Hadits Shahih Al-Bukhari No. 199– Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 199 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi hadis ini dengan judul “Seseorang yang Memakai Sepatu sedang Kedua Kakinya dalam Keadaan Suci” membahas bahwa Nabi SAW menjadikan kesucian sebelum memakai sepatu sebagai syarat bolehnya mengusap sepatu.  Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 240-243.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ فَقَالَ دَعْهُمَا فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Zakaria] dari [‘Amir] dari [‘Urwah bin Al Mughirah bin Syu’bah] dari [Bapaknya] ia berkata, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, aku lalu merunduk untuk melepas kedua sepatunya, namun beliau bersabda: “Biarkan saja, karena aku mengenakannya dalam keadaan suci.” Dan beliau hanya mengusap sepatunya.

Keterangan Hadis: (Seseorang yang memakai sepatu sedang kedua kakinya dalam keadaan suci). Ini adalah lafazh riwayat Abu Dawud melalui jalur Yunus bin Abu Ishaq dari Sya’bi, dan kami akan menjelaskan perbedaan antara riwayat beliau dengan hadits tersebut dalam bah ini pada pembahasan selanjutnya.

فَأَهْوَيْتُ (Akupun bermaksud), yakni menjulurkan tanganku. Al Ashmu’i berkata,أَهْوَيْت بِالشَّيْءِ aku melirik atau mengisyaratkan kepadanya. Sedangkan yang lainnya mengatakan, bahwa أَهْوَيْتُ berarti aku bermaksud duduk melakukan perbuatan dari berdiri ke duduk.” Dikatakan pula, bahwa الْإهْوَاء artinya الْإِمَالَة (condong).

Ibnu Baththal berkata, “Dalam hadits ini terdapat keterangan disukainya berkhidmat kepada seorang yang berilmu, dan hendaklah seorang pelayan melakukan apa yang telah menjadi kebiasaan tuannya sebelum diperintahkan. Di samping itu, terdapat pula keterangan memahami suatu isyarat serta merespon apa yang dipahami dari isyarat

tersebut berdasarkan sabda beliau SAW,  دَعْهُمَا(Biarkanlah keduanya).

فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا (Sesungguhnya aku telah memasukkan keduanya), maksudnya kedua kaki.

طَاهِرَتَيْنِ (Keduanya dalam keadaan suci). Demikian lafazh yang dinukil oleh mayoritas perawi, sementara dalam riwayat Al Kasymahani disebutkan, وَهُمَا طَاهِرَتَانِ (Sedang kedua kaki itu dalam keadaan suci).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 436 – Kitab Shalat

Dalam riwayat Abu Dawud dikatakan, فَإِنِّي أَدْخَلْت الْقَدَمَيْنِ الْخُفَّيْنِ وَهُمَا طَاهِرَتَانِ (Karena sesungguhnya aku memasukkan kedua kaki ke dalam sepatu sedang keduanya dalam keadaan suci).

Adapun riwayat Al Humaidi dalam Musnad-nya disebutkan, قُلْت يَا رَسُول اللَّه أَيَمْسَحُ أَحَدنَا عَلَى خُفَّيْهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ إِذَا أَدْخَلَهُمَا وَهُمَا طَاهِرَتَانِ (Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami (boleh) menyapu di atas dua sepatunya?” Beliau SAW menjawab, “Benar, apabila ia memasukkan kedua kakinya sedang keduanya dalam keadaan suci.“)

Lalu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari hadits Shafwan bin Asal, “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk menyapu bagian atas sepatu apabila kami memasukkan keduanya dalam keadaan suci; selama tiga hari apabila kami melakukan safar, dan sehari semalam apabila kami mukim (tidak safar).”

Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku menyebutkan hadits ini kepada Al Muzanni, maka beliau berkata kepadaku, “Ulama-ulama madzhab kami meriwayatkan pula yang seperti ini, dan ini merupakan dalil kuat yang mendukung madzhab Syafi’i.”

Hadits Shafwan bin Asal meskipun shahih, namun tidak memenuhi persyaratan Imam Bukhari. Tetapi hadits di bab ini sejalan dengan hadits tersebut mengenai keharusan memakai sepatu dalam keadaan suci. Sedangkan Al Muzanni mengisyaratkan dengan perkataannya terhadap perselisihan yang terjadi sehubungan dengan masalah ini.

Secara ringkas, Imam Syafi’i dan mayoritas ulama lainnya memahami bahwa suci di sini adalah dalam pengertian syariat, yakni dalam keadaan berwudhu. Di sisi lain, Dawud mengatakan, “Apabila tidak terdapat najis pada kaki saat memakai sepatu, maka boleh mengusap sepatu tersebut saat berwudhu.” Sedangkan apabila melakukan tayammum dan memakai kedua sepatu, maka tidak boleh mengusap bagian atasnya, karena tayammum menurut mereka hanya dapat mem­bolehkan perbuatan-perbuatan yang mesti dilakukan dalam keadaan suci tapi tidak mengangkat hadats (kotoran maknawi). Hanya saja, dalam hal ini Al Asbagh menyelisihi pendapat mereka.

Apabila seseorang membasuh kedua kakinya dengan niat wudhu kemudian memakai kedua sepatu lalu orang itu menyempumakan membasuh anggota wudhu yang lain, maka ia tidak boleh mengusap sepatu menurut Imam Syafi’i dan orang-orang yang sependapat dengan­nya dalam hal mewajibkan pelaksanaan wudhu secara tertib (berurutan sebagaimana yang tersebut dalam ayat -Penerj). Demikian pula menurut mereka yang tidak mewajibkan tertib karena berpandangan bahwa thaharah (bersuci) tidak dapat dipisah-pisahkan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 16 – Kitab Iman

Penulis kitab Al Hidayah (salah seorang ulama Hanafi) berkata, “Syarat dibolehkannya bagi seseorang untuk menyapu kedua sepatu adalah hendaknya keduanya dipakai dalam keadaan suci secara sempuma.” Kemudian beliau menjelaskan, “Adapun yang dimaksud dengan keadaan suci secara sempuma adalah pada waktu hadats dan bukan saat memakai. Artinya, apabila seseorang telah selesai berwudhu secara sempuma lalu ia berhadats, maka boleh menyapu bagian atas sepatu. Karena pada saat terjadinya hadats, ia berada dalam keadaan suci secara sempuma.”

Namun hadits di atas merupakan bantahan bagi pendapat beliau, sebab dalam hadits itu beliau SAW menjadikan kesucian sebelum memakai sepatu sebagai syarat bolehnya mengusap sepatu. Sesuatu yang dikaitkan dengan syarat tertentu tidak sah kecuali bila syarat yang dimaksud terpenuhi. Padahal beliau telah mengakui, bahwa yang dimaksud hadits adalah kesucian secara sempuma.

Apabila seseorang berwudhu secara tertib dan tinggal membasuh satu kaki lagi, saat itu ia memakai sepatu lalu meneruskan membasuh kaki yang satunya lagi, dan setelah itu ia memakai sepatu yang satunya, maka dalam kondisi demikian tidak diperkenankan mengusap atas sepatu Uika berwudhu di kesempatan lain -Penerj) menurut mayoritas ulama.

Akan tetapi menurut Ats-Tsauri, para ulama kufah, Al Muzanni (ulama madzhab Syafi’i), Al Mutharrif (ulama madzhab Maliki), Ibnu Mundzir dan selainnya boleh menyapu bagian atas sepatu, karena pada kondisi demikian boleh dikatakan ia telah memasukkan kedua kakinya ke dalam sepatu dalam keadaan suci. Kemudian pendapat mereka ini dibantah dengan mengatakan, sesungguhnya hukum yang menjadi konsekuensi membasuh dua kaki tidaklah sama dengan hanya membasuh satu kaki.

Demikian pula lbnu Daqiq Al Id melemahkan pendapat tersebut karena masih mengandung kemungkinan. Dia berkomentar, “Akan tetapi bila pendapat tersebut didukung oleh dalil yang menunjukkan bahwa thaharah (bersuci) tidak dapat dipisah-pisahkan, maka pendapat itu setidaknya memiliki landasan.”

Baca Juga:  Pengertian Sahabat Nabi dan Konsep Keadilan Sahabat dalam Periwayatan Hadis

Adapun faidah hadits ini adalah, menyapu sepatu khusus pada saat wudhu dan tidak boleh pada saat mandi junub menurut kesepakatan ulama. Faidah lain; apabila seseorang melepaskan kedua sepatunya sebelum habis waktu diperbolehkan mengusap sepatu (yakni tiga hari bagi musafir dan satu hari bagi yang mukim), maka mereka yang menetapkan batasan waktu mengatakan bahwa orang itu hams mengulangi wudhunya. Demikian pandangan Imam Ahmad, Ishaq dan selain keduanya. Namun ulama Kufah, Al Muzanni dan Abu Tsaur berpendapat bahwa orang itu hanya diharuskan membasuh kembali kedua kakinya. Demikian pula yang dikatakan oleh Imam Malik, kecuali jika dipisahkan dengan selang waktu yang cukup lama.

Al Hasan, Ibnu Abu Laila dan sejumlah ulama lain berkata, “Orang tadi tidak perlu membasuh kedua kakinya.” Kelompok ini mendasari pendapat mereka dengan menganalogikan kejadian ini dengan orang yang menyapu kepala lalu ia mencukur rambut, dimana ia tidak wajib mengulang menyapu kepalanya. Hanya saja analogi yang mereka kcmukakan perlu dianalisa lebih lanjut.

Faidah lainnya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits yang menunjukkan batasan waktu diperbolehkannya seseorang menyapu sepatunya. Sementara mayoritas ulama menyatakan adanya batasan waktu. Adapun Imam Malik dalam riwayat yang masyhur dari beliau menyelisihi pendapat mayoritas, beliau berkata, “Seseorang boleh tetap menyapu kedua sepatunya selama belum melepaskannya.” Pendapat seperti ini diriwayatkan pula dari Ibnu Umar. Hadits yang memberi keterangan batasan waktu diperbolehkan menyapu sepatu telah diri­wayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Shafwan bin Asal sebagaimana telah disebutkan. Mengenai hal ini telah diriwayatkan pula dari Abu Bakrah yang dishahihkan oleh Imam Syafi’i dan lainnya.

M Resky S