‘Urwah] menceritakan dari [Humran], “Ketika [‘Utsman] berwudlu, dia berkata, “Maukah aku sampaikan kepada kalian sebuah hadits yang kalau bukan karena ada satu ayat tentu aku tidak akan menyampaikannya? Aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang laki-laki berwudlu dengan membaguskan wudlunya kemudian mengerjakan shalat, kecuali akan diampuni (dosa) antara wudlunya dan shalatnya itu hingga selesai shalatnya.” ‘Urwah berkata, “Ayat yang dimaksud adalah: ‘(Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan…) ‘ (Qs. Al Baqarah: 159).

Keterangan Hadis: “Berwudhu tiga kali-tiga kali”, maksudnya membasuh setiap anggota wudhu tiga kali.

دَعَا بِإِنَاءٍ (Meminta di bawakan sebuah bejana) Dalam riwayat Al­Laitsi yang akan disebutkan setelah ini disebutkan, “Memohon dibawakan air wudhu.” Demikian pula yang dinukil oleh Imam Muslim dari riwayat Yunus. Di sini terdapat keterangan bolehnya meminta bantuan pada orang lain untuk menghadirkan sesuatu yang akan dipakai untuk berwudhu.

عَلَى كَفَّيْهِ ثَلَاث مِرَار (Ke telapak tangannya seraya membasuh kedua telapak tangannya tiga kali). Ini merupakan keterangan mencuci kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana, meskipun bukan karena bangun tidur sebagai tindakan hati-hati.

Dalam naskah Amiriyah disebutkan فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ sedangkan dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan وَاسْتَنْشَقَ sebagai ganti وَاسْتَنْثَرَ Saya tidak mendapatkan satu pun jalur periwayatan hadits ini yang menjelaskan bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya dilakukan dalam jumlah tertentu.

Ketentuan jumlah itu hanya disebutkan oleh Ibnu Mundzir melalui jalur periwayatan Yunus dari Zuhri, sebagaimana hal itu juga dinukil oleh Abu Dawud melalui dua jalur periwayatan yang berbeda dari Utsman. Namun, semua riwayat itu tidak berbeda dalam menyebutkan kata فَمَضْمَضَ (berkumur-kumur).

ثُمَّ غَسَلَ وَجْهه (Setelah itu ia membasuh mukanya) Kalimat ini menjelaskan bahwa membasuh muka dilakukan setelah berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu para ulama menyebutkan bahwa hikmah perbuatan ini adalah untuk mengetahui sifat air yang akan digunakan untuk berwudhu. Sebab wama dapat diketahui dengan penglihatan, rasa dapat diketahui melalui lidah (mulut) dan bau dapat diketahui melalui penciuman. Maka didahulukanlah berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung yang mana keduanya merupakan perbuatan sunah- daripada membasuh muka yang merupakan kewajiban, adalah untuk kehati-hatian dalam beribadah. Adapun hikmah memasuk­kan air ke dalam hidung ini akan dijelaskan dalam bab berikutnya.

وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ (Dan (membasuh) kedua tangannya hingga siku) Yakni setiap salah satunya dibasuh tiga kali. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam riwayat Ma’mar dari Zuhri pada pembahasan tentang puasa. Demikian pula yang disebutkan oleh Imam Muslim melalui jalur periwayatan Yunus. Dalam hadits ini terdapat keterangan mendahulukan yang kanan dari yang kiri, dimana keduanya dipisahkan dengan kata ثُمَّ (kemudian). Begitu pula dengan membasuh kedua kaki.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 58 – Kitab Ilmu

ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ (Selanjutnya ia mengusap kepalanya). Tidak ditemukan satupun riwayat Bukhari dan Muslim yang menyebutkan pengulangan dalam menyapu kepala, dan ini menjadi pendapat mayoritas ulama.

Namun Imam Syafi’i berkata, “Mengusap anggota wudhu se­banyak tiga kali adalah disukai sebagaimana halnya membasuh.” Lalu beliau melandasi pendapatnya m1 dengan makna lahiriah yang terkandung dalam riwayat Imam Muslim, dimana disebutkan bahwa Nabi SAW berwudhu tiga kali-tiga kali. Akan tetapi alasan beliau dapat dijawab dengan mengatakan, “Riwayat Imam Muslim tersebut masih bersifat global, sementara dalam riwayat-riwayat shahih yang menerangkan praktek wudhu secara terperinci disebutkan bahwa menyapu kepala hanya dilakukan sekali saja.

Dengan demikian, makna riwayat Muslim yang menyatakan Nabi SAW berwudhu tiga kali-tiga kali adalah berlaku untuk sebagian besar anggota dan bukan untuk keseluruhannya, atau berwudhu tiga kali-tiga kali tersebut hanya berlaku pada anggota wudhu yang dibasuh dan bukan pada yang diusap.”

Abu Dawud berkata dalam kitab Sunan-nya, “Hadits-hadits Utsman (tentang wudhu) yang diriwayatkan melalui silsilah periwayatan yang shahih semuanya memberi keterangan, bahwa menyapu kepala hanya dilakukan sekali saja.”

Senada dengan itu perkataan Ibnu Mundzir, “Riwayat yang akurat berasal dari Nabi SAW semuanya menunjukkan bahwa menyapu kepala hanya satu kali, dan menyapu itu untuk tujuan memberi keringanan, maka tidak boleh disamakan dengan membasuh dalam artian meratakan air ke seluruh bagian anggota wudhu yang di bas uh. Di samping itu, apabila jumlah tertentu diberlakukan pula pada saat mengusap, maka akan sama dengan membasuh. Sebab hakikat membasuh adalah meratakan air ke seluruh bagian anggota wudhu, sedangkan menggosok bukanlah suatu persyaratan sesuai pendapat yang shahih menurut sebagian besar ulama.”

Abu Ubaid berlebihan dalam hal ini, dia berkata, “Kami tidak mengenal seorang pun di kalangan salaf yang berpendapat disukainya menyapu kepala tiga kali kecuali Ibrahim At-Taimi.” Namun apa yang dikatakan oleh beliau masih perlu disangsikan karena pendapat disukainya menyapu kepala tiga kali telah dinukil oleh lbnu Abi Syaibah dan Ibnu Mundzir dari Anas dan Atha’ serta lainnya.

Hadits Utsman telah diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui dua jalur periwayatan yang mana salah satunya dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan lainnya, yang menyebutkan menyapu kepala tiga kali. Sementara tambahan keterangan yang dinukil oleh para perawi yang dapat dipercaya (tsiqah) dapat diterima (dijadikan hujjah)

نَحْو وُضُوئِي هَذَا (Sebagaimana wudhuku ini) Imam An-Nawawi berkata, “Di sini beliau tidak mengatakan, وُضُوئِي هَذَا مِثْل (Seperti wudhuku ini), karena hakikat persamaan yang sesungguhnya tidak dapat dilakukan oleh selainnya.”

Saya (lbnu Hajar) katakan, “Akan tetapi lafazh seperti itu telah disebutkan dalam riwayat yang dinukil oleh Imam Bukhari dalam pembahasan Ar-Riqaq (kelembutan hati) melalui riwayat Mu’adz bin Abdurrahman dari Humran dari Utsman. Adapun lafazhnya, مَنْ تَوَضَّأَ مثل هذا الوضوء (Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhu ini), lalu pada bab “puasa” beliau menyebutkan hadits Ma’mar dengan lafazh, مَنْ تَوَضَّأَ وُضُوئِي هَذَا (Barangsiapa berwudhu dengan wudhuku ini).

Dalam riwayat Muslim melalui jalur periwayatan Zaid bin Aslam dari Humran dengan lafazh,  تَوَضَّأَ مِثْل هَذَا الْوُضُوء (Berwudhu seperti wudhuku ini). Dengan demikian sesungguhnya lafazh, نَحْو وُضُوئِي هَذَا (Sebagaimana wudhuku ini) bersumber dari sebagian perawi, karena kata نَحْو (sebagaimana) dipakai juga untuk mengungkapkan مِثْل (persamaan) meski hanya dalam bentuk majaz (kiasan).

Kata مِثْل (Seperti) sendiri menunjukkan persamaan secara lahiriah, namun dapat pula dipakai untuk mengungkap-kan persamaan secara global. Dengan demikian kedua versi riwayat itu dapat diarahkan pada satu titik temu, dan boleh meninggalkan salah satunya selama tidak mempengaruhi maksudnya.

ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ (Lalu ia shalat dua rakaat). Hal ini menjelaskan bahwa shalat dua rakaat setelah wudhu adalah disukai, dan hal ini akan disebutkan dalam pembahasan shalat tahiyatul masjid.

لَا يُحَدِّث فِيهِمَا نَفْسه (Tanpa menyibukkan dirinya (dengan perkara­ perkara lain)) dalam melakukan dua rakaat tersebut), maksudnya adalah perkara-perkara yang biasa mengganggu pikiran seseorang dan mungkin untuk menghilangkannya. Karena perkataannya يُحَدِّث (menyibukkan diri) mengindikasikan bahwa hal itu adalah perbuatannya sendiri. Adapun gangguan berupa bisikan-bisikan hati dan rasa was-was yang tidak ada kemampun bagi seseorang untuk menghilangkannya, maka hal itu dimaatkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 222-225 – Kitab Wudhu

Al Qadhi lyadh menukil perkataan sebagian ulama, bahwa yang dimaksud dengan mereka yang tidak menyibukkan diri dengan perkara selain shalat adalah mereka yang tidak terbetik sedikit pun sesuatu dalam hati dan pikirannya. Pendapat ini didukung oleh riwayat yang dikutip oleh Ibnu Mubarak dalam kitab Zuhud dimana dikatakan, “Tidak terbetik sesuatu pada saat melakukan kedua rakaat tersebut.” Namun pendapat ini dibantah oleh An-Nawawi dengan perkataannya, “Yang benar, sesungguhnya keutamaan seperti tersebut dalam hadits itu dapat dicapai oleh mereka yang shalat disertai bisikan-bisikan jiwa yang tidak membuatnya larut.” Meskipun demikian, tetap diakui bahwa mereka yang shalat tanpa terbetik sedikit pun gangguan dalam hati dan pikiran memiliki derajat lebih utama.

Kemudian di antara bisikan-bisikan itu ada yang berhubungan dengan perkara-perkara dunia, dan jika bisikan seperti ini yang timbul, maka harus ditolak. Telah disebutkan dalam riwayat Hakim dan Tirmidzi dalam hadits ini, لَا يُحَدِّث نَفْسه بِشَيْءٍ مِنْ الدُّنْيَا (Tidak menyibukkan dirinya dengan perkara keduniaan). Hadits ini disebutkan pula oleh lbnu Mubarak dalam kitab Zuhud dan Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al Mushannaf Ada pula di antara bisikan tersebut yang berhubungan dengan perkara akhirat. Maka jika ia tidak ada hubungannya dengan shalat, kedudukannya sama dengan perkara keduniaan. Sedangkan jika berkaitan dengan shalat yang sedang dilakukan, maka tidaklah mengapa. Pembahasan lebih lanjut tentang ha) ini akan dipaparkan pada pembahasan tentang shalat, insya Allah.

مِنْ ذَنْبه (dari dosa-dosanya). Secara lahiriah diampuni semua dosanya, baik yang besar maupun yang kecil. Akan tetapi para ulama mengkhususkan maknanya dengan dosa-dosa kecil, sebab dalam riwayat­riwayat lain disebutkan pengecualian. Hal itu bagi mereka yang mempunyai dosa besar dan kecil. Namun barangsiapa yang hanya memiliki dosa-dosa kecil, maka ia dapat diampuni.

Sedangkan mereka yang hanya memiliki dosa besar, maka diringankan untuknya sebagai­mana kadar dosa-dosa kecil yang diampuni. Adapun mereka yang tidak memiliki baik dosa besar maupun dosa kecil, maka ditambahkan kebaikannya sama dengan kadar dosa-dosa kecil yang diampuni.

Hadits ini memberi pelajaran tentang perlunya mengajarkan sesuatu melalui praktek, sebab ia lebih mudah diresapi oleh orang yang sedang belajar. Di samping itu, terdapat pula keterangan membasuh anggota wudhu secara berurutan sebagaimana urutan yang disebutkan dalam hadits, karena setiap anggota wudhu tersebut dipisahkan dengan kata ثم yang berarti “kemudian” atau “setelah itu”.

Faidah lain dari hadits di atas adalah; anjuran berlaku ikhlas, ancaman bagi mereka yang shalat sambil memikirkan perkara keduniaan yaitu shalatnya tidak diterima, terlebih lagi jika yang dipikirkan itu adalah hal-hal yang bemilai maksiat. Sebab, terkadang seseorang memikirkan suatu persoalan dalam shalat lebih mendalam dibandingkan jika ia memikirkannya di luar shalat.

Telah disebutkan oleh Imam Bukhari pada bagian Ar-Raqa ‘iq (kelembutan hati) suatu tambahan di akhir hadits ini dengan lafazh, لَا تَغْتَرُّوا (Dan janganlah kamu terpedaya). Yakni janganlah kamu banyak melakukan amalan-amalan buruk karena beranggapan bahwa shalat dapat menghapuskannya, sebab shalat yang dapat menghapus dosa hanyalah shalat yang diterima oleh Allah SWT. Lalu bagaimana seseorang dapat mengetahui bahwa shalatnya diterima atau tidak?

M Resky S