Hadits Shahih Al-Bukhari No. 157 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 157 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “bersuci dengan batu dalam jumlah yang ganjil” maksud disebutkannya bab ini di sela-sela pembahasan wudhu merupakan perkara yang menjadi obyek pertanyaan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Adapun jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa bukan hanya bab ini saja yang perlu untuk dicermati, sebab bab-bab tentang membersihkan najis dalam kitab ini tidaklah dipisahkan dari bab-bab yang menjelaskan sifat wudhu, karena keduanya merupakan masalah yang memiliki keterkaitan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 93-101.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ ثُمَّ لِيَنْثُرْ وَمَنْ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِي وَضُوئِهِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [Abu Az Zinad] dari [Al A’raj] dari [Abu Hurairah], bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian berwudlu hendaklah dengan memasukkan air ke dalam hidung, barangsiapa beristinja’ dengan batu hendaklah dengan bilangan ganjil. Dan jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaklah membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkannya dalam bejana air wudlunya, sebab salah seorang dari kalian tidak tahu ke mana tangannya bermalam.”

Keterangan Hadis: “Bersuci dengan batu dalam jumlah yang ganjil”, maksud disebutkannya bab ini di sela-sela pembahasan wudhu merupakan perkara yang menjadi obyek pertanyaan. Adapun jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dikatakan bahwa bukan hanya bab ini saja yang perlu untuk dicermati, sebab bab-bab tentang membersihkan najis dalam kitab ini tidaklah dipisahkan dari bab-bab yang menjelaskan sifat wudhu, karena keduanya merupakan masalah yang memiliki keterkaitan. Ada pula kemungkinan pemuatan bab ini dilakukan oleh orang-orang yang menukil kitab ini setelah Imam Bukhari, sebagaimana yang telah kami isyaratkan pada mukaddimah kitab ini, wallahu a ‘lam. Saya telah menjelaskan hal itu di bagian awal kitab “wudhu” .

إِذَا تَوَضَّأَ (Apabila salah seorang di antara kamu berwudhu) maksudnya saat mulai melakukan wudhu.

فَلْيَجْعَلْ فِي أَنْفه مَاء (Hendaklah ia memasukkan air ke dalam hidungnya) demikianlah yang tertulis dalam riwayat Abu Dzar, namun lafazh مَاء (Air) tidak dimuat dalam riwayat selain beliau. Demikian pula para perawi dalam kitab Al Muwaththa’ telah berbeda-beda, di antara mereka ada yang menyebutkan dan ada pula yang tidak menyebutkannya. Adapun dalam riwayat Muslim dari Sufyan dari Abu Zinad telah mencantumkan lafazh tersebut.

وَإِذَا اِسْتَيْقَظَ (Dan apabila salah seorang di antara kamu bangun), demikian Imam Bukhari menyambung lafazh ini dengan yang sebelum­nya, sehingga memberi kesan bahwa ini adalah satu hadits, akan tetapi kenyataannya tidak demikian seperti dalam kitab Al Muwaththa ‘.

Telah diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Mustakhraj dari Al Muwaththa’ Yahya bin Bukair melalui jalur periwayatan Abdullah bin Yusuf (guru Imam Bukhari) yang mana masing-masing disebutkan sebagai hadits tersendiri. Demikian pula yang terdapat dalam kitab Muwaththa’ Yahya bin Bukair serta selain beliau, sebagaimana Al Isma’ili membedakan antara kedua hadits itu melalui riwayat Imam Malik.

Sementara Imam Muslim meriwayatkan bagian pertama hadits ini melalui Ibnu Uyainah dari Abu Zinad, sedangkan bagian kedua beliau riwayatkan melalui Al Mughirah bin Abdurrahman dari Abu Zinad. Atas dasar ini maka seakan-akan Imam Bukhari berpandangan bolehnya mengumpulkan dua hadits yang memiliki satu silsilah periwayatan, sebagaimana beliau membolehkan untuk memisahkan satu hadits bila memuat dua hukum yang berbeda.

مِنْ نَوْمه (Dari tidurnya) Imam Syafi’i dan jumhur ulama berpedoman dengan keumuman lafazh ini, yakni disukainya perbuatan tersebut setiap kali seseorang bangun tidur. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat bahwa hal itu disukai bagi mereka yang bangun tidur malam saja berdasarkan sabda Nabi SAW di akhir hadits tersebut, yakni lafazh “Dimana tangannya waktu ia tidur malam”. Sebab, lafazh seperti itu menunjukkan tidur malam saja.

Dalam riwayat Abu Dawud yang mana silsilah periwayatannya disebutkan oleh Imam Muslim disebutkan, إِذَا قَامَ أَحَدكُمْ مِنْ اللَّيْل (Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidur malam). Demikian pula yang diriwayatkan oleh Tirmidzi melalui silsilah periwayatan yang lain dengan derajat shahih. Lalu dalam riwayat Abu Awanah yang jalur periwayatannya juga disebutkan oleh Imam Muslim disebutkan, إِذَا قَامَ أَحَدكُمْ إِلَى الْوُضُوء حِين يُصْبِح (Jika salah seorang di antara kamu bangun untuk berwudhu di waktu shubuh ).

Baca Juga:  Macam-macam Hadis Dhaif Menurut Para Ulama Hadis, Bagian 2

Akan tetapi alasan tersebut, mencakup pula tidur siang. Hanya saja, disebutkannya tidur malam di sini karena pada umumnya malam hari adalah waktu untuk tidur.

Ar-Rafi’i berkata dalam Syarh Al Musnad, “Tidak tertutup kemungkinan untuk dikatakan bahwa memasukkan tangan ke dalam bejana yang berisi air bagi mereka yang bangun tidur malam jauh lebih dimakruhkan daripada mereka yang melakukan hal itu setelah bangun tidur siang. Sebab pada tidur malam kemungkinan melakukan perbuatan seperti disebutkan dalam hadits jauh lebih dekat (mungkin), karena umumnya tidur malam adalah lebih lama.”

Kemudian indikasi perintah ini menurut jumhur ( mayoritas) ulama adalah sunah. Sementara Imam Ahmad memahami indikasi perintah tersebut sebagai suatu kewajiban bagi mereka yang bangun tidur malam tanpa ada sangkut pautnya dengan mereka yang bangun tidur siang. Namun dalam salah satu riwayat dari beliau menyatakan, bahwa perbuatan itu disukai pula bagi mereka yang bangun tidur siang.

Selanjutnya ulama yang disebutkan terdahulu sepakat bahwa bila orang yang bangun tidur tersebut memasukkan tangannya ke dalam air tanpa mencucinya lebih dahulu, maka hal itu tidak mempengaruhi kesucian air. Diriwayatkan dari Ishaq, Dawud serta Thabari bahwa air tersebut berubah menjadi najis. Mereka melandasi pandangan ini dengan riwayat yang memerintahkan agar air tersebut ditumpahkan, akan tetapi hadits tersebut adalah hadits lemah yang diriwayatkan oleh Ibnu Addi.

Adapun faktor yang telah mengalihkan perintah itu dari indikasi wajib kepada sunah adalah alasan yang disebutkan dalam hadits itu sendiri, yaitu adanya keraguan. Sementara keraguan dalam masalah ini tidak menunjukkan kewajiban, karena hukum asal tangan itu adalah suci. Lalu Abu Awanah beralasan tentang tidak wajibnya perbuatan itu dengan hadits yang menyatakan bahwa beliau SAW berwudhu dari bejana yang tergantung saat beliau bangun tidur tanpa mencuci tangan lebih dulu, sebagaimana akan disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas. Hanya saja alasan yang dikemukakan oleh Abu Awanah ini dapat dibantah dengan mengatakan bahwa sabda beliau yang berbunyi, أَحَدكُمْ (Salah seorang diantara kamu) menunjukkan bahwa hukum ini hanya berlaku bagi selain beliau SAW.

Tapi bantahan ini dapat dijawab dengan mengatakan, “Telah disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nabi telah mencuci kedua tangannya sebelum memasukkannya ke dalam bejana, dan hal itu beliau lakukan bukan setelah bangun tidur. Maka, jika hal itu dilakukan setelah bangun tidur tentu lebih disukai. Hanya saja beliau SAW sengaja tidak melakukan hal itu, untuk menjelaskan bahwa hukum meninggalkannya adalah boleh (jawaz).”

Di samping itu telah disebutkan dalam hadits ini, pada riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud serta selain keduanya dengan lafazh, فَلْيَغْسِلْهُمَا ثَلَاثًا (Hendaklah ia mencuci kedua tangannya tiga kali). Sedangkan telah diketahui bahwa pembatasan dengan jumlah tertentu selain najis yang nyata menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang disukai.

Dalam riwayat Hammam dari Abu Hurairah seperti dikutip oleh Imam Ahmad disebutkan, فَلَا يَضَع يَده فِي الْوَضُوء حَتَّى يَغْسِلهَا (Janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam tempat wudhu hingga ia mencucinya). Indikasi larangan dalam hadits ini bemilai tanzih (kebersihan) seperti telah kami sebutkan. Jika seseorang melakukannya maka hal itu disukai, dan bila tidak maka hukumnya menjadi makruh (tidak disukai). Imam Syafi’i mengatakan, bahwa makruhnya seseorang untuk memasukkan tangan ke dalam bejana saat bangun tidur tidaklah hilang hingga ia mencuci tangannya sebanyak tiga kali.

Maksud “tangan” dalam hadits ini adalah telapak tangan secara khusus, menurut kesepakatan seluruh ulama. Semua pembahasan terdahulu berhubungan dengan mereka yang bangun tidur, sedangkan bagi mereka yang terjaga disukai juga melakukannya berdasar-kan hadits Utsman dan Abdullah bin Zaid. Namun tidak melakukannya (meninggalkan) tidak makruh hukumnya, karena tidak ada hadits yang melarang hal itu.

Baca Juga:  Pembukuan Hadits pada masa Umar bin Abdul Aziz dan Tuduhan Orientalis

Telah diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dengan silsilah periwayatan yang shahih dari Abu Hurairah bahwasanya beliau melakukan hal itu dan berpendapat tidak apa-apa dalam meninggalkannya. Pada pembahasan selanjutnya akan disebutkan riwayat yang senada dengan itu dari Ibnu Umar dan Barra’.

قَبْل أَنْ يُدْخِلهَا (Sebelum memasukkannya). Dalam riwayat Imam Muslim dan Ibnu Khuzaimah serta selain keduanya disebutkan, فَلَا يَغْمِس يَده فِي الْإِنَاء حَتَّى يَغْسِلهَا (Janganlah ia mencelupkan tangannya ke dalam bejana hingga ia mencucinya). Riwayat ini lebih jelas dalam menerang­kan maksud riwayat dengan lafazh, يُدْخِلهَا ان (memasukkan). Sebab sekedar memasukkan tangan ke dalam bejana tidaklah berarti harus ber­akibat makruh, seperti seseorang yang memasukkan tangannya ke dalam bejana yang besar lalu ia mengambil air bejana itu dengan timba yang kecil, dan tangannya tidak menyentuh air.

فِي وَضُوئِهِ (Ke dalam tempat wudhu) maksudnya bejana yang disiapkan sebagai tempat wudhu. Dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, فِي الْإِنَاء (Ke dalam bejana), lafazh ini juga merupakan riwayat Imam Muslim melalui jalur periwayatan selain yang tercantum pada riwayat Imam Bukhari. Sementara riwayat Ibnu Khuzaimah menyebutkan, فِي إِنَائِهِ أَوْ وَضُوئِهِ (Ke dalam bejananya atau tempat wudhunya), yakni ada keraguan dalam menentukannya.

Makna zhahir riwayat ini mengindikasikan bahwa yang demikian itu berlaku khusus bagi bejana tempat wudhu, namun diikutkan pula padanya hukum bejana tempat mandi, sebab bejana tempat mandi adalah bejana tempat wudhu juga selain juga digunakan untuk keperluan lainnya. Lalu dianalogikan pula dengannya bejana-bejana yang lainnya, akan tetapi untuk bejana­bejana yang lain ini hukumnya hanya disukai bila dilakukan dan tidak makruh bila ditinggalkan, sebab tidak ada keterangan yang melarang untuk memasukkan tangan sebelum dicuci ke dalam bejana-bejana ini, wallahu a ‘lam.

Dengan disebutkannya kata, “bejana” pada hadits ini, maka tidak termasuk di dalamnya kolam maupun danau yang aimya tidak menjadi rusak (najis) apabila tangan yang belum dicuci dicelupkan ke dalamnya, meskipun kita anggap tangan itu najis.

فَإِنَّ أَحَدكُمْ (Karena sesungguhnya salah seorang di antara kamu) Al Baidhawi berkata, “Di sini terdapat isyarat bahwa yang menyebabkan diperintahkannya hal itu adalah adanya kemungkinan bahwa tangan tersebut najis. Sebab syariat ini bila menyebutkan suatu hukum Ialu mengiringinya dengan illat (penyebabnya), maka hal itu menunjukkan bahwa hukum ditetapkan berdasarkan sebab tersebut.” Sama seperti ini sabda beliau SAW tentang seorang yang sedang ihram lalu terjatuh kemudian mati, dimana beliau SAW mengatakan sesungguhnya orang itu akan dibangkitkan sambil mengucapkan talbiyah (yakni Labbaik Allahumma Labbaik). lni disebutkan setelah beliau melarang para sahabat untuk memandikan orang yang mati tersebut. Di sini beliau mengisyaratkan bahwa illat (sebab) larangan adalah karena orang itu sedang ihram.

لَا يَدْرِي (Tidak tahu) Di sini terdapat keterangan bahwa sebab larangan itu adalah karena adanya kemungkinan apakah tangannya bersentuhan dengan sesuatu yang dapat merusak kesucian air atau tidak. Kemudian dimasukkan pula dalam hukum tersebut, orang yang ragu akan kesucian tangannya meskipun dalam keadaan terjaga (tidak bangun tidur).

Makna implisit lafazh ini menyatakan bahwa orang yang mengetahui dimana tangannya berada pada waktu ia tidur malam, seperti orang yang menggulung tangannya dengan kain lalu bangun sementara tangannya masih tetap terbungkus, maka tidak makruh baginya memasukkan tangan ke dalam air tanpa mencuci terlebih dahulu. Hanya saja tetap disukai baginya untuk mencucinya sebelum dimasukkan ke dalam bejana menurut pendapat yang lebih utama, sebagaimana halnya orang yang dalam kondisi terjaga.

Bagi mereka yang mengatakan bahwa illat (sebab) larangan dalam hadits ini adalah untuk tujuan ibadah  seperti Imam Malik- maka ia tidak membedakan antara orang yang ragu akan kesucian tangannya dengan orang yang yakin.

Hadits ini dijadikan pula sebagai dalil untuk membedakan antara air yang kemasukan najis dan najis yang masuk ke dalam air, dimana masalah ini cukup jelas dalam hadits. Di samping itu ia menjadi dalil bahwa najis sangat mempengaruhi (kesucian) air, dan ini merupakan pendapat yang benar. Akan tetapi keberadaan najis dapat merubah status air menjadi najis meski tidak berubah salah satu sifatnya adalah pendapat yang masih perlu ditinjau kembali. Sebab, pengaruh tersebut masih bersifat umum tidak khusus karena najis. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa hukum makruh dengan sesuatu yang diyakini lebih keras daripada sesuatu yang masih dalam dugaan, demikian yang dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al Id. Adapun maksud beliau adalah, tidak ada dalil qath ‘i (pasti) yang mendukung pendapat mereka bahwa air tidak berubah menjadi najis kecuali salah satu sifatnya berubah.

Baca Juga:  Bagaimanakah Hadits Hasan Itu? Berikut Penjelasannya

أَيْنَ بَاتَتْ يَده (Dimana tangannya berada pada waktu tidur malam), yakni di bagian badan yang mana. Imam Syafi’ i berkata, “Kebiasaan mereka adalah beristinja’ dengan menggunakan batu, sementara daerah mereka beriklim panas. Sehingga bila mereka tidur terkadang berkeringat, maka ada kemungkinan tangannya memegang tempat keluamya najis, memegang bisul atau darah hewan maupun kotoran lainnya”. Kemudian pendapat ini dikomentari oleh Abu Al Walid Al Baji, bahwa pandangan seperti itu berkonsekuensi perintah untuk mencuci pakaian orang yang bangun tidur, sebab hal-hal yang terkena tangan dapat pula terkena pakaian. Namun komentar ini dijawab dengan mengatakan, “Pandangan Imam Syafi’i tersebut dipahami apabila keringat tersebut pada tangan dan bukan pada tempat yang dipegang” atau dikatakan, “Orang yang bangun tidur tidak menghendaki mencelupkan tangannya ke dalam air kecuali jika diperintahkan untuk melakukannya, berbeda dengan tangan dimana seseorang sangat butuh untuk mencelupkannya ke dalam air.”

Jawaban kedua adalah yang terkuat di antara dua jawaban yang ada. Adapun dalil bahwa hal itu tidak khusus bagi tempat keluamya najis adalah riwayat yang dinukil oleh lbnu Khuzaimah serta selain beliau melalui jalur periwayatan Muhammad bin Al Walid dari Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Khalid Al Hadza dari Abdullah bin Syaqiq dari Abu Hurairah, yang mana disebutkan pada bagian akhimya, “dimana tangannya bermalam di bagian badannya”. Sumber riwayat ini sendiri terdapat dalam Shahih Muslim, tanpa lafazh “pada badannya”.

Ad-Daruquthni berkata, “Yang meriwayatkan lafazh seperti itu hanya Syu’bah.” Adapun Al Baihaqi berkata, “Bahkan yang meriwayat­kannya hanyalah Muhammad bin Al Walid.” Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Jika yang dimaksud oleh Al Baihaqi bahwa yang meriwayatkan lafazh tersebut dari Muhammad bin Ja’far hanyalah Muhammad bin Al Walid, maka perkataannya dapat diterima. Namun jika yang beliau maksudkan bahwa tak ada yang meriwayatkan lafazh “Pada badannya” selain Muhammad bin Al Walid saja, maka perlu dipertanyakan. Karena Ad­Daruquthni mengatakan, ‘Lafazh “Pada badannya” selain diriwayatkan oleh Muhammad bin Al Walid, juga telah diriwayatkan oleh Abd. Shamad dari Syu’bah. Riwayat ini telah dinukil pula oleh Ibnu Mandah dari jalur Abd. Shamad. “‘

Pada hadits yang disebutkan dalam bab ini terdapat keterangan untuk mengamalkan yang lebih meyakinkan serta berhati-hati dalam beribadah. Juga kebolehan untuk memakai kata kiasan pada hal-hal yang kurang pantas diucapkan secara terus terang, asalkan maksud dari pembicaraan dapat dipahami.

Di samping itu, pada hadits terdapat keterangan disukainya mencuci najis sebanyak tiga kali. Sebab ketika kita diperintah untuk mencucinya sebanyak jumlah tersebut sementara najisnya belum pasti ada, maka setelah najis itu diyakini keberadaannya tentu lebih baik lagi untuk dicuci sebanyak tiga kali.

Sebagian ulama telah menyimpulkan beberapa faidah lain dari hadits tersebut, di antaranya: Pertama, tempat keluamya najis mendapat­kan keringanan dalam kebolehan melakukan shalat meski bekas najis di tempat keluamya masih ada, ini dikatakan oleh Al Khaththabi. Kedua, kewajiban berwudhu ketika bangun tidur, ini dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr. Ketiga, sebagai dalil yang menguatkan pandangan mereka yang mewajibkan wudhu karena menyentuh kemaluan, ini dinukil oleh Abu Awanah dalam Shahih-nya dari lbnu Uyainah. Keempat, air yang sedikit tidak bernbah menjadi air musta ‘mal (bekas dipakai) apabila seorang yang berwudhu memasukkan tangan ke dalamnya, demikian dikatakan oleh Al Khaththabi sebagai salah seorang pemuka ulama Syafi’iyah.

M Resky S