Hadits Shahih Al-Bukhari No. 241 – Kitab Mandi

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 241 – Kitab Mandi ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Wudhu Sebelum Mandi” hadis ini menjelaskan tentang tatacara mandi junub Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan oleh istrinya Maimunah ra Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Mandi. Halaman 394-399.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنْ الْأَذَى ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا هَذِهِ غُسْلُهُ مِنْ الْجَنَابَةِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Al A’masy] dari [Salim bin Abu Al Ja’d] dari [Kuraib] dari [Ibnu ‘Abbas] dari [Maimunah] isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu sebagaimana wudlunya untuk shalat, kecuali kedua kakinya. Beliau lalu mencuci kemaluan dan apa yang terkena kotoran (mani), kemudian menyiramkan air ke atasnya, kemudian mengakhirinya dengan menyela dan mencuci kedua kakinya. Itulah cara beliau mandi dari janabat.”

Keterangan Hadis: وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْر رِجْلَيْهِ (Berwudhu seperti wudhu untuk shalat tetapi tidak membasuh kedua kakinya) Di sini dijelaskan secara tegas tentang mengakhirkan mencuci kedua kaki ketika wudhu untuk mandi wajib. Jadi hadits ini bertentangan dengan makna lahiriah riwayat Aisyah. Tetapi keduanya dapat dipadukan dengan cara memahami hadits Aisyah dalam pengertian majaz (kiasan) seperti yang telah dijelaskan, atau dikatakan bahwa hadits itu menceritakan peristiwa pada kesempatan lain.

Karena kedua riwayat tersebut berbeda, maka para ulama berbeda pula dalam menentukan pendapat mengenai persoalan tersebut. Mayoritas Uumhur) ulama berpendapat bahwa mengakhirkan mencuci kaki ketika mandi wajib adalah sunah.

Adapun Imam Malik berpendapat jika tempat mandi tidak bersih, maka disukai untuk mengakhirkan mencuci kaki. Tetapi kalau tempatnya bersih maka sebaliknya. Semen­tara dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pandangan dalam menentukan mana yang lebih utama.

An-Nawawi mengatakan, “Yang paling masyhur diantara keduanya adalah menyempurnakan wudhunya (yakni sekaligus membasuh kedua kaki -penerj.) karena kebanyakan riwayat Aisyah dan maimunah menyatakan demikian.” Demikian pernyataan beliau.

Tetapi pada dasarnya tidak ada satu riwayatpun dari keduanya yang jelas-jelas menyatakan demikian, yang ada hanyalah kemungkinan seperti riwayat “Beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat” atau riwayat yang secara lahiriahnya menyatakan bahwa beliau mengakhirkan membasuh kedua kaki sebagaimana riwayat Abu Mu’awiyah terdahulu, yang dikuatkan oleh riwayat yang dinukil melalui Abu Salamah.

Sebagian besar riwayat dari Maimunah sesuai dengan riwayat-riwayat ini, atau riwayat yang secara tegas mengatakan bahwa membasuh kaki dilakukan setelah mandi seperti hadits dalam bab ini.

Kemudian para perawi hadits dalam bab ini lebih diutamakan dari segi hafalan dan pemahaman dibanding para perawi yang menukil riwayat seperti ini dari Al A’masy. Adapula pendapat yang mengata­kan, “Sesungguhnya Nabi sesekali melakukan yang demikian untuk menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan.” Pendapat ini tidak seluruhnya benar, karena riwayat Ahmad dari Abu Salamah dari Al A ‘masy ada yang mengindikasikan bahwa nabi melakukan hal tersebut secara berkesinambungan, dimana lafazhnya adalah, (Biasanya Nabi apabila mandi junub beliau memulainya dengan mencuci kedua tangannya, kemudian menyiramkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri dan mencuci kemaluannya) dan di akhir hadits disebutkan, (Kemudian ia berpindah (tempat) danmencuci kedua kakinya).

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 503-505 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Imam Al Qurtubi mengatakan, “Hikmah diakhirkannya membasuh kedua kaki tersebut, supaya mandi tersebut dimulai dan diakhiri dengan membasuh anggota wudhu.”

وَغَسَلَ فَرْجَهُ (Dan beliau mencuci kemaluannya). Di sini ada taqdim dan ta ‘khir (perubahan susunan lafazh), karena membasuh kemaluan dilakukan sebelum wudhu. Kesimpulan ini dapat dibenarkan, karena kata sambung waw (dan) tidak memberi makna urutan perbuatan (tertib).

Ibnu Mubarak telah menjelaskan hal tersebut dari Tsauri sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari di bab “Menutup diri saat mandi”, dimana disebutkan bahwa pertama-tama beliau mencuci kedua tangan, kemaluan, kemudian mengusapkan tangannya ke dinding, setelah itu berwudhu tanpa mencuci kedua kakinya.” Lafazh hadits ini menggunakan kata sambung ثم (kemudian) yang mengandung makna urutan peristiwa atau perbuatan.

هَذِهِ غُسْلُهُ (Demikianlah cara beliau mandi). Imam Bukhari menggunakan hadits Maimunah ini sebagai dalil bolehnya memisah­misahkan anggota wudhu, dan disukainya menuangkan air ke tangan kiri dengan menggunakan tangan kanan berdasarkan riwayat Abu Awanah dan Hafsh serta selain keduanya dimana dikatakan, “Kemudian beliau menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri.” Juga sebagai dalil disyariatkannya berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung saat mandi wajib berdasarkan lafazh dalam hadits tersebut yang menyatakan, “Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung.” Keterangan ini pula yang dijadikan pegangan oleh ulama mazhab Hanafi untuk mewajibkan kedua hal tersebut. Tetapi pendapat ini dibantah, karena suatu perbuatan tidak mengindikasikan kewajiban kecuali per­buatan itu merupakan penjelasan bagi suatu yang bersifat global (mujmal) dan berkaitan dengan hukum wajib. Sementara hal ini tidak ditemukan dalam pembahasan yang dimaksud, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiq Al ‘Id.

Hadits tersebut juga menjadi dalil disukainya menyapukan tangan dengan debu di dinding atau tanah berdasarkan lafazh dalam riwayat­riwayat yang telah disebutkan, yaitu “Kemudian ia menyapukan tangan­nya dengan tanah atau debu di dinding.” Ibnu Daqiq Al ‘Id mengatakan, “Dari hadits tersebut dapat disimpulkan, bahwa menghilangkan najis cukup dengan mencucinya sekali saja. Demikian juga dengan mandi junub, karena hukum dasarnya adalah tidak ada pengulangan.” Namun dalam masalah ini ada perbedaan pandangan.

An-Nawawi dan ulama lainnya cenderung membenarkan bahwa mencuci sekali sudah men­cukupi, tetapi hadits ini tidak secara pasti mengatakan bahwa perbuatan itu adalah untuk menghilangkan najis. Bahkan ada kemungkinan per­buatan itu dilakukan hanya untuk membersihkan tangan saja, sehingga tidak mengindikasikan bahwa hal itu sudah mencukupi. Adapun menggosokkan tangan dengan tanah tujuannya adalah untuk mencapai basil yang bersih, sebagaimana dikatakan oleh Imam Bukhari.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 197-198 – Kitab Wudhu

Orang yang berhujjah dengan hadits ini untuk mendukung pendapat yang menyatakan bahwa mani dan sekitar kemaluan yang lembab adalah najis, sungguh telah jauh menyimpang dari indikasi hadits tersebut, karena mandi tidak terbatas hanya untuk menghilangkan najis. Sedangkan kalimat dalam hadits pada bab ini yang berbunyi, “Serta (mencuci) kotoran-kotoran yang melekat padanya” juga tidak secara tegas mengindikasikan bahwa mani serta kelembaban di sekitar kemaluan adalah najis.

Selanjutnya Imam Bukhari beralasan dengan hadits ini bahwa yang wajib dalam mandi junub adalah menyiram satu kali saja. Orang yang berwudhu dengan niat mandi (wajib), kemudian ia menyempumakan (menyiram) anggota badannya, maka tidak diharuskan mengulang wudhunya jika ia tidak berhadats.

Hadits tersebut juga memberi keterangan bolehnya mengibaskan atau membersihkan air wudhu dengan tangan. Dalam hal ini ada hadits dha’if yang dikemu-kakan oleh Rafi’i dan yang lainnya dengan lafazh, (Janganlah kalian mengibaskan tangan kalian ketika berwudhu karena itu adalah kipasan syetan ). Ibnu Shalah me-ngatakan, “Saya menemukan (sumber) hadits ini, dan An­Nawawi menyetujuinya.” Ibnu Hibban meriwayatkannya dalam kitab Adh-Dhu ‘afa’ dan Ibnu Abi Hatim dalam kitab Al ‘Ilal dari hadits Abu Hurairah. Meskipun hadits ini tidak bertentangan dengan hadits shahih, namun tetap tidak bisa dijadikan hujjah.

Hadits ( di atas) juga dijadikan dalil disukainya menutup diri ketika mandi walaupun dalam rumah. Imam Bukhari telah membuat bab-bab khusus untuk setiap permasalahan di atas dan ia menyebutkan hadits ini pada setiap bab tersebut, namun melalui jalur periwayatan yang berbeda­beda. Akan tetapi, semua jalur periwayatan tersebut kembali kepada Al A’masy, dan sebagian perawi menukil dari Al A’masy apa yang tidak dinukil oleh perawi yang lain. Saya telah mengumpulkan faidah-faidah yang diambil dalam bab ini.

Dalam riwayat Hafsh bin Ghiyyats dari Al A’masy secara jelas dikatakan, bahwa Al A’masy telah mendengar langsung hadits tersebut dari Salim, dengan demikian riwayat tersebut aman dari tadlis (penyamaran riwayat).

Faidah lain dari hadits tersebut adalah, bolehnya meminta tolong dibawakan air untuk mandi dan berwudhu berdasarkan perkataannya dalam riwayat Hafsah dan lainnya, “Aku meletakkan untuk Rasulullah air untuk mandi,” dan dalam riwayat Abdul Wahid dikatakan, “Air yang digunakan untuk mandi.” Hal ini menunjukkan pula khidmat (pelayanan) para istri untuk suaminya.

Faidah lain hadits di atas adalah keterangan tentang menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri untuk mencuci kemaluan dan mencuci kedua telapak tangan sebelum mencuci kemaluan bagi orang yang hendak menciduk air dengan tangannya, supaya ia tidak memasuk­kan kedua tangannya ke dalam air karena ada kemungkinan di tangan itu ada kotoran. Kalau aimya dalam bejana (guci) misalnya, maka yang lebih utama adalah mencuci kemaluan terlebih dahulu supaya dapat mem­bersihkan anggota tubuh secara berurutan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 599 – Kitab Adzan

Dalam hadits ini -dengan semua jalur periwayatannya- tidak ada yang menyatakan secara jelas bahwa beliau menyapu kepalanya ketika berwudhu. Kenyataan ini dijadikan pegangan oleh ulama madzhab Maliki, dimana mereka berpendapat, “Wudhu yang dilakukan ketika hendak mandi junub tidak perlu menyapu kepala, tetapi cukup dengan mandi saja.”

Sebagian ulama beralasan dengan perkataan Maimunah dalam riwayat Abu Hamzah dan lainnya yang berbunyi, “Aku memberikan ke­padanya kain, tetapi beliau tidak mengambilnya” untuk menyatakan makruhnya mengelap badan setelah mandi. Tetapi tidak ada penjelasan dalam hadits ini yang mendukung pendapat tersebut, karena kejadian ini masih memiliki kemungkinan-kemungkinan. Di antaranya mungkin beliau tidak mengambil (kain tersebut) karena sebab lain yang tidak ada hubungannya dengan persoalan mengelap (badan) tetapi karena khawatir bila kain itu sobek, atau karena beliau sedang terburu-buru atau lain sebagainya.

Al Muhallab berkata, “Ada kemungkinan beliau tidak mengambil kain tersebut karena ingin membiarkan keberkahan air (tetap melekat di badannya), karena tawadhu’ (kerendahan hati), atau karena di kain itu ada sutra atau ada kotorannya.

Lalu dalam riwayat Ahmad dan Ismaili dari Abu Awanah, sehubu­ngan dengan hadits ini dari Al A’masy, ia berkata, “Aku menanyakan hal tersebut kepada Ibrahim An-Nakha’i, maka ia berkata, ‘Tidak apa-apa mengelap badan dengan handuk kecil, hanya saja beliau menggunakan­nya karena takut hal ini menjadi sebuah kebiasaan. “

At-Taimi mengatakan dalam syarahnya, “Hadits ini justeru me­rupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nabi mengelap badannya. Karena kalau tidak, tentu ia (Maimunah) tidak akan membawakan kain tersebut.” Sementara Ibnu Daqiq Al Id mengatakan, “Beliau mengelap air dengan tangannya (dari badan) menunjukkan bahwa mengelap (badan) tidak makruh, karena kedua-duanya (mengelap dengan kain ataupun tangan -penerj) tujuannya sama, yaitu untuk menghilangkan atau mengeringkan badan.”

Imam An-Nawawi berkata, “Ulama-ulama madzhab kami berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi lima golongan, dan yang paling masyhur adalah disukai (mustahab) untuk tidak mengelap badan dengan kain. Ada yang mengatakan makruh di musim panas dan mubah di musim dingin.

Hadits ini juga menjadi dalil bahwa tetesan air yang berjatuhan dari anggota tubuh adalah suci, tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang berlebihan (fanatik) dalam mazhab Hanafi dimana mereka me­ngatakan tetesan air tersebut adalah najis.

M Resky S