Hadits Shahih Al-Bukhari No. 281 – Kitab Mandi

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 281 – Kitab Mandi ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Orang yang Junub Berwudhu lain Tidur” hadis ini menjelaskan tentang bolehnya orang tidur dalam keadaan junub dengan syarat mencuci kemaluan dan berwudhu terlebih dahulu Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Mandi. Halaman 475-478.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ ذَكَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ تُصِيبُهُ الْجَنَابَةُ مِنْ اللَّيْلِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ ثُمَّ نَمْ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [‘Abdullah bin Dinar] dari [‘Abdullah bin ‘Umar] bahwa ia berkata, “‘Umar bin Al Khaththab menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia junub di malam hari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadanya: “Wudlu dan cucilah kemaluanmu, kemudian tidurlah.”

Keterangan Hadis: ذَكَرَعُمَرُ بْن الْخَطَّاب (Umar bin Khaththab menyebutkan), Lafazh iniberkonsekuensi bahwa hadits yang dimaksud masuk dalam kategori riwayat lbnu Umar sebagaimana yang ada pada kebanyakan perawi. Namun Abu Nuh meriwayatkan dari Malik seraya menambahkan dalamriwayat tersebut lafazh, “dari Umar”.

An-Nasa’i telah menerangkan sebabnya dalam riwayatnya dari jalur Ibnu Aun dari Nafi’, ia berkata, “Ibnu Umar sedang junub lalu ia datang kepada Umar dan mengatakannya. Lalu Umar datang kepada Rasulullah dan bertanya. Maka beliau bersabda, ‘Hendaklah ia berwudhu dan tidur’.”

Berdasarkan keterangan ini, maka maksud kata ganti pada lafazh “Bahwa ia mengalami junub” adalah lbnu Umar dan bukan Umar. Sedangkan sabda beliau, “Berwudhulah” ada kemungkinan lbnu Umar ada di sana lalu pembicaraan diajukan langsung kepadanya.

تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَك (Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu). Dalamriwayat Abi Nuh disebutkan, اِغْسِلْ ذَكَرَك ثُمَّ تَوَضَّأْ ثُمَّ نَمْ (Cucilah kemaluanmu, kemudian berwudhu /alu tidurlah ). Lafazh ini merupakan bantahan bagi mereka yang memahami hadits bab ini secara lahiriah saja, yaitu bolehnya mendahulukan wudhu daripada mencuci kemaluan karena maksud wudhu bukan untuk mengangkat hadats tetapi semata bemilai ibadah. Karena junub itu lebih berat dari sekedar menyentuh kemaluan, dan dengan berdasarkan riwayat Abu Nuh jelaslah bahwa mencuci kemaluan lebih didahulukan daripada wudhu. Namun boleh diakhirkan dengan tidak menyentuh kemaluan menurut yang berpendapat bahwa menyentuhnya membatalkan wudhu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 364 – Kitab Shalat

lbnu Daqiq Al ‘Id berkata, “Teks hadits ini ada yang berupa perintah dan ada yang berupa syarat. Hal ini menjadi pegangan bagi orang yang mewajibkan perbuatan tersebut.” Sementara lbnu Abdi! Barr berkata, “Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah sunah. Sementara pengikut madzhab zhahiriyah mengatakan wajib, namun pandangan ini dianggap ganjil.”

Ibnu Al Arabi berkata, “Imam Malik dan Imam Syafi’i berkata, “Bagi orang yang junub tidak boleh tidur sebelum berwudhu.” Namun sebagian generasi belakangan mengingkari penukilan ini. Mereka berkata bahwa Imam Syafi’i tidak mengatakannya wajib, dan tidak seorang pun sahabatnya yang mengetahuinya. Tetapi perkataan Ibnu Al Arabi bisa diartikan bahwa maksudnya adalah menafikan hukum mubah, bukan untuk menetapkan hukum wajib. Atau wajib di sini adalah wajib sunah, artinya sunah muakkad (yang sangat dianjurkan). Hal itu karena Ibnu Arabi menempatkan pandangan ini sebagai lawan pendapat lbnu Habib yang mengatakan bahwa hukumnya adalah wajib, yakni wajib dalamartian fardhu. Istilah seperti ini banyak kita temukan dalam madzhab Maliki.

Selanjutnya Ibnu Arabi mengisyaratkan dukungannya terhadap pendapat Ibnu Habib, sedangkan Abu Awanah dalam Shahih-nya me­nempatkan hal ini dalam satu bab khusus, yaitu bab wajib berwudhu bagi yang berjunub jika ingin tidur. Kemudian ia dan Ibnu Khuzaimah berdalil bahwa hukumnya tidak wajib berdasarkan hadits lbnu Abbas dari Nabi SAW, “Hanya saja aku disuruh berwudhu jika mau melakukan shalat”.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 205-206 – Kitab Wudhu

Hadits ini telah disebutkan dalam bab “Jika bersetubuh kemudian mengulanginya.” Akan tetapi Ibnu Rusyd Al Maliki mengkritik tajam cara penetapan hukum dari hadits ini, dan apa yang beliau katakan cukup jelas.

Imam Ath-Thahawi menukil dari Abu Yusuf yang berpandangan bahwa perbuatan tersebut tidak termasuk sunah. Dalam hal itu beliau berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq dari Al Aswad dari Aisyah RA, “Rasulullah junub lalu tidur dan tidak menyentuh air.” Riwayat ini dikutip oleh Abu Daud dan ahli hadits lainnya. Akan tetapi pandangan ini dikoreksi dengan mengatakan bahwa para penghafal (hadits) berkata, “Sungguh lbnu Ishaq telah mengalami kekeliruan dalam hal ini.” Jika dikatakan ia tidak keliru, maka riwayatnya dapat diartikan bahwa beliau SAW sengaja meninggalkan wudhu untuk menjelaskan bahwa hal tersebut boleh ( ditinggalkan) supaya tidak diyakini sebagai suatu yang wajib, atau perkataannya “Tidak menyentuh air” ditafsirkan bahwa beliau tidak menyentuh air untuk mandi.

Ath-Thahawi cenderung mengartikan wudhu dalam hadits ini, yaitu membersihkan (menurut bahasa). Dia beralasan bahwa Ibnu Umar sebagai pelaku kisah ini berwudhu dalam keadaan junub dan tidak mencuci kakinya sebagaimana diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa’ dari Nafi’. Akan tetapi pendapat be Jiau dijawab dengan mengatakan, bahwa pengertian wudhu telah dikaitkan dengan shalat dalam riwayat dari Nafi’ dan Aisyah seperti yang telah dikemukakan, dan inilah yang dijadikan pegangan. Bisa jadi Umar tidak membasuh kakinya karena ada udzur.

Jumhur ulama berpendapat, “Wudhu di sini adalah wudhu secara syar’i. Adapun hikmahnya adalah meringankan hadats apalagi berdasarkan pendapat atau madzhab yang membolehkan mandi secara terpisah­pisah. Sehingga, seseorang yang berniat mandi saat berwudhu akanmengangkat hadats dari anggota wudhu berdasarkan pendapat yang shahih.”

Baca Juga:  Keutamaan Mengantar Jenazah Menurut Para Ulama dalam Hadis Nabi Muhammad

Keterangan ini dikuatkan pula oleh riwayat lbnu Abi Syaibah yang dinukil oleh orang-orang tsiqah dari Syaddad bin Aus. Ia berkata, “Jika seseorang di antara kalian junub pada waktu malam kemudian ingin tidur hendaklah ia berwudhu, sesungguhnya berwudhu itu setengah mandi junub.” Ada pula yang berpendapat, bahwa hikmahnya adalah karena wudhu merupakan salah satu bentuk dari dua thaharah yang dapat digantikan dengan tayamum.

Al Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad hasan dari Aisyah bahwa Nabi SAW jika sedang junub dan ingin tidur, maka beliau wudhu atau tayamum. Kemungkinan tayamum di sini adalah ketika sulit mendapatkan air.

Ada yang mengatakan hikmahnya (wudhu) di sini adalah mem­bangkitkan gairah untuk mengulangjima’ atau mendorong untuk mandi. lbnu Daqiq Al ‘Id berkata, “Imam Syafi’i menetapkan bahwa perbuatan demikian tidak berlaku bagi wanita yang sedang haid. Sebab jika ia mandi (sebelum haidnya berhenti) hadatsnya tidak terangkat, berbeda dengan orang yang junub. Tetapi jika haidnya berhenti, maka hal itu dianjurkan.”

Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran diantaranya;

1.Tidak harus menyegerakan mandi wajib, hanya saja hal itu akan menyulitkan ketika ingin melaksanakan shalat.

2.Anjuran untuk membersihkan diri ketika hendak tidur.

3.lbnu Al Jauzi berkata, “Hikmah dari itu semua adalah, karena malaikat akan menjauh dari sesuatu yang kotor dan bau yang tidak enak. Lain halnya dengan syetan yang akan mendekati sesuatu yang kotor dan bau yang tidak enak, wallahu a ‘lam.”

M Resky S